Kemenkeu Distribusikan Pinjaman Rp 8,7 Triliun untuk Proyek PLTA
Pemerintah mengantongi pinjaman 610 juta dollar AS atau sekitar Rp 8,7 triliun dari Bank Dunia dan Bank Investasi Infrastruktur Asia untuk mendanai pengembangan pembangkit listrik tenaga air berkapasitas 1.040 megawatt.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·4 menit baca
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Gambar pintu pelimpahan air PLTA Koto Panjang, Kampar, Riau, yang diambil pada Desember 2016. Saat itu pengelola PLTA membuka satu pintu pelimpahan menuju Sumgai Kampar di hilir.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan mendistribusikan pinjaman luar negeri senilai Rp 8,7 triliun kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN melalui perjanjian penerusan pinjaman luar negeri. Pembiayaan ini ditujukan untuk mendanai proyek pembangkit listrik energi terbarukan.
Saat dikonfirmasi pada Selasa (15/3/2022), Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Hadiyanto mengatakan, perjanjian penerusan pinjaman luar negeri (subsidary loan agreement/SLA) telah ditandatangani Kementerian Keuangan dan PLN. Pinjaman luar negeri merupakan salah satu sumber pembiayaan yang digunakan oleh PLN untuk membiayai proyek pembangunan pembangkit listrik di Indonesia.
”Fasilitas pendanaan ini merupakan salah satu strategi pemerintah untuk mempercepat transisi energi dengan mematok target bauran energi dari EBT (energi baru terbarukan) sebesar 23 persen pada tahun 2025 serta pemenuhan net zero emission (emisi nol) paling lambat pada tahun 2060,” ujarnya.
Fasilitas pendanaan ini merupakan salah satu strategi pemerintah mempercepat transisi energi dengan mematok target bauran energi dari energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025 serta pemenuhan net zero emission paling lambat pada 2060.
Sebelumnya, pada Senin (14/3/2022), Kementerian Keuangan dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) menandatangani SLA dalam rangka pembiayaan proyek Development of Pumped Storage Hydropower in The Java-Bali System. Proyek ini bernilai 610 juta dollar AS atau sekitar Rp 8,7 triliun yang sumber dananya berasal dari Bank Dunia dan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB).
Selain Hadiyanto selaku perwakilan Kementerian Keuangan, SLA juga ditandatangani oleh Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo di Auditorium Kantor Pusat PLN, Jakarta Selatan.
Pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Pumped Storage dengan kapasitas 1.040 megawatt (MW) yang berlokasi di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, tersebut ditujukan untuk meningkatkan kapasitas pembangkit pada saat beban puncak.
Kapasitas ini utamanya diprioritaskan untuk kawasan yang membutuhkan permintaan tenaga listrik yang besar, yakni wilayah Jawa Barat dan Jabodetabek.
Hadiyanto menambahkan, percepatan transisi energi menuju target bauran energi dari EBT sebesar 23 persen pada 2025 kian mendesak mengingat forum G-20 menguatkan komitmen Indonesia dan negara anggota untuk mewujudkan transisi menuju energi yang bersih dan berkelanjutan.
Saat ini, negara-negara anggota G-20 menyumbang sekitar 75 persen dari permintaan energi global. ”Untuk mendukung komitmen tersebut, isu pendanaan yang menjadi prioritas G-20 dalam transisi energi dapat diatasi oleh sumber pembiayaan yang disediakan pemerintah dalam bentuk SLA,” kata Hadiyanto.
YOLA SASTRA
Manajer Unit Layanan PLTA Musi Martin Wahyunus mengamati Gardu Induk PLTA Musi dari bangunan Main Control House PLTA Musi di Kabupaten Bengkulu Tengah, Bengkulu, Selasa (28/9/2021). PLTA yang beroperasi sejak 2006 ini merupakan penyumbang terbesar bauran energi baru terbarukan (EBT) di wilayah Unit Induk Pembangkitan Sumatera Bagian Selatan (UIKSBS) dengan daya terpasang 210 MW atau sekitar 29 persen dari total EBT di UIKSBS.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, hingga akhir Desember 2021 pembiayaan EBT melalui SLA yang telah disalurkan oleh otoritas fiskal mencapai Rp 16,26 triliun. Adapun komitmen pembiayaan SLA untuk EBT yang belum disalurkan senilai Rp 13,66 triliun.
Pembiayaan tersebut digunakan untuk proyek pembangunan PLTA dan geotermal serta fasilitas pembiayaan hijau. SLA untuk pembiayaan di sektor energi tersebut disalurkan kepada PT PLN dan PT Pertamina, serta PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI).
Sementara itu, manfaat fasilitas SLA, di antaranya, adalah pembangunan infrastruktur pada sektor energi untuk pencapaian program energi listrik 35.000 megawatt melalui pembiayaan untuk transmisi, gardu induk, dan pembangkit listrik, baik energi tidak terbarukan maupun energi terbarukan.
Saat dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, langkah pemerintah dalam menjembatani pendanaan untuk PLN dalam menggenjot pengembangan pembangkit EBT, khususnya PLTA, patut diapresiasi. Mengingat modal investasi yang besar, PLN membutuhkan dukungan pemerintah untuk pengembangan PLTA.
Mamit menilai, PLTA juga mempunyai kemampuan yang andal dari sisi pasokan dan utilitas. PLTA mempunyai daya tahan yang lebih lama serta bisa menjadi pembangkit beban listrik dasar (base load) sekaligus juga mampu menjadi pembangkit yang berjalan saat permintaan listrik sedang tinggi (peaker).
”PLTA ini merupakan EBT yang bisa menjadi peaker atau mampu menjaga beban puncak jika dibandingkan dengan EBT yang lain, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) yang masih bersifat intermitten,” ujar Mamit.
PLTA ini merupakan EBT yang bisa menjadi peaker atau mampu menjaga beban puncak jika dibandingkan dengan EBT yang lain, seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) yang masih bersifat intermitten.
Dari sisi penurunan emisi karbon, Mamit menilai, PLTA merupakan pembangkit zero emision murni karena sama sekali tidak memerlukan sokongan sumber energi lain yang berasal dari fosil. Sementara dari sisi investasi, semakin berkembangnya teknologi, investasi yang harus dianggarkan untuk PLTA makin murah.
“Meski di awal nilai investasinya memang masih tinggi, PLTA memiliki usia yang lebih panjang dengan biaya yang lebih murah,” kata Mamit.
Sebelumnya, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo mengatakan, perseroan akan bertransformasi dengan membentuk induk usaha atau holding dan subholding yang ditargetkan tuntas akhir 2022. Dengan cara itu, proses bisnis PLN diharapkan menjadi lebih fokus dan efisien dalam menangkap peluang dari energi terbarukan (Kompas, 20/1/2022).
“Transformasi PLN merupakan tuntutan di tengah berbagai tantangan terkait energi, kemajuan teknologi, hingga kesempatan mengoptimalkan energi terbarukan di Indonesia yang melimpah,” ujarnya.