Ketergantungan pada Pupuk Bersubsidi Harus Dikurangi
Di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi, petani dituntut untuk bisa bertahan. Salah satu caranya adalah mengurangi ketergantungan pada pupuk subsidi yang langka dan mahal dengan menggunakan pupuk alami.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan petani di masa pandemi Covid-19 kian berat. Selain meningkatnya harga sarana produksi pertanian, seperti pupuk, harga bahan pokok juga turut naik. Petani diminta mengurangi ketergantungan pada pupuk bersubsidi dengan memanfaatkan pupuk organik.
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Nasional M Yadi Sofyan Noor saat dihubungi, Minggu (13/3/2022), mengatakan, tantangan bagi petani saat ini kian tidak mudah. Pada Sabtu (12/3), saat ia berkunjung ke Jawa Timur, sejumlah petani hortikultura, seperti apel, kentang, dan paprika, mengeluhkan turunnya harga jual hingga 100 persen.
”Padahal, di saat bersamaan, kini harga bahan-bahan pokok sedang naik. Bahkan, harga pupuk juga sedang naik. Situasi ini kian menyulitkan (bagi petani),” kata Yadi.
Yadi menuturkan, kondisi tersebut memerlukan perhatian pemerintah. Akan tetapi, untuk jangka panjang, pihaknya mengarahkan kepada para petani agar tidak bergantung pada subsidi, termasuk pupuk subsidi, yakni dengan mengoptimalkan pupuk organik. Secara perlahan diharapkan ketergantungan terhadap pupuk subsidi akan lepas.
”Kami mencoba membiasakan mandiri dengan memanfaatkan segala potensi yang ada. Apabila petani sudah mampu meningkatkan hasil pertaniannya, ketahanan pangan akan lebih baik,” ujar Yadi.
Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian Suwandi dalam webinar ”Kearifan Lokal dan Ketahanan Pangan di Era Pandemi Covid-19”, yang digelar Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, Sabtu (12/3), menuturkan, situasi saat ini memang menjadi tantangan yang harus dihadapi bersama.
Harga pupuk urea di dalam negeri meningkat dari Rp 5.000-Rp 6.000 per kilogram (kg) sebelum pandemi menjadi Rp 9.000-Rp 11.000 per kg. Harga itu pun, menurut Suwandi, masih lebih rendah dibandingkan dengan pupuk urea komersial yang harganya hampir Rp 14.000 per kg. Harga di dalam negeri diupayakan terus dijaga agar tidak semakin memberatkan petani. Di sisi lain, kondisi ini sebenarnya menjadi kesempatan untuk mengubah pertanian ke arah lebih baik.
”Ini menjadi peluang untuk menyadarkan kita agar kembali ke alam. Kembali ke pupuk alami karena (selama ini) penggunaan bahan kimiawi terlalu intensif. Jadi, saat pandemi ini, kita menggunakan pupuk organik, hayati, dan biopestisida. Itu bisa dibuat sendiri agar lebih efisien,” ujar Suwandi.
Menurut Suwandi, pemerintah terus mendorong terwujudnya diversifikasi produksi dan konsumsi pangan. Dengan program smart farming dan food estate diharapkan kualitas produksi pertanian meningkat dan bernilai lebih tinggi. Ia mencontohkan, ekspor singkong dan turunannya meningkat dari 95.000 ton pada 2020 menjadi 300.000 ton pada 2021. Dengan kekayaan potensi di Indonesia, ketahanan pangan dapat terus terjaga.