Diversifikasi sumber energi menjadi strategi yang mesti diambil Indonesia untuk mengantisipasi gejolak geopolitik global yang membuat harga minyak mentah tetap tinggi.
Oleh
MEDIANA, KRIS MADA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebuntuan perundingan Rusia-Ukraina yang difasilitasi Turki pada Kamis (10/3/2022) membuat pasar energi tetap tertekan. Tekanan juga timbul dari ketidakjelasan perundingan Amerika Serikat dengan Iran dan Venezuela. Setelah sempat menyentuh level 130 dollar AS per barel pada beberapa hari lalu, harga minyak mentah jenis Brent pada Kamis malam, berdasar Bloomberg dan Trading Economics, di level 115 dollar AS per barel.
Merespons masih tingginya harga minyak mentah tersebut, Badan Energi Internasional (IEA) mengumumkan akan melepaskan sebagian cadangan strategisnya untuk meringankan tekanan. Gairah pasar semakin meningkat karena Uni Emirat Arab mengumumkan siap memacu produksi di atas kesepakatan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Abu Dhabi menyebut produksi bisa saja dinaikkan melebihi 800.000 barel per hari. Padahal, OPEC bersama Rusia sepakat, kenaikan tidak melebihi 400.000 barel per hari.
”Kami mendukung kenaikan produksi dan mendorong OPEC meningkatkan produksi,” kata Duta Besar UEA untuk AS Yousuf Al Otaiba.
Meski bukan anggota OPEC, Rusia merupakan produsen utama minyak dengan pasokan rata-rata 7 juta barel per hari ke pasar global sepanjang 2021. Selama beberapa tahun terakhir, OPEC selalu berkoordinasi dengan Rusia dalam hal pengendalian produksi minyak.
Sekretaris Jenderal OPEC Mohammed Barkindo meragukan produsen lain bisa menggantikan pasokan dari Rusia. Ia berkeras kenaikan harga saat ini dipicu masalah geopolitik, bukan masalah pasokan. Padahal, pasar cemas Rusia tidak bisa memasok minyak setelah AS dan sekutunya menjatuhkan aneka sanksi kepada Rusia. Sanksi membuat transaksi apa pun dengan Rusia, termasuk untuk pembayaran komoditas energi, sulit dilakukan. Hal serupa sudah terjadi bertahun-tahun pada Venezuela dan Iran, pemilik cadangan minyak terbesar pertama dan ketiga di dunia.
”Kami tidak bisa mengendalikan perkembangan saat ini dan kondisi ini berdampak pada pasar,” katanya.
Kecemasan juga dipicu perkembangan perundingan nuklir Iran. Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Iran Ali Shamkhani menyebut, AS mengajukan permintaan tidak masuk akal kepada Iran. Permintaan itu dipandang Teheran sebagai ketiadaan keseriusan Washington untuk menghidupkan lagi Kesepakatan Nuklir Iran 2015. Kesepakatan itu mati suri sejak Mei 2018 atau setelah AS keluar dari kesepakatan dan menerapkan aneka sanksi kepada Iran.
Shamkhani tidak menjabarkan apa permintaan AS. Ia hanya menyebut bahwa proses pembuatan keputusan di AS juga memperumit perundingan nuklir Iran. Padahal, perundingan itu diharapkan bisa membuat minyak Iran bisa bebas lagi dibeli oleh dunia. Kini, minyak Iran hanya dapat dijual secara terbatas karena aneka sanksi AS dan sekutunya.
Politisi AS memilih pelonggaran izin penambangan minyak dan gas di dalam negeri sehingga dunia usaha AS bisa menikmati keuntungan lebih besar dari kenaikan harga minyak saat ini.
Upaya pemerintahan Biden mendapatkan minyak dari Venezuela juga terhambat oleh politisi AS. Sejumlah senator AS menentang pelonggaran sanksi yang memungkinkan Venezuela kembali bebas menjual minyak. Politisi AS memilih pelonggaran izin penambangan minyak dan gas di dalam negeri sehingga dunia usaha AS bisa menikmati keuntungan lebih besar dari kenaikan harga minyak saat ini.
Antisipasi Indonesia
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal saat dihubungi mengatakan, kondisi seperti sekarang menyebabkan gejolak sentimen pasar dan meningkatkan ketidakpastian investasi. Investasi hulu migas yang bersifat jangka panjang, seperti eksplorasi, masih akan tertekan oleh situasi yang terjadi antara Rusia dan Ukraina.
Sementara itu, untuk mengantisipasi tingginya harga minyak mentah yang berdampak pada lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM), menurut anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya Widya Yudha, Indonesia harus mulai memikirkan konversi masif BBM ke bahan bakar gas (BBG). Indonesia juga harus mengurangi impor elpiji dengan memperluas jaringan gas perkotaan dan optimalisasi penggunaan kompor listrik.
”Indonesia, kan, defisit minyak. Gas bumi masih surplus, apalagi kalau semua produksi gas di Indonesia digunakan untuk kepentingan domestik,” ujar Satya.
Selain konversi BBM ke BBG, Indonesia juga harus terus melanjutkan program pengembangan sumber energi terbarukan. Pengembangan energi terbarukan dapat mengurangi kebergantungan Indonesia pada sumber energi fosil. Jenis energi terbarukan yang melimpah di Indonesia adalah tenaga surya, bayu, air, panas bumi, hingga bahan bakar nabati.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro mengungkapkan, pemanfaatan sumber energi terbarukan di Indonesia masih rendah, yakni sekitar 2,8 persen dari total potensi yang mencapai lebih dari 400.000 megawatt. Sementara rata-rata pemanfaatan energi terbarukan oleh negara-negara di kawasan ASEAN sekitar 10 persen dari total potensi. Sejumlah negara, seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia, juga telah memiliki undang-undang khusus terkait dengan energi terbarukan.
”Adanya undang-undang khusus energi terbarukan penting dan dapat menjadi payung hukum yang lebih kuat untuk pengembangan energi terbarukan dan pelaksanaan kebijakan insentif terkait energi terbarukan,” kata Komaidi. (AFP/REUTERS)