Lonjakan harga nikel di pasar global sepekan terakhir sebaiknya tidak mengalihkan perhatian dari rencana besar Indonesia untuk mematangkan hilirisasi komoditas tersebut di dalam negeri.
Oleh
MEDIANA, ADITYA PUTRA PERDANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga nikel dunia mengalami lonjakan signifikan pekan ini sebagai dampak dari konflik bersenjata Rusia dan Ukraina. Rusia merupakan salah satu pemasok nikel besar dunia. Indonesia perlu menyiapkan antisipasi agar rencana besar hilirisasi nikel dalam negeri tidak terganggu.
Dikutip dari Reuters, Selasa (8/3/2022), dalam rentang perdagangan nikel, harganya sempat menyentuh 100.000 dollar AS per ton. Bursa London Metal Exchange (LME) menangguhkan perdagangannya. Angka itu melonjak hampir 400 persen dari penutupan Jumat (4/3/2022). Hal ini didorong oleh sanksi negara-negara Barat terhadap Rusia.
Namun, dalam perkembangan harga resmi nikel, berdasarkan laman LME, pada Selasa sebesar 48.201 dollar AS per ton. Nilai itu tetap tercatat sebagai lonjakan signifikan. Pada 1 Maret 2022, nikel masih diperdagangkan 25.450 dollar AS per ton kemudian naik bertahap.
Dalam catatan Trading Economics, harga 48.201 dollar AS per ton merupakan yang pertama terjadi sejak 2 April 2007 ketika harga nikel sempat menyentuh 49.893 dollar AS per ton.
Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, saat dihubungi, Rabu (9/3/2022), mengatakan, secara alamiah, hal itu akan menghadirkan kecenderungan produsen nikel langsung menjual ke luar negeri. Sebab, harganya akan menarik.
”Namun, Pemerintah Indonesia sendiri punya rencana jangka panjang yakni hilirisasi nikel, seperti battery cell produk bernilai tambah lainnya. Jangan sampai value added-nya mengalir semua ke luar negeri. Ini perlu mendapat perhatian seperti perlu adanya mekanisme atau regulasi pembatasan produk nikel,” ujar Riefky.
Ia menambahkan, ore atau bijih nikel memang sudah tidak diekspor dan dioptimalkan untuk menghasilkan antara lain feronikel. Namun, dalam rantai pasok baterai, lanjut Riefky, feronikel masih cenderung berada di tingkat hulu atau tingkat pengolahannya masih tahap awal. Apabila sudah pada tahap precursor dan katoda, barulah relatif sudah pada tahap midstream, sebelum kemudian menjadi baterai.
”Nilai tambah baru banyak terjadi jika rantai produksinya sudah mendekati battery cell atau ujungnya. Jangan sampai, misalnya, kita ekspor produk-produk midstream (tengah) kemudian impor downstream (hilir). Yang diharapkan semua kan produk downstream bisa diciptakan dalam negeri. Apalagi, produk-produk hulunya sudah punya,” katanya.
Riefky menuturkan, saat ini belum dapat diketahui pasti, sejauh mana gejolak di tingkat global akan berlangsung. Sementara ini, diperkirakan lonjakan harga nikel hanya sementara. Potensi kelangkaan juga rendah karena selain Rusia, ada sejumlah negara-negara lain dapat menjadi alternatif pemasok komoditas itu.
Adapun dalam hilirisasi di dalam negeri, kata Riefky, perlu ada kesinambungan antara perencanaan dan implementasi. ”Ini yang perlu diperhatikan pemerintah. Sebab, ini bukan sekadar fokus 1-2 tahun. Implementasinya harus sesuai dan value added itu harus tercipta,” ujarnya.
Kenaikan harga akan menjadi hal positif jika harga itu bertahan atau stabil beberapa waktu ke depan sehingga harga patokan mineral akan ikut naik.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey menuturkan, kenaikan harga di bursa LME pada Selasa memang luar biasa. Namun, bagi petambang nikel, hal tersebut sebenarnya tidak terlalu berdampak signifikan. Adapun lonjakan harga internasional menghadirkan sisi positif dan negatif.
Menurut dia, penghitungan harga patokan nikel dilihat dalam tiga bulan terakhir, bukan harian. Artinya, ada kemungkinan situasi bersifat sementara sehingga harga akan kembali turun. Kenaikan harga akan menjadi hal positif jika harga itu bertahan atau stabil beberapa waktu ke depan sehingga harga patokan mineral akan ikut naik.
Di sisi lain, hal itu dapat berdampak negatif. Pasalnya, saat ini, serapan nikel didominasi oleh dua perusahaan utama, yang salah satunya dilaporkan mengalami kerugian sangat besar. ”Jangan sampai hal itu nantinya berdampak pada petambang. Apabila nanti hanya ada satu perusahaan dominan, tidak bagus juga untuk iklim usaha,” katanya.
Tata kelola
Ia juga menilai tata kelola nikel yang berlangsung saat ini belum berjalan baik sepenuhnya. Padahal, pemerintah memiliki rencana besar untuk mengembangan hilirisasi nikel. Jika rencana terwujud, nantinya total akan ada 81 badan usaha yang bakal membutuhkan pasokan nikel sangat besar. Untuk mendukung itu, ekosistem harus tercipta dengan baik.
Di samping itu, kata Meidy, banyak perusahaan tambang belum mendapat Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Sejumlah perusahaan nikel juga masih khawatir akan pencabutan izin usaha pertambangan (IUP). Dengan demikian, lonjakan harga internasional saat ini juga tidak bisa dinikmati oleh para pengusaha.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menegaskan pilihan untuk menerapkan hilirisasi industri untuk memberi manfaat luas. ”Manfaatnya lari ke mana-mana. Karena itu, (setelah stop ekspor ore nikel) kita akan lanjut stop bauksit, lalu tembaga, emas, dan timah,” tutur Presiden di Konawe, Sulawesi Tenggara, Senin (27/12/2021), (Kompas, 28/12/2021).
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Direktorat Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Sunindyo Suryo Herdadi menilai, lantaran sudah tak mengekspor ore nikel, lonjakan harga internasional dinilainya tidak akan berdampak signifikan.
”(Indonesia) Tidak akan terlalu terpengaruh dengan tren kenaikan harga tinggi di pasar global. Indonesia sendiri sudah fokus ke industri baterai dalam negeri,” kata Sunindya dalam acara Jakarta Foreign Correspondents Club bertajuk ”JFCC Virtual Discussion on Coal Energy”, Rabu.
Menurut data LPEM FEB UI, yang diolah dari Nickel Institute pada 2021, Indonesia menjadi negara kedua setelah Australia dengan sumber daya nikel terbesar di dunia, yakni 33,3 juta ton atau 11 persen. Rusia di posisi keempat dengan 24,4 juta ton atau 8 persen. Sementara dalam cadangan nikel di dunia, Indonesia ada di urutan pertama dengan 21 juta ton atau 23,7 persen.
Menurut Minerba One Data Indonesia Kementerian ESDM, pada 2021, produksi feronikel yakni 1,6 juta ton dengan penjualan 1,03 juta ton. Sementara nikel pig iron diproduksi 664.746,8 ton dengan penjualan 73.562,2 ton. Adapun nikel matte diproduksi sebanyak 82.564 ton dengan penjualan 69.620,6 ton.