Menyingkap Tabir Jatuhnya Lion Air JT-610
Lebih dari tiga tahun. Menunggu kepastian. Siapakah pihak paling bertanggung jawab atas jatuhnya pesawat terbang Lion Air JT-610?

Serpihan pesawat Lion Air JT-610 ditemukan di perairan Laut Jawa, Senin (29/10/2018) siang.
Downfall: The Case Against Boeing, film berdasarkan fakta kecelakaan dua pesawat terbang yang ditayangkan Netflix, medio Februari 2022, kembali menggegerkan dunia penerbangan. Salah satu yang dibahas adalah kecelakaan pesawat Lion Air JT-610.
Dalam kurun waktu lima bulan, dua kecelakaan pesawat produk high tech Boeing terjadi di lokasi berbeda dan memakan korban lebih dari 300 orang. Film dokumenter itu mengingatkan kembali jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 dan Ethiopian Airlines ET-302. Keduanya menggunakan pesawat tipe Boeing 737-Max.
Film dibuka dengan jatuhnya Lion Air JT-610 pada 29 Oktober 2018, beberapa menit setelah lepas landas di perairan sekitar Jakarta. Keluarga korban pilot Kapten Bhavye Suneja digambarkan terpukul atas kecelakaan fatal tersebut. Sebab, awalnya muncul dugaan pilot menjadi pihak yang bersalah dalam mengendalikan pesawat.
Fakta sedikit terkuak ketika perangkat blackbox berhasil ditemukan. Dari percakapan pilot dan kopilot, tersingkap akar masalah berawal dari sistem stabilisasi penerbangan otomatis. Akibatnya, hidung pesawat meluncur cepat ke permukaan laut. Menukik dan gagal dikendalikan ke atas lagi.
Bagaimana mungkin produk berteknologi tinggi mengalami kecelakaan? Tuduhan pun bermunculan, mulai dari andil kontribusi besar maskapai ke manufaktur hingga andil kontribusi otoritas penerbangan nasional Amerika Serikat, Faderation Aviation Administration.
Dari percakapan pilot dan kopilot, tersingkap akar masalah berawal dari sistem stabilisasi penerbangan otomatis.
Bertahun-tahun menanti jawaban, seakan diingatkan kembali dalam webinar ”Kecelakaan Pesawat: Tanggung Jawab Siapa?” yang diselenggarakan Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara dan Pusat Studi Air Power Indonesia, awal Maret 2002. Setiap kali terjadi kecelakaan pesawat terbang, banyak sekali pertanyaan yang tidak terjawab dengan tuntas mengenai apa dan siapa serta terutama bagaimana nasib korban kecelakaan itu.
Sebelumnya, 18 November 2018, pihak Boeing merilis penyebab jatuhnya pesawat akibat aktivasi maneuvering characteristics augmentation system (MCAS). Banyak ahli bingung terhadap istilah ini. Hasil pertemuan Boeing dan asosiasi pilot menjanjikan, perbaikan dapat dilakukan dalam waktu enam pekan.

Presiden Joko Widodo meninjau Posko Terpadu Evakuasi Korban Pesawat Lion Air JT-610 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (30/10/2018). Presiden didampingi Kepala Basarnas M Syaugi dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.
Bahkan, Dennis A Muilenburg, Presiden dan CEO The Boeing Company saat itu, meyakini pesawat itu telah didesain aman. Tragisnya, pada 10 Maret 2019 atau 19 pekan sejak peristiwa jatuhnya Lion Air, maskapai Ethiopian Airlines mengalami peristiwa serupa. Setelah lepas landas dari Bandara Addis Ababa, Etiopia, pesawat ini jatuh ke tanah dan menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawat, total korban jiwa berjumlah 157 orang.
Ironisnya, FAA sebagai organisasi pengatur penerbangan pun tidak menerbitkan larangan beroperasi untuk tipe Boeing 737-Max. Hanya China yang segera mengeluarkan perintah larangan penerbangan pesawat ini. Barulah kemudian Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan perintah larangan penerbangan Boeing 737-Max.
Penanggung jawab
Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono mengakui, acap kali dari hasil investigasi, hal paling penting adalah rekomendasi secara umum ataupun spesifik atas temuan yang berkontribusi langsung terhadap kecelakaan ataupun temuan yang dapat menimbulkan potensi bahaya di masa depan. Rekomendasi ini berfokus terhadap sesuatu yang harus diperbaiki dari kesalahan, bukan bagaimana cara memperbaikinya.
”Keselamatan bukan hanya untuk pemenuhan regulasi atau peraturan, melainkan merupakan kebutuhan. Tidak ada kecelakaan yang disebabkan oleh single factor, tetapi kerap kali dikarenakan multifaktor,” kata Soerjanto.
Keselamatan bukan hanya untuk pemenuhan regulasi atau peraturan, melainkan merupakan kebutuhan.
Dalam regulasi maskapai CASR 121.59, ada poin mengenai manajemen personel yang dibutuhkan untuk menjalankan maskapai. Jika sebelumnya ada tujuh personel kunci, saat ini ada enam personel yang paling bertanggung jawab, yakni Presiden Direktur/Managing Director, Direktur Safety, Direktur Operasional, Direktur Maintenance, Chief Pilot, dan Chief Inspector. Kini, Chief Cabin tidak termasuk lagi sebagai penanggung jawab maskapai.
Tugas enam personel ini sangat vital. Dari semua ini, kata Soerjanto, di dalam SMS manual terdapat safety policy statement, yakni janji presiden direktur kepada pabrik maskapai. Inilah orang paling bertanggung jawab di dalam maskapai karena dia membuat dan menandatangani pernyataan kebijakan keamanan.
Terdapat dampak hukum karena perjanjian merupakan janji kepada publik terkait keamanan dari semua regulasi. Hal ini untuk meyakinkan bahwa jajaran direksi hingga pilot dan inspektur pada maskapai itu berkualitas. Beberapa pabrikan pesawat, ketika kita akan membeli pesawat, akan menanyakan curriculum vitae dari enam personel tersebut sebagai persyaratan.
Mark Lindquist dari Herrmann Law Group, AS, mengatakan, pihaknya telah menangani beberapa kasus penerbangan di dunia. Sebagai mantan jaksa penuntut umum terpilih, Mark kini menjadi co-consult Lion Air dan juga ketua co-consult kasus Sriwijaya Air.

Kotak hitam pesawat Lion Air JT 610 PK-LQP berhasil ditemukan Tim SAR dan diangkut ke atas Kapal Baruna Jaya I, di Perairan Tanjung Pakis, Karawang, Jawa Barat, Kamis (1/11/2018). Kotak hitam ditemukan sekitar pukul 10.00 oleh dua penyelem dari Taifib, Sertu Hendra Syahputra dan Kopral Dua Nur Ali. Kotak hitam ditemukan di sekitar lokasi ping locator terdengar.
Dalam menentukan penanggung jawab kecelakaan pesawat secara hukum, Mark lebih dahulu melihat faktornya. Misalnya, kondisi pesawat cacat, kesalahan pilot, pemeliharaan pesawat, atau penyebab lainnya. Manufaktur seperti Boeing memiliki kewajiban hukum di Amerika Serikat, termasuk pembuatan pesawat dan peralatannya aman, memberikan instruksi memadai, memberikan peringatan memadai untuk pesawat dan peralatannya. Bahkan, berlanjut saat pesawat sudah dijual ke konsumen.
”Jadi, kalau ada cacat pembuatan, maka manufakturlah yang bertanggung jawab. Dalam kasus Lion Air, Boeing-lah yang bertanggung jawab karena MCAS mengalami kecacatan. Boeing juga gagal dalam memberikan peringatan yang memadai seputar MCAS. Karena itu, Boeing (harus) bertanggung jawab pada kecelakaan Lion Air JT-610 di dalam hukum pidana,” tegas Mark.
Mark menilai, Boeing harus bertanggung jawab karena ada program MCAS yang cacat. MCAS didesain untuk menangani permesinan. Saat Boeing membuat 737-Max, mereka memasang mesin yang hemat bahan bakar. Mesin ini didesain lebih besar dan berat sehingga memengaruhi rancang bangun pesawat tersebut.
MCAS membuat bagian depan atau hidung pesawat turun saat penerbangan. Itulah sebabnya Lion Air ataupun Ethiopian Airlines menukik drastis. Ada data yang masuk ke dalam sensor pesawat sehingga pesawat jatuh. Bukan hanya gagal dalam memberikan instruksi memadai, Boeing juga menyembunyikan teknologi MCAS ini terhadap operator maskapai.
Boeing harus bertanggung jawab karena ada program MCAS yang cacat. MCAS didesain untuk menangani permesinan.
”Uniknya, kasus Lion Air ini juga menuntut Boeing secara kriminal di bawah hukum pidana. Jadi, kita menuntut hukum, sudah melakukan penipuan terhadap FAA. Tugas FAA adalah membuat peraturan seputar keamanan penerbangan, termasuk memberikan sertifikasi dan menyetujui pesawat. Boeing menyembunyikan informasi penting sehingga FAA memberikan sertifikasi Boeing 737 Max dengan program MCAS,” jelas Mark.
Menurut Mark, ada investigasi dan beberapa pengacara memberikan bukti-bukti terhadap penyelidikan tersebut. Kemudian, Department of Justice menuntut pidana. Boeing menyatakan bersalah dan mengakui sikapnya menutup-nutupi serta memberikan informasi yang salah. Lebih tepatnya, Boeing menyembunyikan adanya MCAS Boeing 737-Max terhadap FAA.
Jaksa penuntut ini bukan menggunakan juri, melainkan settlement. Karena itu, kasus ini bergantung pada juri, apakah menyetujui settlement tersebut. Namun, temuan ini tidak bisa disangkal lagi. Adanya manufaktur pesawat yang dituntut secara hukum adalah sesuatu yang sangat langka.
”Kalau ingin belajar lebih banyak tentang Boeing, termasuk kesalahan yang dilakukan Boeing, serta mengapa mereka bertanggung jawab secara pidana dan perdata, film ini sangat bagus. Ini adalah gambaran tentang keserakahan perusahaan,” ujar Mark.
Baca juga: Mencermati Risiko Tinggi Insiden Pesawat
Dekan Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara Ahmad Sudiro menegaskan, dalam kecelakaan transportasi, seperti pesawat terbang, pasti ada konsekuensi hukum yang harus diselesaikan. Dalam praktiknya, penyelesaian tidak tuntas. Korban akibat kecelakaan itu sering merasakan ketidakadilan dan memperoleh kompensasi yang tidak layak.
Banyak penyebab kecelakaan pesawat terbang yang dapat dikupas, antara lain bisa karena human error, cuaca, ataupun karena mesin pesawat terbang. Tentu ini merupakan tugas KNKT dalam melakukan investigasi. Transportasi udara kental dengan aspek nasional dan internasional. Walaupun kecelakaan pesawat relatif jarang dibandingkan transportasi darat ataupun laut, kecelakaan penerbangan selalu menjadi sorotan internasional.
Relasi pabrikan pesawat, perusahaan penerbangan, dan konsumen jasa penerbangan di Indonesia sebenarnya sudah diatur, misalnya di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 terkait peraturan pelaksanaannya.
Jelas sekali, kata Ahmad, perusahaan penerbangan harus bertanggung jawab, sebagaimana tertera pada Pasal 141 Undang-undang Penerbangan. Pasal 179 juga mewajibkan perusahaan penerbangan melakukan asuransi sebagai tanggung jawab keamanan penerbangan.
”Terkait kecelakaan penerbangan Lion Air yang disebabkan oleh mesin error, sebenarnya pihak-pihak yang merasa dirugikan sesungguhnya bisa melakukan gugatan terhadap pabrikan moda transportasi itu. Kalau sebelumnya kasus Lion Air, kini sedang berproses kecelakaan Sriwijaya Air terhadap Boeing karena terkait produk liability,” ujar Ahmad.
Menurut Ahmad, hal yang sering menjadi keluhan para ahli waris adalah klausul tentang persyaratan pengambilan santunan. Mereka biasanya harus menandatangani surat pernyataan, yang salah satu klausulnya adalah tidak menggunakan hak menggugat pihak-pihak lain. Salah satunya, gugatan kepada pihak produsen pesawat. Ini klausul yang merugikan ahli waris.
Tabir kecelakaan tragis pesawat Lion Air belum tersingkap sepenuhnya meski sudah lebih dari tiga tahun kasus ini berjalan. Haruskah menunggu-nunggu bertahun-tahun lagi?