Cerita Emil dan Anies tentang Lele Digital dalam Rangkaian G-20
Digitalisasi beragam bidang sangat dibutuhkan untuk memudahkan kebutuhan masyarakat di era yang makin cepat ini. Ujungnya semua kesenjangan bisa terpangkas demi kesejahteraan bersama.
Di sebuah warung pecel lele, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluhkan pesanannya yang tidak kunjung datang. Pelayan pun memohon maaf atas keterlambatan itu. Alih-alih marah, Anies justru terkejut saat mengetahui pemilik warung kelimpungan memenuhi pesanan daring.
”Jadi, tempatnya kaki lima di tepi jalan, tetapi customer-nya bukan mereka yang datang. Customer-nya adalah mereka yang pesan,” ungkap Anies dalam West Java Urban 20 Talks untuk rangkaian Presidensi Indonesia G-20 yang disiarkan via daring, Kamis (24/2/2022) malam.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil yang duduk di samping Anies lalu menanggapi cerita itu. ”Jangan lupa, lele di Jakarta itu rata-rata dari Indramayu (Jabar). Dikasih makannya pakai HP (handphone). Jadi, yang dimakan Pak Anies itu lele digital,” ujar Emil, sapaannya.
Baca juga : eFishery, Alat Pakan Otomatis
Percakapan keduanya itu menggambarkan digitalisasi di daerah, seperti tema pertemuan, yakni ”Kota, Desa, dan Pemuda di Era Digital”. Isu tersebut bakal dibahas dalam rangkaian G-20 di DKI Jakarta dan Jabar. Negara-negara berpengaruh di dunia akan hadir dan melahirkan rekomendasi.
Bagi Emil, digitalisasi bakal menjawab berbagai persoalan kota, desa, dan pemuda. Dahulu, masyarakat, terutama pemuda, memandang kota sebagai masa depan. Akses teknologi dan ekonomi tersedia. Namun, urbanisasi menyisakan masalah lingkungan, kemiskinan, dan lainnya.
Digitalisasi mengubah perspektif itu. Geografis kini hanya pilihan, bukan yang utama. Warga di desa, misalnya, bisa bekerja di kota selama ada jaringan internet. ”Makanya, ada slogan di Jabar, marilah tinggal di desa. Insya Allah rezeki kota karena bisnisnya mendunia,” ungkap Emil.
Jargon itu bisa terwujud, lanjutnya, karena desa di Jabar sudah menjelma desa digital. Pengakses internet di Jabar mencapai 35 juta orang. Indikator desa digital bukan hanya ada internet, tetapi juga menjadikannya sebagai alat produksi. Contohnya, pemberian pakan ikan lele pakai gawai.
Pihaknya juga memfasilitasi komputer dan pelatihan di sejumlah desa agar mempromosikan produk unggulan desa ke pasar digital. Program Desa Digital pun meraih Digital Equity and Accessibility dalam International Data Corporation Smart City Asia Pacific Awards 2020.
Berbagai inovasi itu, tambah Emil, tidak terlepas dari peran pemuda. Ia juga mendorong anak muda di kota pulang ke desa agar menjadi petani milenial. Mereka belajar teknologi di lahan hingga pemasaran hasil panen.
”Bulan depan, ada sekitar 1.000 petani milenial saya wisuda,” ucap Emil.
Sektor pertanian mampu bertahan dari arus pandemi Covid-19. Bahkan, sektor ini penyumbang ekonomi terbesar ketiga di Jabar. Pertanian, kehutanan, dan perikanan berkontribusi Rp 188 triliun terhadap produk domestik regional bruto pada 2021. Tahun 2017, nilainya Rp 152 triliun. ”Gagasan pemuda itu keren-keren, asal diberi panggung. Kami menyediakan itu,” ucap mantan Wali Kota Bandung ini.
Kehadiran command center atau pusat data di sejumlah daerah di Jabar juga melibatkan anak muda. Kepala daerah pun wajib melihat data untuk mengambil keputusan.
Tidak hanya menilai kinerja aparat, Pemprov Jabar juga memanfaatkan digitalisasi untuk pelayanan publik, termasuk saat pandemi Covid-19. Pusat Informasi dan Koordinasi Covid-19 Jabar (Pikobar), misalnya, mendata kasus, keterisian ruang isolasi, hingga bantuan sosial.
Warga juga memperoleh informasi terkait layanan tes, vaksinasi Covid-19, hingga pencarian oksigen. Aplikasi itu turut berkontribusi untuk melindungi hampir 50 juta warga Jabar dari ancaman Covid-19. ”Banyak dimensi krisis Covid-19, oleh Pikobar jadi satu pintu,” katanya.
Kian mempercepat
Menurut Anies, krisis saat pandemi telah mempercepat perubahan di berbagai bidang. Warga dipaksa mengurangi kontak fisik dalam beraktivitas. Melalui platform Jaki, masyarakat Ibu Kota dapat mengakses 80 layanan, dari administratif kependudukan hingga pelacakan kasus Covid-19.
Jaki merupakan bagian dari Jakarta Smart City. ”Smart city ini bukan hanya ada dashboard untuk memantau kota, tetapi juga melibatkan semua. Kami siapkan aksesibilitasnya. Misalnya, Wi-Fi gratis di lebih dari 9.250 titik dan diakses 24 juta orang,” katanya.
Performa Jaki, yang juga buah kreativitas anak muda, pun diakui di luar negeri. Aplikasi tersebut menang dalam ASEAN Information and Communication Technology (ICT) Awards 2021 untuk kategori sektor publik. ”Ini contoh krisis yang direspons perubahan cepat,” ujar Anies.
Kisah Pikobar, Jaki, hingga lele digital tersebut bakal mewarnai rangkaian gelaran G-20. Meskipun G-20 hanya terdiri atas 19 negara dan Uni Eropa, kata Emil, mereka menguasai hingga 85 persen perekonomian dunia. Dan, baru kali ini Indonesia menjadi tuan rumahnya.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam sambutannya mengatakan, terdapat 13 forum dialog yang mengusung topik digitalisasi dalam rangkaian G-20. ”Arahan Bapak Presiden Jokowi untuk fokus ke sektor digital sangatlah tepat,” ucapnya.
Airlangga optimistis, sektor digital bakal mempercepat pemulihan ekonomi di Indonesia, bahkan global. Ekonomi digital selama ini berkontribusi 4 persen terhadap produk domestik bruto. Adapun sektor perdagangan digital (e-commerce) diperkirakan dapat menyumbang 34 persen.
”Dalam 15 tahun ke depan, Indonesia butuh sekitar 600.000 orang digital talent (talenta digital) per tahun atau total 9 juta orang. Oleh karena itu, pemerintah pusat melakukan berbagai upaya peningkatan SDM (sumber daya manusia) agar kita adaptif di kota dan desa,” ungkapnya.
Bambang PS Brodjonegoro, Lead Co-Chair T (Think) 20 Indonesia 2022, menambahkan, Indonesia sudah kalah jauh dengan negara maju dalam adu teknologi. ”Namun, ada satu aspek yang harus kita tonjolkan, yakni bagaimana digital membantu kehidupan masyarakat,” ungkapnya.
Aplikasi Pikobar dan Jaki hanyalah dua contoh. Akan tetapi, tantangan Indonesia adalah ketimpangan digital. Kesenjangan ini tidak hanya soal infrastruktur atau akses internet, tetapi juga kemampuan memanfaatkan teknologi digital. Istilahnya, orang gagap teknologi.
Pekerjaan rumah
Puteri Komarudin, Ketua Delegasi Indonesia Y (Youth) 20 Italia 2021, menilai, ekosistem digital berdampak pada masyarakat, terutama pemuda, jika ada pemerataan pendidikan. Dari survei Y-20 untuk 5.600 responden di 19 negara G-20, katanya, terungkap perbedaan kualitas pendidikan.
Kurikulum pendidikan di Indonesia, misalnya, belum mencakup tantangan perubahan iklim, pandemi, hingga bagaimana menghadapi krisis lainnya, seperti perang. Dampaknya, banyak anak muda tidak mampu mengaplikasikan apa yang mereka pelajari saat berada di dunia kerja.
Pandemi, lanjutnya, juga menampakkan jurang kesenjangan akses teknologi digital. Ketika pembelajaran jarak jauh, masih banyak siswa yang tidak punya gawai dan kesulitan akses internet. Menurut dia, di negara berpendapatan rendah, hanya 18 persen yang mengakses pembelajaran jarak jauh.
Indeks pembangunan pemuda di Indonesia masih 51 persen tahun 2020, di bawah target 57 persen 2024. ”Masih banyak PR (pekerjaan rumah) untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat bagi pemuda, penyandang disabilitas, dan kelompok marjinal,” ujarnya.
Segala jenis kesenjangan jelas butuh jembatan yang tepat demi kesetaraan dan memastikan peluang dan kesempatan yang sama itu terpenuhi.
Baca juga : Kurangi Pencemaran Lingkungan, Jawa Barat Kelola Sampah Berbasis Aplikasi