Kebijakan nol pelanggaran ODOL perlu ditinjau secara komprehensif. Pengusaha jasa angkuta tidak bisa semerta-merta harus menanggung kesalahan dalam urusan ODOL ini.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
·4 menit baca
Kompas/Bahana Patria Gupta
Truk diparkir menutup jalan frontage Ahmad Yani saat aksi unjuk rasa sopir truk di depan Kantor Dishub Jatim, Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (22/2/2022). Unjuk rasa tersebut terpaksa dilakukan oleh gabungan paguyuban sopir truk, untuk menolak kebijakan pemerintah terkait pembatasan truk yang terkategori over dimension over loading (ODOL). Para sopir juga menolak segala bentuk sanksi dari pihak pemerintah terhadap sopir truk yang melintas di jalanan yang berupa, sanksi tilang dan sanksi pemotongan komponen bodi truk yang dianggap melebihi kapasitas. Mereka mengancam aksi yang lebih besar lagi di seluruh Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Masih terjadi pro dan kontra di masyarakat terkait penerapan kebijakan bersih dari pelanggaran kelebihan dimensi dan muatan truk atau zero over dimension over loading (ODOL) pada 2023. Secara teknis, menekan laju kebiasaan truk yang melanggar aturan ODOL diyakini dapat menekan pula laju kerusakan jalan.
Di lain sisi, kebijakan ini masih saja dinilai belum tepat dilakukan, terlebih di masa pandemi Covid-19. Apalagi, penertiban terhadap pelanggar ODOL diselesaikan dengan pembayaran denda. Sementara ada saja oknum petugas di lapangan memanfaatkan penertiban ini untuk melanggengkan pungutan liar (pungli).
Hal itu mengemuka dalam diskusi virtual “Over Dimension Over Loading” di Jakarta, Selasa (15/3/2022), yang diselenggarakan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Tanpa menghadirkan regulator maupun penegak hukum, diskusi tersebut lebih menyerap pandangan asoasiasi pengusaha dan jasa angkutan barang.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, peta jalan penerapan zero ODOL seharusnya disusun secara sistematis meliputi aspek teknis, ekonomi, dan hukum. Dari tiga aspek ini, Apindo bersama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada telah menyusun kajian ODOL pada tahun 2020.
“ODOL tidak selamanya jelek, tergantung siapa yang melihatnya. Ada sebagian orang melihat ODOL baik-baik saja, asalkan gede-nya tidak kebangetan. Tidak menghabiskan badan jalan,” ujar Danang.
Apindo mencatat, salah satu sudut pandang positif ODOL adalah kapasitas barang yang dimuat lebih banyak sehingga biaya angkut bisa dipangkas. Masyarakat diuntungkan juga karena barang komoditas lebih murah dan jangkauan pemasaran juga lebih luas. Dengan pangsa pasar yang lebih luas, omzet produksi lebih menjadi tinggi. Apalagi dengan pertumbuhan e-dagang sekitar 4-5 persen per tahun, tuntutan terhadap transportasi darat akan semakin tinggi, terutama transportasi darat yang cepat dan murah.
Kompas/P Raditya Mahendra Yasa
Truk yang ditempeli sebuah spanduk menolak menolak kebijakan pelarangan truk yang melebihi kapasitas muat dan dimensi atau over dimension and overloading (ODOL) di Wonderia, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (11/3/2022). Mereka melakukan mogok kerja untuk menuntut kebijakan ODOL yang dianggap merugikan sopir.
Apindo, imbuh Danang, tidak menampik adanya sudut pandang negatif terhadap ODOL, yakni mempercepat laju kerusakan jalan. Itu terjadi akibat ketidaksesuaian antara kelas jalan dan beban muatan kendaraan, serta laju kendaraan pelan yang menyebabkan load factor makin tinggi. Kemudian, peningkatan risiko kecelakaan lalu lintas akibat manuver kendaraan ODOL yang menggangu laju kendaraan lainnya. “Jadi, ada pro dan kontra soal ini,” ucapnya.
Danang mengatakan, Apindo bukan pendukung ODOL. Namun, pihaknya ingin secara akademis dalam melihat sistem pengambilan kebijakan, sanksi terhadap pelanggaran kebijakan, dan sistem evaluasi terhadap pelanggaran kebijakan itu dilakukan secara adil. Dari aspirasi yang disampaikan pengemudi truk kepada Apindo, banyak oknum aparat yang suka memalak dan mempersulit proses administrasi, ketika terjadi kecelakaan lalu lintas.
Begitu pula praktik premanisme dan pungli yang menghambat sistem logistik di Indonesia. Para sopir truk harus menanggung sendiri biaya pungli di hampir setiap persimpangan jalan. Tidak ada upaya sedikitpun dari pemerintah untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi pengemudi tersebut.
Ketua Asosiasi Pengusaha Jasa Angkut Truk (APJAT) Sumatera Selatan H Chairuddin Jusuf mengatakan, “Kami mendukung kebijakan ODOL ini. Tentunya, banyak hal dapat kami dapatkan, antara lain biaya pemeliharaan kendaraan akan jauh lebih murah. Tidak setiap saat, ban meledak dan velg rusak. Komponen-komponen kendaraan akan terawat juga untuk jangka panjang. Begitu pula dengan mekanik, tidak perlu modar-mandir menyusul kendaraan yang rusak.”
Apindo ingin secara akademis dalam melihat sistem pengambilan kebijakan, sanksi terhadap pelanggaran kebijakan, dan sistem evaluasi terhadap pelanggaran kebijakan itu dilakukan secara adil.
Di balik semua ini, lanjut Chairuddin, ODOL kerap dituduhkan sebagai dosa pengusaha jasa angkutan barang. Hal ini harus ditolak. Sebab, pengusaha membeli kendaraan tidak pernah menentukan ukuran karoserinya. Perusahaan karoserilah yang membuatkan kendaraan.
Kompas/Bahana Patria Gupta
Unjuk rasa sopir truk di depan Kantor Dishub Jatim, Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa (22/2/2022). Unjuk rasa tersebut terpaksa dilakukan oleh gabungan paguyuban sopir truk, untuk menolak kebijakan pemerintah terkait pembatasan truk yang terkategori over dimension over loading (ODOL). Para sopir juga menolak segala bentuk sanksi dari pihak pemerintah terhadap sopir truk yang melintas di jalanan yang berupa, sanksi tilang dan sanksi pemotongan komponen bodi truk yang dianggap melebihi kapasitas. Mereka mengancam aksi yang lebih besar lagi di seluruh Indonesia.
“Kami pikir, karena perusahaan karoseri telah memiliki izin atau sertifikat dari Kementerian Perhubungan. Kami lebih percaya lagi, saat kendaraan selesai dan dilakukan uji kir, semua dinyatakan lolos. Di sinilah, kami bertanya apa dosa kami,” ujar Chairuddin.
Kompleksitas
Ketua Umum MTI Agus Taufik Mulyono memandang, kompleksitas masalah yang menyebabkan terjadinya ODOL perlu menjadi pertimbangan pemerintah dalam menentukan kebijakan. Secara eksternal, MTI memperlihatkan ada tuntutan dari pemilik, pembeli atau penjual barang, kompetisi jasa angkutan barang, dan tuntutan target distribusi barang. Di sisi lain, penegakan hukum masih menerapkan denda yang murah, terkadang malah ada perlakuan kurang adil sebagaimana pendapat masyarakat di lapangan.
MTI juga melihat faktor internal, antara lain teknologi truk dengan daya angkutnya, tuntutan pengusaha yang menghendaki balik modal atau operasional kendaraan tidak menyebabkan kerugian, dan armada truk yang dioptimalkan lewat penerapan over dimension. Selain itu, kompetensi sumber daya manusia menjadi pekerjaan berat di bidang jasa angkutan barang dan mengejar keuntungan dengan penghematan biaya operasional.
Secara keseluruhan, pandangan MTI adalah pelanggaran ODOL berdampak pada berkendaraan tidak selamat, aman, dan nyaman. Keberatan MTI tidak mengarah pada kerusakan jalan sebagaimana terus digaungkan penyelenggara jalan, melainkan mengarah pada adanya ketidakselamatan akibat pelanggaran ODOL.
Menurut Agus, dari pandangan pendistribusi barang, ODOL menjadi keputusan bisnis pemilik angkutan sesuai target waktu yang disepakati pemilik barang. Sementara, pandangan pembeli barang, kendaraan ODOL sepenuhnya menjadi urusan pemilik angkutan dengan penjual barang. Yang penting, barang diterima sesuai jumlah dan mutu yang terjamin.