Baru saja belajar menavigasi ketidakpastian pandemi, disrupsi lain datang dalam bentuk ketegangan geopolitik. Dunia industri pun harus menghadapi ujian baru di tengah rantai pasok yang semakin rentan.
Oleh
AGNES THEODORA
·5 menit baca
Industri manufaktur memasuki awal 2022 dengan rapor hijau dan keyakinan bahwa situasi telah membaik. Sejumlah perusahaan mulai berencana melakukan ekspansi usaha dan beradaptasi menuju skenario pemulihan. Rekrutmen tenaga kerja kembali dilakukan, baik untuk pekerja yang sebelumnya sempat dirumahkan karena dampak pandemi, maupun pekerja baru.
Badan Pusat Statistik mencatat, pertumbuhan sektor manufaktur sepanjang tahun 2021 mencapai 3,67 persen. Ini menjadi indikasi bahwa industri pengolahan nonmigas mulai kembali ke posisi sebelum pandemi Covid-19 setelah sebelumnya sempat terkontraksi di tahun 2020, kendati masih sedikit di bawah pertumbuhan 2019 sebesar 3,8 persen.
Pada Februari 2022, ekspansi industri pengolahan melambat akibat merebaknya varian baru Omicron. Berdasarkan laporan IHS Markit, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia berada di level 51,2 atau terendah dalam enam bulan terakhir. Indonesia juga satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang tidak mengalami percepatan ekspansi manufaktur.
Akan tetapi, kendati terdampak Omicron, dampaknya tidak seganas varian Delta. Meski melambat, industri masih bertahan di zona ekspansif. Sebagian pelaku industri mulai bisa menyiasati pandemi dengan skema Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI), pengetatan protokol kesehatan, pembagian sif kerja, dan percepatan vaksinasi penguat bagi pekerjanya.
Laporan IHS Markit juga menunjukkan bahwa di tengah dampak Omicron, perusahaan masih mampu melakukan rekrutmen tenaga kerja baru. Bahkan, tingkat penciptaan lapangan kerja pada Februari 2022 tercatat sebagai yang paling cepat sejak Covid-19 pertama kali muncul.
Walakin, dunia semakin diwarnai ketidakpastian. Baru saja belajar menavigasi ketidakpastian pandemi, disrupsi lain datang dalam bentuk ketegangan geopolitik akibat invasi Rusia ke Ukraina. Dunia industri pun harus menghadapi ujian baru di tengah rantai pasok yang semakin rentan.
Biaya produksi naik
Dalam waktu dua minggu, risiko terbesar pada rantai pasok global bergeser dari dampak wabah Covid-19 menjadi perang Rusia-Ukraina. Konflik itu berimbas pada melonjaknya harga sejumlah komoditas, yang ikut meningkatkan harga bahan baku dan biaya produksi di beberapa sektor andalan, antara lain makanan dan minuman, tekstil, serta besi dan baja.
Dalam waktu dua minggu, risiko terbesar pada rantai pasok global bergeser dari dampak wabah Covid-19 menjadi perang Rusia-Ukraina.
Di sektor makanan dan minuman, dampak langsung akan dirasakan karena Ukraina merupakan eksportir gandum terbesar kedua setelah Australia. Pada 2021, impor gandum dari Ukraina mencapai 26,8 persen dari total impor gandum Indonesia sebanyak 11,4 juta ton. Gandum digunakan sebagai bahan baku sejumlah produk, seperti mi instan, roti, dan aneka kudapan ringan seperti biskuit dan kue.
Industri besi dan baja, yang cukup bergantung pada impor dari Rusia, juga merasakan dampak langsung. Per 2021, impor terbesar Indonesia dari Rusia adalah ingot besi baja sebagai bahan baku baja dengan nilai 326,63 juta dollar AS. Selain besi baja, impor terbesar kedua dari Rusia adalah pupuk buatan pabrik senilai 326,03 juta dollar AS, yang akan berdampak ke sektor pertanian dan makanan dan minuman.
Dampak tidak langsung juga dirasakan akibat terkereknya harga minyak dan gas bumi. Industri yang produksinya bergantung pada komoditas energi pun ikut terimbas, seperti sektor tekstil. Sebagai produk turunan langsung dari minyak bumi yang juga menggunakan gas alam untuk produksinya, harga serat poliester sebagai bahan baku tekstil ikut naik.
Demikian pula harga rayon yang produksinya mengandalkan bahan dari turunan minyak bumi. Bahkan, harga kapas ikut mengalami kenaikan karena AS sebagai pemasok utama kapas mengganti lahan kapasnya menjadi lahan jagung demi memproduksi bioetanol untuk mengantisipasi lonjakan harga minyak dunia.
Untuk meredam dampak kenaikan biaya input pada produk jadi, sejumlah sektor akan berusaha menjaga agar harga produk akhir di pasaran tidak naik drastis. Apalagi, mengingat barang-barang yang terimbas itu mencakup kebutuhan primer masyarakat seperti sandang dan pangan.
Dengan meredam kenaikan harga produk akhir, perusahaan harus menekan margin keuntungan. Di satu sisi, strategi ini bisa menjaga kestabilan harga barang di pasaran dan menjaga daya beli masyarakat. Namun, dampaknya akan buruk pada arus kas perusahaan yang kembali tertekan setelah baru saja mulai pulih dari dampak pandemi.
Jika ketegangan geopolitik ini berlanjut lama, dampaknya bisa meluas hingga kembali menghambat pertumbuhan ekonomi, memukul sektor ketenagakerjaan, dan memicu krisis sosial-ekonomi. Bukan tidak mungkin, arus kas yang terpaksa diketatkan itu berdampak pada kembali dirumahkannya pekerja industri, pemangkasan upah, dan PHK—yang kembali mengganggu daya beli masyarakat.
Menekan ongkos
Konflik Rusia-Ukraina memang di luar kendali Indonesia. Namun, sebagai salah satu sektor penyerap tenaga kerja terbesar dan penyumbang utama perekonomian nasional, intervensi pemerintah tetap dibutuhkan untuk menekan ongkos manufaktur yang berpotensi melonjak sepanjang tahun.
Intervensi pemerintah tetap dibutuhkan untuk menekan ongkos manufaktur yang berpotensi melonjak sepanjang tahun.
Perlu diingat pula bahwa naiknya biaya logistik akibat kelangkaan kontainer sampai sekarang masih terjadi, diiringi naiknya biaya produksi lain akibat harga gas yang meningkat dan potensi naiknya tarif dasar listrik (TDL) tahun ini. Jika industri diharapkan menekan harga output di tengah tingginya berbagai biaya produksi dan logistik itu, perlu ada kompensasi agar eksesnya dapat dikendalikan.
Insentif bagi industri perlu kembali dihidupkan, misalnya dalam bentuk penurunan biaya logistik, keringanan pajak atau tarif perdagangan. Agar tidak terlalu menambah beban fiskal, insentif harus tepat sasaran untuk sektor yang betul-betul terimbas, dengan kalkulasi dampak yang dikaji teliti.
Di sisi lain, disrupsi bertubi-tubi ini semakin mengingatkan pentingnya mewujudkan rantai pasok yang lebih kuat menghadapi guncangan. Dibutuhkan inovasi dari sektor swasta untuk mengubah strategi diversifikasi rantai pasok agar tidak hanya bergantung pada satu sumber utama. Krisis ini juga menjadi momen untuk mendorong substitusi impor yang terukur serta meningkatkan kapasitas dan daya saing industri bahan baku lokal.
Mengutip The Economist dalam Opini tanggal 18 Desember 2021, ”the era of predictable unpredictability is not going away”. Pandemi dan dunia yang kian terhubung membuat ketidakpastian menjadi hal yang paling bisa dipastikan hari-hari ini. Perang di satu belahan bumi memunculkan krisis di ujung lainnya. Adaptasi, baik oleh sektor swasta maupun pemerintah, menjadi keniscayaan.