Perbaikan Ekonomi dan Kenaikan Harga Pangan Jadi Pertimbangan Kebijakan THR
Aturan pembayaran THR keagamaan sedang disiapkan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi yang membaik. Agar isu THR tidak selalu menjadi masalah yang berulang setiap tahun, pengawasan ketenagakerjaan harus diperkuat.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah bersiap menyusun aturan pembayaran tunjangan hari raya keagamaan tahun 2022. Kondisi ekonomi dan dunia usaha yang dinilai mulai membaik serta tren kenaikan harga barang kebutuhan pokok menjelang Lebaran menjadi pertimbangan utama dalam menyusun surat edaran THR terbaru.
Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pihaknya sedang mengkaji laporan terkait kondisi dunia usaha di awal tahun 2022. Sejauh ini, penanganan pandemi yang lebih terkendali, meski di tengah kehadiran varian Omicron, membuat kondisi perekonomian membaik dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya.
Membaiknya kondisi perekonomian itu akan menjadi pertimbangan utama dalam menyusun surat edaran pembayaran tunjangan hari raya (THR) Lebaran tahun ini. Pemerintah masih mempunyai waktu sekitar dua pekan untuk menampung masukan dari kalangan pengusaha dan serikat pekerja serta menyusun aturan yang baru tersebut.
”Kondisi ekonomi relatif sudah mulai membaik seiring dengan perbaikan kita dalam menangani Covid-19 sehingga tentunya ini akan jadi pertimbangan dalam merumuskan kebijakan THR,” kata Anwar saat dihubungi, Selasa (15/3/2022).
Faktor lain yang akan dijadikan pertimbangan aturan THR adalah kenaikan harga barang kebutuhan pokok yang berpotensi menggerus daya beli masyarakat menjelang Lebaran. Ketidakpastian global, seperti ekses pandemi dan ketegangan geopolitik, membuat rantai pasok global terganggu dan harga sejumlah bahan pangan belakangan meningkat, seperti minyak goreng, kedelai, gandum, daging sapi, dan gula.
Kenaikan harga itu bisa menambah beban ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi. Anwar mengatakan, kebijakan THR akan disesuaikan dengan kondisi tersebut. ”Kami akan pertimbangkan daya beli masyarakat di tengah kondisi saat ini, khususnya para pekerja. Prosesnya nanti akan kami dialogkan dengan forum tripartit sebagaimana isu ketenagakerjaan lainnya,” ujarnya.
Sebagai perbandingan, tahun lalu, melalui Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/6/HK.04/IV/2021 tentang Pelaksanaan Pemberian THR Keagamaan Tahun 2021 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, pemerintah mengharuskan perusahaan untuk membayar THR secara utuh dan tepat waktu, paling lambat tujuh hari sebelum Lebaran.
Usaha yang terdampak pandemi harus membuktikannya dengan membuka laporan keuangan internal dan melakukan dialog bipartit. Jika terbukti merugi, perusahaan harus melaporkan hasil dialog bipartitnya ke dinas ketenagakerjaan setempat dan harus membayar THR secara penuh.
Kebijakan itu di atas kertas dinilai lebih pro-buruh dibandingkan dengan aturan THR tahun 2020 ketika pemerintah membolehkan perusahaan swasta menunda atau mencicil pembayaran THR hingga akhir tahun berjalan, lantaran kondisi dunia usaha sedang terpukul kemunculan perdana Covid-19. Meski demikian, pada tataran praktik, masih banyak pelanggaran yang terjadi lantaran lemahnya pengawasan.
Meski demikian, pada tataran praktik, masih banyak pelanggaran yang terjadi lantaran lemahnya pengawasan.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menilai, agar pembayaran THR tidak selalu menjadi masalah yang berulang setiap tahun, pemerintah harus mengubah pendekatan dari penindakan pelanggaran THR menjadi pencegahan. Artinya, pengawas ketenagakerjaan harus aktif mengecek kondisi perusahaan di daerahnya, terutama yang kerap bermasalah dalam membayar THR.
”Dinas pasti punya data dari laporan pengaduan yang masuk selama ini. Dari sejak H-30 Lebaran, pengawas harus mendatangi perusahaan-perusahaan ini dan mengecek apakah mereka sudah punya alokasi anggaran untuk membayar THR atau tidak? Pengawas harus hadir mendampingi pekerja di perusahaan itu,” kata Timboel.
Selama ini, mekanisme pengaduan pelanggaran THR yang ditindak dalam waktu H-7 terlalu singkat untuk mengatasi persoalan di lapangan karena sudah mendekati momen tanggal merah atau cuti bersama. Akibatnya, pengaduan tidak ditangani dengan baik dan pekerja tidak mendapat hak THR atau pembayaran THR-nya ditunda hingga jauh setelah hari raya.
”Harus ada kesungguhan untuk melakukan pembenahan yang sistemik dan struktural. Jangan sampai setiap tahun kita bolak-balik ribut terus mengenai urusan THR,” katanya.
Terkait hal itu, menurut Anwar, tahun ini pemerintah akan kembali mendirikan pos pengaduan pelanggaran THR serta memperkuat aspek pengawasan ketenagakerjaan melalui koordinasi yang lebih intens dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
”Lebaran tahun ini momen yang unik. Selain kebijakan THR, kami (pemerintah) juga sedang ditunggu keputusannya terkait aturan pencairan Jaminan Hari Tua. Momennya pun berdekatan dengan May Day (peringatan hari buruh sedunia). Jadi, kami akan menjaga agar situasi ketenagakerjaan dan pengaruhnya ke kondisi sosial-politik tetap terjaga kondusif,” kata Anwar.
Disesuaikan
Secara terpisah, Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Harijanto mengatakan, kondisi usaha kini sudah lebih membaik sehingga rata-rata pengusaha tidak terlalu bermasalah dengan kebijakan THR.
”Seharusnya untuk THR tidak ada masalah, mungkin hanya sisa beberapa sektor saja yang belum pulih,” katanya. Misalnya, sektor pariwisata dan penunjangnya serta beberapa perusahaan industri berorientasi ekspor dan industri sekunder/antara yang masih tertekan dampak kenaikan harga bahan baku dan harga logistik yang naik.
Sementara itu, Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Adi Mahfudz mengatakan, secara umum, kondisi dunia usaha mulai membaik, khususnya perusahaan berskala menengah dan besar. Ia meyakini, usaha skala menengah dan besar sudah mampu membayar THR pekerja secara utuh dan tanpa dicicil.
”Seharusnya usaha menengah dan besar itu sekarang sudah mengalokasikan proyeksi tabungan anggaran untuk membayar THR,” kata Adi.
Kendati demikian, menurut dia, perlu ada pengecualian untuk usaha berskala mikro dan kecil yang jarang memiliki deposit. Mereka masih dalam mode bertahan dan bertransisi menuju pemulihan. ”Hak pekerja pasti akan tetap dipenuhi, tetapi mekanisme pemberiannya harus tetap memperhatikan kesinambungan usaha kecil,” tuturnya.
Perlu ada pengecualian untuk usaha berskala mikro dan kecil yang jarang memiliki deposit. Mereka masih dalam mode bertahan dan bertransisi menuju pemulihan.
Ia mengusulkan agar aturan THR tetap dilakukan seperti tahun lalu. Perusahaan berskala kecil yang terdampak pandemi dan tidak mampu membayar THR secara utuh dapat melakukan dialog bipartit terlebih dahulu dengan pekerjanya dan melaporkannya ke dinas ketenagakerjaan. ”Perlu disesuaikan dengan kemampuan cashflow perusahaan dan kesepakatan internal dengan pekerja,” kata Adi.