Industri asuransi syariah di Indonesia masih menghadapi tantangan ganda, internal dan eksternal. Upaya lebih untuk mengembangkan asuransi syariah diperlukan, termasuk membangun kepercayaan dan literasi.
Oleh
NINA SUSILO
·3 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengingatkan, kepercayaan masyarakat adalah salah satu faktor kunci penentu perkembangan industri asuransi ke depan. Oleh karena itu, industri asuransi syariah juga perlu mempersiapkan langkah untuk membangun kepercayaan masyarakat.
”Kepercayaan yang berawal dari keterbukaan informasi dan kemudahan akses akan mempermudah upaya peningkatan literasi masyarakat, khususnya terhadap produk dan manfaat asuransi. Melalui digitalisasi, transparansi dan kemudahan akses juga akan semakin menarik minat masyarakat terhadap produk dan manfaat asuransi syariah,” tutur Wapres dalam Rapat Anggota Tahunan Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) yang diselenggarakan secara daring, Rabu (9/3/2022).
Hadir pula dalam acara ini Deputi Komisioner Pengawasan IKNB II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Moch Ihsanudin, Ketua Umum AASI Tatang Nurhidayat, dan Sekretaris Dewan Penasihat AASI Mohamad Hidayat.
Untuk menjadikan kepercayaan sebagai fondasi bisnis asuransi syariah, diperlukan agen-agen kompeten dan jujur dalam memberikan informasi asuransi syariah secara benar kepada masyarakat. Selain itu, dana investasi harus dikelola secara tepat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Upaya lebih untuk mengembangkan asuransi syariah dinilai perlu. Apalagi, kata Wapres Amin, sekarang ini masih banyak yang menganggap asuransi tidak sesuai prinsip syariah.
Namun, semestinya asuransi syariah sudah tidak mengalami masalah dengan kehalalannya. Sebab, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah memberikan fatwa mengenai asuransi syariah sepanjang tidak ada faktor judi dalam pengelolaan asetnya.
Selain itu, Wapres Amin menyebutkan masih banyak tantangan, baik internal maupun eksternal yang harus dihadapi perusahaan asuransi syariah. Beberapa tantangan internal, antara lain, minimnya diferensiasi dan keunikan produk asuransi syariah dibandingkan produk asuransi konvensional, minimnya promosi dan eksposur asuransi syariah dalam menjangkau segmen pasar potensial, dan keterbatasan SDM profesional.
Efisiensi tata kelola dan permodalan juga masih menjadi tantangan, terutama yang berkaitan dengan kewajiban pemisahan unit usaha syariah pada 2024. Hal ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Deputi Komisioner Pengawasan IKNB II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Moch Ihsanudin menambahkan, industri asuransi syariah perlu mempersiapkan segala sesuatu termasuk infrastruktur, business process, IT, SDM dan lain-lain. Dengan demikian, industri asuransi syariah di Indonesia bisa berkembang dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip syariah.
”Rencana kerja pemisahan unit syariah atau yang biasa disebut RKPUS harus segera mendapat persetujuan OJK. Tentunya bapak ibu sekalian sudah mempersiapkan rencana spin off ini dengan serius. Mungkin kita juga akan melakukan proses amendemen POJK Nomor 67 Tahun 2016,” tuturnya.
Literasi
Tantangan eksternal yang juga perlu diantisipasi, antara lain, rendahnya minat masyarakat akibat minimnya literasi, promosi, dan eksposur terkait asuransi syariah; ketidakpastian akibat pandemi; dan keterbukaan pasar regional melalui ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS).
Untuk itu, Wapres Amin meminta industri asuransi syariah lebih memperkuat inovasi produk dan memperluas pangsa pasar. Dengan demikian, produk asuransi syariah lebih kompetitif dan tepat sasaran.
Industri asuransi syariah juga diminta bekerja sama lintas sektor. Hal ini akan memperkuat eksposur industri asuransi syariah. Peluang kolaborasi dengan teknologi finansial syariah, misalnya, bisa dijajaki. Promosi melalui beragam kanal juga semestinya dilakukan.
”Jangan tertinggal dari industri jasa keuangan lain karena awareness masyarakat terhadap ekonomi dan keuangan syariah terus meningkat dari waktu ke waktu,” tambah Wapres.
Selain memperbaiki tata kelola perusahaan asuransi syariah, kualitas dan kuantitas SDM melalui sertifikasi juga perlu ditingkatkan. Semakin banyak pelaku industri asuransi syariah yang mumpuni akan membangun kepercayaan masyarakat.
Sejauh ini, kinerja asuransi jiwa syariah dinilai lebih baik ketimbang asuransi umum dan reasuransi syariah. Pada akhir 2021, aset industri asuransi jiwa mencapai Rp 589,8 triliun, sedangkan aset asuransi umum dan reasuransi apabila digabung hanya Rp 212,4 triliun.
Kendati masih didominasi asuransi jiwa syariah, Wapres Amin menilai sektor asuransi syariah secara umum tetap berpeluang besar berkembang di pasar dalam negeri.