Lonjakan harga nikel bukan diakibatkan masalah struktural sehingga diyakini harga akan kembali normal. Namun, apabila berkepanjangan, industri bakal terdampak.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA, Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lonjakan harga nikel dunia secara signifikan perlu diwaspadai karena akan berdampak pada industri terkait nikel beserta ekosistemnya. Dalam periode perdagangan nikel pada Selasa (8/3/2022), harganya sempat melebihi 100.000 dollar AS per ton yang membuat otoritas London Metal Exchange menangguhkan perdagangannya. Lonjakan harga disebut bersifat spekulatif.
Lonjakan harga nikel, termasuk lonjakan harga komoditas energi lainnya, seperti minyak, gas alam, dan batubara, dikaitkan dengan konflik bersenjata Rusia-Ukraina. Adapun perkembangan harga resmi nikel, berdasarkan laman London Metal Exchange, pada Selasa sebesar 48.201 dollar AS per ton. Pada 1 Maret 2022, nikel diperdagangkan dengan harga 25.450 dollar AS per ton.
Head of Industry and Regional Research PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Dendi Ramdani saat dihubungi, Kamis (10/3/2022), mengatakan, lonjakan itu merupakan hasil aksi spekulatif. Lantaran penuh ketidakpastian, sejumlah trader memanfaatkan situasi. Angka tersebut sangat jauh dari harga fundamental dan tidak logis.
Menurut Dendi, lonjakan harga nikel tersebut bukan diakibatkan masalah struktural sehingga diyakini harga akan kembali normal. ”Namun, pertanyaannya, kapan? Bisa sebentar atau lama. Kalau perang masih lama, berbahaya karena bisa terjadi stagflasi. Jadi, ekonomi stagnan dan dibarengi inflasi,” ujarnya.
Apabila konflik berlarut, lanjut Dendi, perang ekonomi antara Rusia dan Amerika Serikat, serta negara-negara Barat akan lebih memberi dampak. Artinya, negara-negara tersebut akan saling membalas. Lonjakan harga nikel akan memukul industri-industri yang menggunakan bahan baku nikel, salah satunya industri mobil listrik. ”Ini harus hati-hati dan diwaspadai,” katanya.
Indonesia sendiri, imbuh Dendi, saat ini sudah relatif berhasil menarik investor untuk membangun pabrik-pabrik pengolahan atau smelter ke lokasi sumber bahan baku nikel, yakni di Sulawesi. Namun, tahapan selanjutnya tidak mudah dan penuh tantangan. Pasalnya, pasar industri turunan nikel lebih banyak terdapat di negara-negara maju, seperti industri elektronik serta mobil listrik.
Sebagai salah satu negara dengan sumber daya nikel besar, Indonesia kerap kali disebut menarik atau potensial di mata investor. Padahal, kata Dendi, pada industri hilir, yang menentukan ialah kualitas sumber daya manusia dan penguasaan teknologi. Persoalan dasar lainnya adalah terkait dengan iklim investasi.
Lonjakan itu merupakan hasil aksi spekulatif. Lantaran penuh ketidakpastian, sejumlah trader memanfaatkan situasi. Angka tersebut sangat jauh dari harga fundamental dan tidak logis.
”Untuk jangka menengah dan panjang, yang penting (disiapkan) terkait dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan (penguasaan) teknologi sehingga perusahaan yang masuk yakin mendapat tenaga kerja yang dibutuhkan. Ini harus disiapkan,” tutur Dendi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia Meidy Katrin Lengkey menuturkan, industri hilir tidak akan berjalan jika tak ada bahan baku. Oleh karena itu, seluruh tata kelola ekosistem hulu-hilir terkait nikel harus dipersiapkan dan dimatangkan. Termasuk dalam menjaga ketahanan dan kesiapan sumber daya nikel.
Apalagi, pada 2025 nanti terdapat 81 badan usaha, terdiri dari 71 pirometalurgi dan 10 hidrometalurgi, yang direncanakan bakal beroperasi. ”Jika terealisasi, akan ada kebutuhan nikel sebanyak 250 juta ton. Ini bukan angka yang kecil. Ekosistem harus disiapkan. Implementasi dari regulasi yang ada juga harus dikawal bersama,” kata Meidy.
Jadi incaran
Dalam Rapat Kerja Kementerian Perdagangan di Nusa Dua, Bali, Kamis, yang digelar secara hibrida, pemerintah menegaskan pentingnya transformasi ekonomi, terutama di sektor industri penopang ekspor. Komoditas tambang, termasuk nikel, disebut sebagai salah satu bagian dari reformasi struktural industri.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, komoditas-komoditas di Indonesia menjadi incaran banyak negara. Oleh karena itu, Indonesia harus bisa menjualnya dalam bentuk produk olahan atau barang jadi, bukan barang mentah. Nikel, misalnya, yang saat ini harganya naik tinggi akibat dampak konflik Rusia-Ukraina. Komoditas ini turut berkontribusi terhadap kenaikan ekspor besi baja Indonesia karena dapat digunakan sebagai bahan baku baja tahan karat.
Saking berharganya nikel, harga komoditas tersebut di bursa komoditas logam LME dipermainkan spekulan pada Selasa (8/3) waktu setempat. Perusahaan nikel dan baja nirkarat raksasa China, Tshingsan Holding Group, yang juga merupakan investor Indonesia di Sulawesi, rugi besar. ”Perusahaan itu harus berhadapan dengan ’bajak laut’ pialang pasar modal karena imbas kenaikan harga nikel dari 20.000 dollar AS per ton menjadi 100.000 dollar AS per ton,” kata Lutfi.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan, pemerintah terus mendorong hilirisasi industri yang merupakan bagian dari reformasi struktural Indonesia. Salah satunya dengan mengembangkan industri nikel sebagai baham baku baterai kendaraan listrik.
”Nikel sebenarnya juga dibutuhkan oleh industri semikonduktor. Jika industri nikel bernilai tambah tinggi ini terus dikembangkan, ke depan akan menguntungkan Indonesia,” ujar Airlangga.
Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat (US Geological Survey) mencatat, pada 2021 Indonesia merupakan produsen nikel terbesar dunia. Produksinya mencapai 1 juta ton atau berkontribusi sebesar 37,04 persen produksi nikel dunia. Filipina berada di peringkat kedua dengan produksi sebanyak 370.000 ton. Disusul oleh Rusia yang produksi nikelnya sebanyak 250.000 ton, Kaledonia Baru 190.000 ton, dan Australia 160.000 ton.
Sejak 1 Januari 2020, Indonesia melarang ekspor bijih nikel. Indonesia hanya mengekspor nikel olahan, seperti ferro nickel dan nickel pig iron (NPI). Indonesia juga tengah mengembangkan industri nikel yang terintegrasi dengan industri besi baja dan kendaraan listrik.