Presiden Jokowi: Transisi Energi Hadapi Tantangan Akses Energi Bersih hingga Dukungan Riset
Transisi energi menghadapi tantangan akses energi bersih, pendanaan, serta dukungan riset dan teknologi. Strategi dan mekanisme tepat dibutuhkan agar transisi energi rendah karbon yang adil dan merata dapat terlaksana.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setiap negara memiliki tantangan dan kebutuhan yang berbeda dalam melakukan transformasi sistem energi. Transisi energi bukan hanya tentang perubahan pemanfaatan dan penggunaan bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Transisi energi juga menyangkut aspek yang sangat kompleks, mulai dari ilmu pengetahuan, teknologi, hingga aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Menurut Presiden Joko Widodo, transisi energi tersebut akan mengubah banyak hal, seperti perubahan pekerjaan, skenario pembangunan, dan orientasi bisnis. Strategi dan mekanisme yang tepat untuk mengidentifikasi tantangan saat ini dan masa mendatang dibutuhkan agar transisi energi rendah karbon yang adil dan merata dapat terlaksana dengan baik.
Kepala Negara melihat ada tiga tantangan besar dalam transisi energi yang perlu mendapatkan perhatian bersama. Pertama, terkait dengan akses energi bersih, dunia menghadapi kenyataan bahwa tidak semua warga dunia memiliki akses pada energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan modern.
”Kita harus mendorong energi bersih untuk semua, terutama energi untuk elektrifikasi dan clean cooking. Leaving no one behind,” kata Presiden Jokowi saat memberikan pidato kunci secara virtual pada S20 High Level Policy Webinar on Just Energy Transition, Kamis (17/3/2022).
Tantangan kedua terkait dengan masalah pendanaan. Proses transisi membutuhkan dana yang sangat besar. Transisi energi memerlukan proyek-proyek baru, artinya juga membutuhkan investasi yang baru. ”(Oleh) Karena itu dibutuhkan eksplorasi mekanisme pembiayaan yang tepat agar tercipta keekonomian, harga yang kompetitif, dan tidak membebani masyarakat,” kata Presiden Jokowi.
Adapun tantangan ketiga adalah dukungan riset dan teknologi. Peran ilmu pengetahuan dan teknologi diperlukan dalam transisi energi, yakni untuk menghasilkan teknologi baru yang lebih efisien dan lebih kompetitif sehingga dapat menurunkan biaya dan meningkatkan nilai tambah pada produk industri energi baru terbarukan.
Selain itu, menurut Presiden Jokowi, diperlukan pula persiapan berbagai kompetensi dan keahlian dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi sehingga tersedia sumber daya manusia yang unggul untuk mendukung transisi energi. ”Saya optimis(tis), di balik tantangan itu ada sejumlah peluang yang terbuka lebar. Kemampuan kita mengatasi tantangan transisi energi akan membuka peluang baru dan lapangan kerja baru, peningkatan kebutuhan keahlian inovasi teknologi dan digitalisasi, terbukanya peluang ekonomi baru, ekonomi hijau, untuk mempercepat pemulihan global,” ujarnya.
Kemampuan kita mengatasi tantangan transisi energi akan membuka peluang baru dan lapangan kerja baru, peningkatan kebutuhan keahlian inovasi teknologi dan digitalisasi, terbukanya peluang ekonomi baru, ekonomi hijau, untuk mempercepat pemulihan global.
Peran G-20
Oleh karena itu, Presiden Jokowi menuturkan bahwa G-20 diharapkan dapat menjembatani dan mendorong negara-negara berkembang dan maju pada keanggotaan G-20 untuk mempercepat proses transisi energi. Selain itu juga untuk memperkuat sistem energi global yang adil dan berkelanjutan dalam suatu kesepakatan global.
”Negara yang bebannya berat harus dibantu dan diberikan kemudahan. Negara yang sudah siap bisa jalan terlebih dahulu sambil membantu negara lain yang belum mampu. Kita harus membangun lebih banyak kolaborasi untuk mempermudah akses layanan energi yang terjangkau, menciptakan inovasi teknologi, dan terobosan pendanaan. Merumuskan strategi yang konsisten dan berkelanjutan,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Pada kesempatan tersebut, Presiden Jokowi berharap seminar dalam jaringan tersebut akan menghasilkan gagasan-gagasan yang implementatif untuk mendorong tercapainya kesepakatan global yang kuat dan fokus. Hal tersebut dibutuhkan untuk mewujudkan ekosistem transisi energi yang berkeadilan.
Sebelumnya, saat menerima kunjungan kehormatan Sekretaris Jenderal ke-8 Perserikatan Bangsa-bangsa Ban Ki-moon di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Senin (14/3/2022), Wakil Presiden Ma’ruf Amin menuturkan bahwa dalam masa presidensi G-20, Indonesia akan mendorong G-20 menghasilkan sejumlah keputusan konkret yang dapat mendukung pembangunan negara berkembang, kecil, dan kepulauan.
Tiga isu prioritas, yakni penguatan arsitektur global, transformasi digital, dan transisi energi, memiliki nilai strategis dalam mendukung pemulihan global yang inklusif, menjawab kebutuhan negara berkembang, dan mempersiapkan masa depan yang lebih berkelanjutan.
Selain itu, menurut Wapres Amin, ada tiga isu prioritas yang hendak diangkat dalam forum yang akan dihadiri 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut. Tiga isu prioritas dimaksud meliputi penguatan arsitektur global, transformasi digital, dan transisi energi.
”Ketiga isu ini memiliki nilai strategis dalam mendukung pemulihan global yang inklusif, menjawab kebutuhan negara berkembang, dan mempersiapkan masa depan yang lebih berkelanjutan,” ujar Wapres Amin.
Sementara itu, dalam kunjungan kehormatannya kepada Wapres Amin di kediaman resmi Wapres, Jalan Diponegoro Nomor 2, Jakarta Pusat, Kamis (17/3/2022), Menteri Luar Negeri Kenya Raychelle Omamo menuturkan, antara lain, bahwa Kenya bergembira karena Indonesia mengusung salah satu prioritas pada G-20 terkait transisi energi. Menurut dia, hal ini sejalan dengan komitmen Kenya dalam upaya mengembangkan energi bersih.
”Kenya saat ini menghasilkan 73 persen energinya dari sumber energi bersih, baik itu energi yang bersumber dari air, tenaga surya, tenaga angin, maupun geotermal. Dan kami berharap dapat mencapai 100 persen energi bersih pada 2030,” kata Omamo.