Twitter Makin Matang Ikut Perang Lawan Misinformasi
Twitter sadar, maraknya penyebaran informasi yang salah bisa menggiring opini publik. Label akun otomatis atau bot, penanda cuitan hoaks, hingga fitur Birdwatch jadi senjata melawan masifnya informasi yang menyesatkan.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·4 menit baca
Banjir informasi yang diikuti masifnya misinformasi, disinformasi, dan berita bohong terus mendapat perlawanan. Twitter sebagai salah satu platform media sosial turut melakukan perlawanan. Platform berlambang burung biru itu makin memperkuat diri untuk menangkal konten hoaks. Hal itu dilakukan melalui penguatan fitur pelaporan, fitur penanda, dan fitur Birdwatch.
“Twitter punya misi agar masyarakat tetap mendapat informasi. Kami juga terus berupaya agar informasi yang diterima adalah informasi yang benar dengan mengurangi beredarnya informasi yang salah atau misleading,” ujar Head of Site Integrity Twitter, Yoel Roth, Selasa (8/3/2022).
Dalam menjalankan misinya, Twitter punya tiga fokus menekan disinformasi dalam integritas warga, Covid-19, serta konten-konten dari media abal-abal. Hal itu dilakukan dengan menjaga munculnya diskusi dan debat, akun-akun personal, dan munculnya ilmu-ilmu baru.
Twitter juga membatasi dan menandai klaim-klaim yang salah dan menyesatkan. Twitter bahkan tak tak segan-segan menghapus konten-konten yang menyakiti pihak-pihak tertentu.
“Kami punya alat yang mampu melawan penyebaran informasi. Kami bisa menghapus konten, menandai dan melabeli akun dan cuitan, mengurangi paparan, mengeluarkan peringatan, hingga membuat konten tersebut tidak bisa ditanggapi,” ungkap Yoel.
Twitter, lanjut Yoel, akan sangat tegas dalam menerapkan aturannya. Akun yang melanggar akan mendapat sanksi mulai dari penguncian akun selama 12 jam, 7 hari, hingga penangguhan akun permanen. Sanksi itu tergantung berapa kali akun tersebut melanggar aturan.
Penanda
Twitter nampaknya sadar, maraknya penyebaran informasi salah bisa menggiring opini publik salah satunya karena maraknya akun-akun otomatisasi atau akun bot. Karena itu, Twitter merilis penanda-penanda baru, salah satunya penanda akun tersebut adalah akun bot.
Penanda yang diberikan Twitter tak hanya untuk akun bot. Beberapa akun yang juga dapat menggunakan fitur ini ialah akun resmi pemerintah hingga media yang telah terverfikasi.
“Kami juga akan memberi penanda berupa peringatan pada cuitan-cuitan yang dilaporkan dan kami nilai sebagai sebuah informasi yang salah. Kami akan memberi penanda agar pengguna Twitter tahu bahwa cuitan tersebut salah atau meminta untuk mencari referensi lain dari sumber yang lebih terpercaya,” ujar Director Design Twitter Anita Butler.
Sebelum resmi meluncurkannya, Twitter telah melakukan uji coba fitur tersebut. Hasilnya, ada peningkatan 17 persen pengguna yang mengunjungi tautan penanda di sebuah konten misinformasi. Itu artinya, pengguna Twitter akan mendapat informasi yang lebih tepat.
Twitter juga mengklaim, fitur itu mampu menekan penyebaran dan paparan konten hoaks di linimasa. Hal itu tampak dari penurunan jumlah interaksi di sebuah cuitan yang telah diberi label dan peringatan misinformasi. Penurunan interaksi meliputi penurunan jumlah komentar hingga 13 persen, retweet 10 persen, dan suka 15 persen.
Pada kesempatan tersebut, “si burung biru” tampaknya juga ingin mengokohkan dirinya benar-benar seperti burung. Mereka kini tak lagi sibuk mencuit tetapi juga melihat dengan sudut pandang yang luas seperti burung. Hal itu diwujudkan dengan merilis fitur Birdwatch. Fitur yang ikut memberdayakan warga Twitter itu akan menjadi seperti komunitas cek fakta.
“Pengguna Twitter yang ragu akan sebuah informasi bisa melaporkannya ke fitur Birdwatch. Nantinya, warga Twitter lainnya bisa memberikan pandangannya. Birdwatch akan membantu banyak orang melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang yang berbeda,” tutur Vice President Product Twitter Keith Coleman.
Dari hasil survei yang dilakukan Twitter, mayoritas responden menyebut Birdwatch sangat membantu. Sebagian pengamat profesional bahkan turut menilai keakuratan informasi yang dibagikan di sana. Dampaknya, hanya sekitar 20 persen hingga tak lebih dari 40 persen warga Twitter yang akhirnya tetap setuju dengan isi cuitan yang berpotensi menyesatkan.
Upaya Twitter untuk menekan penyebaran informasi menyesatkan perlu diapresiasi. Hal ini juga menjadi angin segar bagi masyarakat yang selama pandemi kewalahan karena dibanjiri aneka informasi yang salah. Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, sejak 23 Januari 2020 hingga 8 Maret 2022, sedikitnya ada 2.140 temuan isu hoaks terkait Covid-19. Isu tersebut disebarkan hingga 5.637 unggahan.
Facebook menjadi platform media sosial yang paling banyak digunakan untuk menyebarkan isu hoaks tentang vaksin. Sedikitnya ada 4.932 pengajuan take down sebaran hoaks Covid 19 di sana. Adapun di Twitter, ada 573 unggahan yang diajukan untuk di-takedown.