Pengemudi sebagai pekerja atau pengusaha transportasi tentu harus memutar otak dan berpikir keras bagaimana caranya bisa mencari rezeki di tengah biaya operasional yang tinggi.
Oleh
STEFANUS OSA TRIYATNA
Ā·4 menit baca
KRISTIAN OKA PRASETYADI UNTUK KOMPAS
Sepeda motor berjalan berdampingan dengan truk di jalan berlubang. Truk-truk pembawa hasil tambang dari Parung Panjang, Bogor, Jawa Barat, yang bermuatan berlebih diduga menjadi penyebab jalan rusak.
Sekitar sembilan bulan lalu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan kegundahan setelah menemukan keluhan-keluhan sopir truk kontainer yang setiap hari harus berurusan dengan kegiatan bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Geregetan.
Kegundahan itu ditindaklanjuti dengan penangkapan sejumlah preman pelabuhan. Tak hanya di Jakarta, āperangā terhadap premanisme menggema di sejumlah daerah. Ruang lingkup tempat penanganan premanisme itu berfokus di sekitar pelabuhan.
Kali ini beredar surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo. Isinya tak lain adalah keresahan para pengusaha jasa angkut dan sopir truk. Mereka seolah terus dipojokkan, disalahkan, dan harus menanggung bukan hanya penilangan di jalan. Selain itu, diviralkan pula seolah mereka sebagai tersangka kriminalitas atas pelanggaran aturan pemerintah, terutama sebagai angkutan mobil barang yang kelebihan muatan atau over dimension over loading (ODOL).
Sementara, sopir truk selalu harus berhadapan dengan polisi dan petugas dinas perhubungan di jalan tol serta jalan lainnya. Di jalan tol, misalnya, ketika mobil patroli sudah menyalip truk dan membunyikan sirene, secara otomatis pengemudi truk yang sedang melaju di lajur kiri segera menghentikan kendaraannya di bahu jalan. Sudah menjadi pemandangan umum, kernet turun menghampiri mobil patroli selalu beberapa menit lalu berlari kembali ke truk dan melanjutkan perjalanan.
Pemeriksaan surat dan kelengkapan perangkat kendaraan adakalanya bisa menjadi āpeluangā pungutan liar.
Awal November 2021, oknum anggota Satlantas Polresta Bandara Soekarno-Hatta justru terekspos meminta sekarung bawang kepada sopir truk sebagai āuang damaiā di kawasan Jalan P2 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten. Kejadian serupa sesungguhnya tak jarang terjadi dalam senyap. Bahkan, ketika tak ada āuang damaiā, beberapa butir durian pun bisa berpindah tangan ke bagasi mobil patroli sebagai pengganti.
Pemeriksaan surat dan kelengkapan perangkat kendaraan adakalanya bisa menjadi āpeluangā pungutan liar. Idealnya, ketika kelengkapan masa berlaku dokumen perjalanan, antara lain, STNK, SIM, dan buku kir, serta surat jalan, bisa ditunjukkan pengemudi, perjalanan truk itu bisa dilanjutkan tanpa perlu ada āuang damaiā.
Kenyataannya, ada juga oknum petugas yang mencari-cari alasan dengan memeriksa kelengkapan lampu kendaraan. Misalnya, lampu kecil di ujung atas kiri dan kanan bagian depan serta belakang. Dalam sebuah video yang beredar, seorang pengemudi truk yang sedang mengangkut mengangkut air minum kemasan dari Palembang menuju Pekan Baru hanya geleng-geleng kepala. Pasalnya, sewaktu berangkat, ia merasa semua lampu kendaraan dalam kondisi baik dan bisa nyala. Satu lampu mati berarti denda Rp 100.000.
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Sebagai daerah industri, Riau memiliki ribuan truk yang melintas setiap hari. Sayangnya, kebanyakan truk membawa muatan berlebih. Tidak sedikit truk yang dimodifikasi dengan mengubah dimensi agar membawa muatan lebih banyak lagi. Truk-truk seperti itu mudah mengalami kecelakaan.
Kelebihan beban kendaraan memang menjadi salah satu pemicu pecahnya ban kendaraan. Kelebihan beban juga selalu disebut-sebut sebagai penyebab kerusakan jalan. Namun, kualitas pembangunan jalan bisa perlu juga menjadi bahan introspeksi.
Disebut-sebut pelanggaran ODOL menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 43 triliun per tahun. Kerugian itu hampir setara dengan biaya untuk membangun 10 Jembatan Suramadu (panjang 5.438 meter), jembatan terpanjang di Indonesia saat ini, yang nilainya sekitar Rp 4,5 triliun.
Para pengemudi angkutan mobil barang ini pun akhirnya menggunakan kekuatan media sosial. Sambil menyoroti jejeran truk yang terparkir memenuhi sebuah lokasi di Jawa Tengah, ada suara lantang seorang lelaki menyatakan: āTeruntuk Bapak Presiden dan para pejabat yang terhormat, coba posisikan diri Anda seperti rakyat, yang mencari nafkah di hari itu untuk makan di hari itu. Yang kalau enggak bergerak, enggak ada uang untuk sekadar membeli beras. Tolong jangan samakan Anda seperti mereka, Pak. Yang ketika PPKM, masih dijamin hidupnya oleh negara sehingga tenang saat peraturan datang. Please, berlaku adil, Pak!ā
KOMPAS/PRIYOMBODO
Truk-truk melintas di Jalan Lingkar Luar Jakarta Barat 2 (Jakarta Outer Ring Road West 2/JORR W2) di kawasan Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Kamis (19/3). Banyaknya truk barang yang melintas menjadi penyebab kemacetan yang banyak dikeluhkan pengguna ruas tol tersebut. Operator jalan tol mempertimbangkan membatasi operasional truk yang melintas JORR.
Terkait razia ODOL yang digelar Kementerian Perhubungan, Korlantas, Bina Marga, serta aparat terkait lainnya, sejumlah pengusaha jasa angkut dan pengemudi truk menyatakan tak menginginkan daya angkut kendaraannya berlebih. Pengemudi yang malang-melintang mengemudi truk sangat paham apabila muatan yang dibawanya melebihi tonase. Tidak hanya sekadar kasat mata terlihat gundukan terpal penutup barang.
Seorang pengemudi dalam akun media sosialnya menyebutkan bahwa muatan ODOL sebenarnya bukanlah kemauannya. Ia tahu risiko akibat muatan berlebihan. Namun, ia terdesak oleh kebutuhan. Biaya operasional mengalami kenaikan, harga sparepart naik, biaya kebutuhan hidup semakin tinggi, tetapi biaya ongkos kirim barang tidak ada kenaikan.
Pengemudi sebagai pekerja atau pengusaha transportasi tentu harus memutar otak dan berpikir keras bagaimana caranya bisa mencari rezeki di tengah biaya operasional yang tinggi.
Mereka mencontohkan, muatan hasil pertanian jagung dari Lampung Tengah dibawa ke Balaraja, Tangerang, Banten. Ongkosnya Rp 190.000 per ton. Jika sesuai ketentuan yang berlaku untuk jenis truk besar enam roda, daya tampungnya hanya 7.500 kilogram atau 7,5 ton. Jadi, total ongkos dikalikan biaya produk pertanian senilai Rp 1,475 juta.
Sementara, biaya operasional tarif tol dari Gerbang Tol Terbanggi Besar ke Balaraja sekitar Rp 290.000, solar Rp 500.000, tarif kapal Rp 1,13 juta, dan uang makan sopir Rp 300.000. Total pengeluaran Rp 2,22 juta. Seluruh biaya tersebut bahkan belum termasuk pengeluaran pungutan di jalan dan gaji sopir.
Seperti pita kaset yang telah usang, tetapi tak pernah terputus. Cerita miris para pengemudi truk ini terus terdengar berulang. Haruskah menunggu Presiden Jokowi duduk kembali mendengar curhat para sopir? Preman begitu mudah ditangkap. Nah, jika curhatan pengemudi truk mengarahkan pada perilaku buruk oknum petugas berseragam, siapakah yang semestinya menangkap? Apa pula sanksinya?