Konflik Rusia-Ukraina berimbas pada terbatasnya pasokan sejumlah bahan baku industri. Pelaku industri berusaha menjaga agar kenaikan harga bahan baku tidak membuat harga akhir produk di pasaran naik terlalu tinggi.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konflik Rusia-Ukraina yang berimbas pada melonjaknya harga sejumlah komoditas energi ikut memengaruhi pasokan dan harga bahan baku di sejumlah sektor industri. Pelaku industri mengantisipasi ketersediaan bahan baku dan berusaha menjaga agar kenaikan harga barang produksi tidak terlalu tinggi.
Beberapa sektor yang terimbas dinamika kondisi global belakangan ini adalah industri tekstil serta makanan dan minuman. Di sektor tekstil, bahan baku seperti kapas, poliester, dan rayon terkena dampak tidak langsung dari kenaikan harga sejumlah komoditas energi, seperti minyak dan gas bumi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia Redma Gita Wirawasta mengatakan, sebagai produk turunan langsung dari minyak bumi serta menggunakan gas alam untuk proses produksinya, harga poliester otomatis ikut naik. Demikian juga dengan rayon yang produksinya juga mengandalkan bahan dari turunan minyak bumi.
Sementara itu, harga kapas ikut naik karena Amerika Serikat sebagai negara pemasok utama kapas ke Indonesia ditengarai sudah menggantikan ladang kapasnya ke ladang jagung karena terimbas harga minyak dunia yang naik. Saat ini, harga kapas naik melebihi 100 persen dari harga normal.
”Kecenderungan AS selalu begitu. Ketika harga minyak akan naik, dia kurangi ladang kapasnya dan memperbanyak ladang jagung supaya bisa switch ke bioetanol. Otomatis harga kapas akan naik karena suplai kapas jadi berkurang,” kata Redma saat dihubungi, Sabtu (5/3/2021).
Industri pun mulai mengantisipasi persoalan pasokan bahan baku tersebut. Terlebih, permintaan diperkirakan akan meningkat memasuki bulan Ramadhan dalam waktu dekat. Redma mengatakan, pelaku industri berusaha menjaga agar kenaikan harga bahan baku tidak berdampak terlalu banyak pada harga produk jadi di pasaran.
Ia memperkirakan, dengan kenaikan harga bahan baku, harga garmen atau pakaian jadi akan naik berkisar 3-5 persen. ”Saat ini pasar lokal menjadi andalan, sekuat mungkin kami akan menjaga pasar lokal. Sebisa mungkin perusahaan tidak cari margin profit yang tinggi. Yang penting produksi jalan dan barangnya laku dulu, margin keuntungan urusan belakangan,” kata Redma.
Sebisa mungkin perusahaan tidak cari margin profit yang tinggi. Yang penting produksi jalan dan barangnya laku dulu.
Untuk menjaga pasokan bahan baku, ia yakin industri lokal masih bisa memenuhi kebutuhan poliester dan rayon. ”Yang jadi problem memang kapas, kalau itu kita tidak bisa berbuat apa-apa. Jalan tengahnya mungkin mengurangi komponen kapas dalam produk jadi dan diganti dengan memperbanyak poliester atau rayon,” tuturnya.
Sementara itu, sektor makanan dan minuman ikut merasakan imbas berupa pasokan impor gandum yang berkurang. Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) mencatat, Ukraina adalah negara pengekspor gandum kedua terbesar ke Indonesia. Pada 2021, impor gandum dari Ukraina mencapai 26,8 persen dari total impor gandum Indonesia sebanyak 11,4 juta ton.
Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Loppies mengatakan, kenaikan harga gandum sebenarnya sudah terjadi selama dua tahun terakhir karena imbas pandemi Covid-19, seiring dengan kenaikan jenis komoditas lainnya. Namun, konflik Rusia-Ukraina ikut memperburuk keadaan.
Menyikapi kenaikan harga itu, produsen tepung sudah sejak lama mengomunikasikan kepada usaha mikro kecil menengah (UMKM) selaku pengguna tepung terigu bahwa di tengah ketidakpastian global saat ini akan ada kenaikan harga.
”Kami sudah sosialisasikan bahwa terigu kami akan naik harga karena harga bahan baku naik sehingga mereka juga harus menaikkan harga. Kalau mereka tidak menaikkan harga, mereka tidak bisa membeli terigu dari saya. Dengan komunikasi itu, syukur sampai sekarang tidak ada kepanikan,” kata Ratna.
Lebih lanjut, ia tidak mengkhawatirkan pasokan gandum yang berkurang dari Ukraina karena Indonesia memiliki negara pemasok lainnya, seperti Australia, sebagai pemasok gandum terbesar serta negara-negara lain, seperti Kanada, Argentina, dan Amerika Serikat.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Bidang Perindustrian Bobby Gafur Umar mengatakan, pemerintah harus menjadi motor pendorong untuk menjaga kinerja industri dan mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi. Khususnya untuk sejumlah sektor yang bergantung pada bahan baku impor dari Rusia dan Ukraina, seperti besi dan baja.
Badan Pusat Statistik mencatat, per 2021, impor terbesar Indonesia dari Rusia adalah ingot besi baja sebagai bahan baku baja sebanyak 486.000 ton dengan nilai 326 juta dollar AS. ”Pemerintah harus jadi driver-nya. Kalau mau menjaga momentum pertumbuhan ekonomi, untuk menjaga demand, proyek-proyek pemerintah harus tetap berjalan. Apalagi, untuk baja, selain harganya naik, biaya transportasi logistik juga memang sedang tinggi,” kata Bobby.
Menurut dia, saat ini, pelaku industri sedang berjaga-jaga menunggu situasi yang lebih pasti. Sejumlah rencana untuk melakukan ekspansi usaha serta berinvestasi pun harus kembali ditunda.
”Sebenarnya, awal tahun ini banyak perusahaan yang sudah melakukan rekonstruksi perencanaan (bisnis) karena optimistis dengan kondisi ekonomi dan pandemi yang mereda. Tetapi, kondisi 1-2 minggu ini sangat mengkhawatirkan. Kita tidak bisa prediksi konflik ini akan sampai kapan, akhirnya banyak perusahaan yang memutuskan untukwait and see,” katanya.