Laporan Net Zero Investment in Asia Third Edition yang dirilis Asia Investor Group on Climate Change pada 24 Februari 2022, menyebutkan sejumlah hambatan pendanaan atau investasi ekonomi hijau.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
Kompas/Priyombodo (PRI)
Petugas memeriksa panel surya di PLTS Papagarang di Pulau Papagarang, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Jumat (1/10/2021). PLTS Papagarang dengan kapasitas 380 kilowatt peak (kWp) menjadi sumber listrik utama bagi warga Desa Papagarang sejak tahun 2019. PLTS merupakan bagian dari upaya pemanfaatan potensi energi baru terbarukan secara lokal.
JAKARTA, KOMPAS — Meski digadang-gadang sebagai aktivitas ekonomi yang menjanjikan di masa depan, investasi dan pendanaan ekonomi hijau serta berbagai upaya pengurangan emisi karbon masih menemui hambatan. Gejala ini tak hanya di Indonesia, tetapi juga di kawasan Asia. Perlu upaya serius untuk penyelesaian hambatan itu.
Laporan Net Zero Investment in Asia Third Edition yang dirilis Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC), Kamis (24/2/2022), menyebutkan sejumlah hambatan pendanaan atau investasi ekonomi hijau untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050. Hambatan itu, antara lain, kurangnya instrumen atau peralatan untuk mengukur dampak hijau (45 persen responden), kurangnya permintaan klien akan investasi hijau (30 persen), dan peluang yang ada tidak sebanding dengan risiko karena pendanaan jangka panjang (25 persen).
Hasil laporan 2021 itu menyerupai hasil laporan 2020 yang menyebutkan, hambatan dari investasi atau pendanaan ekonomi hijau adalah kurangnya instrumen untuk mengukur dampak hijau (56 persen), masih kurang jelasnya definisi karbon rendah pada investasi hijau (33 persen), dan peluang yang ada tidak sebanding dengan risiko karena pendanaan jangka panjang (33 persen).
Survei dalam laporan Net Zero Investment in Asia Third Edition itu dilakukan pada Desember 2021 terhadap 20 perusahaan manajemen aset top di Asia dengan total aset yang dikelola mencapai 6 triliun dollar AS. Ini adalah survei tahunan yang ketiga sejak 2019.
Adapun AIGCC adalah kumpulan institusi keuangan yang berkumpul dengan tujuan menciptakan kesadaran akan peluang dan risiko investasi atau pendanaan yang terkait dengan perubahan iklim dan pengurangan emisi karbon. Terbentuk pada 2016, AIGCC terdiri atas institusi keuangan yang tersebar di 13 negara dengan total aset 26 triliun dollar AS. Adapun 13 negara itu, antara lain, Indonesia, China, Jepang, India, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, dan Hong Kong.
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
Hambatan-hambatan dalam investasi atau pendanaan ekonomi hijau. Sumber: Laporan Net Zero Investment in Asia Third Edition yang dirilis Asia Investor Group on Climate Change (AIGCC)
Dalam siaran pers, Chief Executive Officer AIGCC Rebecca Mikula-Wright mengatakan, semakin hari kesadaran akan pentingnya ekonomi hijau semakin meningkat di banyak negara, khususnya sektor swasta dan institusi keuangan. ”Perlu terus didorong komitmen dan kerangka kerja pasar global untuk mempercepat peningkatan transisi menuju nol emisi karbon,” ujarnya.
Literasi ekonomi hijau
Saat dihubungi pada Senin (28/2/2022), Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menjelaskan, dalam konteks Indonesia, tantangan utama investasi atau pendanaan ekonomi hijau adalah masih belum luas dan meratanya pemahaman soal ini. Baru kelompok tertentu saja yang betul-betul memahaminya.
”Kalangan dunia usaha belum banyak yang memahami ekonomi hijau. Maka, proyek-proyek di sektor ini pun menjadi masih sangat terbatas,” ucap Piter.
Pemerintah memang sudah kerap menyuarakan soal pentingnya ekonomi hijau. Apalagi, isu ekonomi hijau termasuk salah satu topik G-20 di bawah Presidensi Indonesia. Dari industri keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sudah merilis Taksonomi Hijau yang diharapkan menjadi panduan industri jasa keuangan dalam memberikan pendanaan ekonomi hijau.
”Namun, semua itu belum tergabung menjadi satu kesatuan yang lebih mudah dimengerti dan disusun lebih detail secara konkret. Kalau dunia usaha belum banyak paham, permintaan proyek atau pendanaannya pun juga akan belum akan tumbuh,” kata Piter.
KOMPAS/EVY RACHMAWATI
Para pemangku kepentingan dan pembicara bergandengan tangan sebagai wujud komitmen mendukung ekonomi sirkular, dalam Simposium Pembangunan Berkelanjutan ke-10, Senin (26/8/2019), di Bangkok, Thailand.
Ia mengatakan, dunia usaha pasti akan tertarik terlibat selama proyek-proyek ekonomi hijau ini ekonomis dan menguntungkan. Begitu pula dengan industri jasa keuangan akan siap memberi pendanaan dan investasi. Ini menjadi tugas pemerintah untuk memperluas literasi tentang rencana pengembangan ekonomi hijau di Indonesia.
Dari industri jasa keuangan, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk berkomitmen memberi pembiayaan lanjutan di sektor lingkungan, sosial, dan tata kelola (environtmental, social, and governance/ESG) melalui repurchase agreement (Repo).
Direktur Treasury & International Banking Bank Mandiri Panji Irawan mengatakan, transaksi ESG Repo merupakan inisiatif strategis, tidak hanya memperkuat struktur pendanaan perseroan, tetapi juga untuk mengimplementasikan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB) pada pilar sustainable banking secara konsisten. Pada 2021, Bank Mandiri menerbitkan sustainability bond perdana senilai 300 juta dollar AS juta untuk pembiayaan proyek-proyek berwawasan lingkungan dan sosial.
Dunia usaha pasti akan tertarik terlibat selama proyek-proyek ekonomi hijau ini ekonomis dan menguntungkan. Begitu pula dengan industri jasa keuangan akan siap memberi pendanaan dan investasi.
”Sejalan dengan penerapan keuangan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, Bank Mandiri berkomitmen untuk terus menjalankan praktik keuangan berkelanjutan,” ujar Panji.
Panji menambahkan, pertumbuhan ESG bonds berkembang sangat pesat dari tahun 2015 dan naik signifikan sejak pandemi Covid-19. Ini merupakan refleksi atas kebutuhan terhadap persoalan-persoalan kesehatan dan isu sosial lain selama pandemi. Diperkirakan permintaan terhadap green bonds dengan tenor panjang akan terus meningkat karena semakin banyak perusahaan-perusahaan yang sadar atas isu-isu ESG.
Ke depannya, imbuh Panji, Bank Mandiri berkomitmen terus mendukung program pemerintah mengembangkan ekonomi berkelanjutan, berpartisipasi aktif dalam implementasi peta jalan keuangan berkelanjutan OJK, serta mendukung pencapaian 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Upaya mendorong ekonomi hijau juga dilakukan Bank Indonesia (BI) dengan mendukung hadirnya Asian Green Bond Fund yang diluncurkan Bank for International Settlements (BIS), organisasi kerja sama antarbank sentral. Asian Green Bond Fund merupakan salah satu inisiatif Asian Consultative Council (ACC) BIS untuk mendukung program investasi hijau di kawasan Asia dan Pasifik.
Gubernur BI Perry Warjiyo, selaku Ketua ACC BIS, menegaskan, inisiatif pembentukan Asian Green Bond Fund menunjukkan komitmen bank sentral di kawasan Asia dan Pasifik meningkatkan ketersediaan instrumen keuangan hijau yang sejalan dengan agenda prioritas jalur keuangan pada Presidensi Indonesia di G-20. Hal senada juga disampaikan Peter Zoellner, Head of the BIS Banking Department, yang menyatakan bahwa inisiatif Asian Green Bond Fund merupakan komitmen nyata BIS memberikan alternatif investasi hijau bagi bank sentral di ranah global.
Keberadaan Asian Green Bond Fund memperluas kesempatan investasi, baik bagi bank sentral di Asia maupun di luar kawasan, pada penempatan surat berharga dengan kriteria investment grade dan memenuhi international green standards. Fokus pendanaan ditujukan guna mendukung proyek ramah lingkungan di berbagai sektor, misalnya energi terbarukan dan efisiensi energi di kawasan Asia dan Pasifik. Hadirnya instrumen ini akan menambah alternatif instrumen keuangan hijau dalam pengelolaan cadangan devisa.