Kebijakan Fiskal dan Dukungan Perbankan Dibutuhkan dalam Pengurangan Emisi
Transformasi ke ekonomi hijau yang berkelanjutan mendesak dilakukan. Isu ini tak hanya penting bagi generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi mendatang.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kebutuhan pendanaan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 41 persen pada 2030 mencapai 247,3 miliar dollar AS atau Rp 3.551 triliun. Dibutuhkan kebijakan fiskal yang tepat serta keterlibatan industri jasa keuangan dalam pendanaan pengembangan ekonomi hijau sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca ini. Transisi ke ekonomi hijau bisa menjaga keberlangsungan bisnis dan lingkungan di masa mendatang.
Kebutuhan dana 247,3 miliar dollar AS tersebut, seperti dikutip dari dokumen Biennial Update Report (BUR) yang dirilis United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) pada Desember 2018, dialokasikan untuk pembangunan di lima sektor. Kelima sektor tersebut adalah kehutanan dan lahan; energi dan transportasi; proses produksi dan penggunaan produk; pengolahan limbah; serta pertanian.
Dari lima sektor tersebut, kebutuhan dana terbesar ada di sektor energi & transportasi yang mencapai 236,2 miliar dollar AS (Rp 3.392 triliun). Dana akan dialokasikan untuk pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan dan investasi teknologi bersih. Adapun target penurunan emisinya sebesar 398 juta ton karbon dioksida.
Adapun program yang bisa menurunkan emisi terbesar adalah sektor kehutanan dan lahan yang ditargetkan mengurangi emisi hingga 650 juta ton karbon dioksida. Sementara dana yang diperlukan untuk konservasi dan perlindungan hutan, termasuk pencegahan kebakaran hutan, mencapai 5,56 miliar dollar AS (Rp 79,8 triliun).
Deputi Bidang Ekonomi pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar, menjelaskan, diperlukan kerja keras dari seluruh pemangku kepentingan untuk memenuhi komitmen itu. Pengumpulan dana dan aktivitas pengembangan ekonomi hijau itu sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
“Perlu dukungan dan kerjanya nyata baik dari pegiat lingkungan, pengusaha energi baru terbarukan, dukungan kebijakan fiskal, hingga dukungan pendanaan dari industri jasa keuangan,” ujar Amalia dalam webinar bertajuk “Green Economy Outlook 2022”, Selasa (22/02/2022), di Jakarta.
Untuk memenuhi komitmen dan target kebutuhan pendanaan itu, menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pihaknya akan menggunakan instrument fiskal dan alokasi APBN. Insentif fiskal yang bisa diberikan pemerintah, antara lain tax holiday dan tax allowance. Insentif itu diharapkan bisa merangsang dunia usaha berinvestasi pada kegiatan ekonomi hijau di Indonesia.
Instrumen lainnya, lanjut Mulyani, adalah pajak karbon yang telah diperkenalkan pada Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan. Pajak karbon disebut dapat mendorong perilaku dari kegiatan ekonomi, terutama sektor swasta, untuk menginternalisasi kegiatan ekonominya dalam bentuk carbon emission dalam hitungan investasi.
Insentif fiskal yang bisa diberikan pemerintah, antara lain tax holiday dan tax allowance. Insentif itu diharapkan bisa merangsang dunia usaha berinvestasi pada kegiatan ekonomi hijau di Indonesia.
Dari sisi APBN, baik belanja barang maupun belanja modal, pemerintah menggunakan instrumen climate budget tagging atau penandaan anggaran pemerintah yang didedikasikan untuk perubahan iklim. Kementerian Keuangan telah mengembangkan green bond, baik yang sifatnya konvensional maupun sukuk.
Dukungan perbankan
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menjelaskan, untuk mendukung komitmen pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca, OJK telah menyusun Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan Tahap I 2015-2019 yang dilanjutkan dengan Tahap II untuk 2021-2025. Peta jalan ini pun didukung oleh peluncuran dokumen Taksonomi Hijau Indonesia.
“Tujuan kami untuk mengajak dan membangun kesadaran industri jasa keuangan tentang keuangan berkelanjutan,” kata Wimboh.
Sampai dengan 2019, total capaian keuangan berkelanjutan Tahap I berhasil mengumpulkan pembiayaan hijau hingga 55,9 miliar dollar AS (Rp 809,75 triliun). Selain itu, pihaknya juga mencatat obligasi hijau yang mencapai 2,26 miliar dollar AS (Rp 32,1 triliun).
Terkait dukungan perbankan, Direktur Manajemen Risiko PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Ahmad Siddik Badruddin, menjelaskan, pada 2021 Bank Mandiri telah menyalurkan Rp 205 triliun, atau 25 persen dari total portofolio kredit, ke segmen bisnis berkelanjutan. Adapun sektornya antara lain transportasi ramah lingkungan, pengelolaan sumber daya hayati dan pengelolaan lahan, serta sektor lain-lainnya.
Sementara PT Bank Central Asia Tbk mulai mengaudit hasil dari langkah-langkah proses bisnis ekonomi hijau. Menurut Direktur Bank BCA Vera Eve Lim, tahun lalu pihaknya berhasil mengurangi 889,7 ton emisi karbon. Bank BCA juga mendaur ulang kartu debit nasabah, serta mesin electronic data capture (EDC) bekas untuk kemudian menjadi paving blok di kantor-kantor cabang BCA.
Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menambahkan, transformasi ke ekonomi hijau yang berkelanjutan mendesak dilakukan. Isu ini tak hanya penting bagi generasi sekarang, tetapi juga untuk generasi mendatang.
“Ekonomi hijau adalah rezim ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial dan sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan. Sebab, ekonomi hijau ini rendah emisi karbon, polusi lingkungan, serta hemat sumber daya alam,” ujar Abra.