Masih Ada Bias Jender yang Membudaya di Tempat Kerja
Berbagai kebijakan yang mendukung kesetaraan partisipasi ekonomi perempuan dan laki-laki telah semakin berkembang. Namun, masih ada bias gender di tempat kerja yang tidak disadari dan masih jadi kebiasaan.
Oleh
MEDIANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Skor indeks Perempuan, Bisnis, dan Hukum atau Women, Business, and Law Index 2022 Indonesia, sesuai temuan riset Bank Dunia, adalah 64 dari 100. Indonesia dinilai telah memiliki regulasi dan kebijakan yang mendukung perlindungan perempuan penyandang disabilitas dari kekerasan, fasilitas pengasuhan anak di ruang publik formal sehingga mendukung partisipasi angkatan kerja perempuan, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Indeks Perempuan, Bisnis, dan Hukum meneliti undang-undang dan peraturan di 190 negara di delapan indikator yang memengaruhi partisipasi ekonomi perempuan. Delapan indikator yang dimaksud adalah mobilitas, tempat kerja, upah, pernikahan, menjadi orangtua, kewirausahaan, aset, dan pensiun.
Dalam laporan riset WBL 2022, Bank Dunia menyebutkan, indikator yang Indonesia memperoleh skor 60 ke atas, yaitu mobilitas (100), upah (75), kewirausahaan (75), dan pensiun (75). Sementara indikator aset, Indonesia mendapat skor 60. Sementara indikator sisanya, yakni regulasi/kebijakan di tempat kerja, pernikahan, dan menjadi orangtua di Indonesia mendapat skor di bawah 60.
Untuk menyusun indeks WBL, Bank Dunia menggunakan umpan balik dari lebih dari 2.000 responden dengan keahlian di bidang keluarga, perburuhan, dan hukum pidana, termasuk pengacara, hakim, akademisi, dan anggota organisasi masyarakat sipil yang bekerja secara lokal dalam isu jender. Tim WBL juga mengumpulkan teks undang-undang dan peraturan yang relevan dan memverifikasi jawaban kuesioner untuk keakuratannya. Tanggapan divalidasi terhadap sumber hukum nasional yang terkodifikasi, seperti di bidang ketenagakerjaan, jaminan sosial, antikekerasan terhadap perempuan, serta pernikahan dan keluarga.
”Untuk mencapai pembangunan yang lebih hijau, tangguh, dan inklusif, pemerintah perlu mempercepat laju reformasi hukum sehingga perempuan dapat mewujudkan potensi penuh mereka dan mendapatkan manfaat sepenuhnya dan setara,” ujar Mari Pangestu, Managing Director of Development Policy and Partnerships Bank Dunia, dalam siaran pers Selasa (8/3/2022).
Berdasarkan temuan riset WBL 2022, secara global perempuan hanya memiliki tiga perempat dari hak hukum yang diberikan kepada laki-laki. Indeks WBL 2022 di tingkat global memiliki skor 76,5 dari 100. Hampir 2,4 miliar perempuan di dunia belum memiliki hak ekonomi yang setara dengan laki-laki. Meski masih ada ketidakseimbangan regulasi ataupun kebijakan, 23 negara diketahui mereformasi regulasi mereka pada tahun 2021 guna memajukan partisipasi ekonomi perempuan.
”Walaupun ada kemajuan yang dicapai, masih ada kesenjangan antara pendapatan seumur hidup laki-laki dan perempuan secara global yang mencapai 172 triliun dollar AS. Hampir dua kali lipat produk domestik bruto tahunan dunia,” kata Mari.
Secara global, jumlah reformasi tertinggi terjadi pada indikator menjadi orangtua, upah, dan tempat kerja. Reformasi peraturan dan kebijakan fokus pada perlindungan terhadap pelecehan seksual di tempat kerja, melarang diskriminasi jender, meningkatkan cuti berbayar untuk orangtua baru, dan menghapus pembatasan pekerjaan bagi perempuan. Meski ada kemajuan, skor indikator upah dan menjadi orangtua di hampir semua negara yang diteliti masih berkisar 68,7 dan 55,6.
Sementara itu, dalam diskusi daring bertajuk Hari Perempuan Internasional 2022 yang diselenggarakan oleh Flip (perusahaan teknologi pembayaran), Selasa (8/3/2022), di Jakarta, Chief Operating Officer Flip Gita Prihanto, mengatakan, di sektor industri teknologi digital, jumlah perempuan bekerja semakin bertambah. Ini juga terjadi di Indonesia.
”Banyak perusahaan teknologi digital mengembangkan kebijakan-kebijakan yang pro-kesetaraan jender. Sebagai contoh, fleksibilitas bekerja bagi karyawan perempuan yang sudah memiliki anak,” ujar Gita.
Berdasarkan pengalamannya bekerja di Flip, manajemen Flip telah menerapkan pola bekerja dari mana pun sebelum pandemi Covid-19. Flip pun memberlakukan cuti haid dan perpanjangan durasi cuti melahirkan bagi karyawan perempuan menjadi empat bulan.
Menurut Gita, walaupun sudah terjadi kemajuan positif, di beberapa perusahaan teknologi masih ada bias jender yang cenderung jadi budaya. Misalnya, di satu divisi tertentu merekrut karyawan laki-laki lebih banyak. Contoh lain, ketidaksetaraan upah karyawan perempuan dan laki-laki meskipun mengerjakan bidang yang sama.
”Bias jender itu sering kali terjadi tanpa disadari. Untuk mengatasi persoalan ini, manajemen perusahaan sebaiknya memetakan dan buka dialog fakta-fakta karyawan perempuan dan laki-laki. Dari situ akan kelihatan tingkat kompetensi dan kesenjangan yang mereka hadapi,” imbuh Gita.
Co-Founder dan CEO Tentang Anak, Mesty Ariotedjo, berpendapat, dari setiap individu pekerja perempuan dan laki-laki harus memiliki pemahaman kesetaraan, inklusivitas, dan keberagaman. Pemahaman tersebut seharusnya dibekali orangtua sejak dini.
”Dengan demikian, kelak ketika anak tumbuh dewasa dan terjun ke pasar kerja, mereka sudah terbiasa dengan praktik kesetaraan, hubungan yang inklusif, dan keberagaman,” tutur Mesty.