Kuota Tangkapan Ikan untuk Industri Diberlakukan Bertahap
Sistem kontrak penangkapan ikan diharapkan mulai berlaku Maret 2022. Namun, kesiapan pelabuhan perikanan pemerintah masih diragukan.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan kuota tangkapan dalam sistem kontrak penangkapan ikan akan diberlakukan bertahap. Hal itu guna memastikan industri perikanan dapat menyesuaikan target perikanan terukur.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Muhammad Zaini, akhir pekan lalu, mengemukakan, sistem kontrak penangkapan ikan diharapkan bisa dimulai pada Maret 2022. Pihaknya kini menunggu finalisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia terkait aturan soal tata cara penarikan penerimaan negara bukan pajak untuk pemanfaatan sumber daya perikanan dengan sistem kontrak.
Dalam sistem kontrak tersebut, kuota penangkapan ikan yang ditawarkan kepada setiap badan usaha perikanan minimal 100.000 ton per tahun, dengan jenis komoditas disesuaikan dengan stok sumber daya. Pelaku usaha perorangan disyaratkan membentuk badan usaha atau berbentuk konsorsium.
Zona industri perikanan yang menerapkan sistem kontrak penangkapan ikan meliputi empat zona di tujuh wilayah pengelolaan perikanan (WPP), yakni WPP 711 (Laut Natuna dan Laut China Selatan), WPP 716 (Laut Sulawesi), dan 717 (Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik).
Selain itu, ada WPP 715 (Laut Maluku dan Laut Halmahera), WPP 718 (Laut Aru, Laut Arafura, dan Laut Timor bagian timur), serta WPP 572 (Samudra Hindia sebelah barat) dan 573 (Samudra Hindia sebelah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara). Uji coba sistem di WPP 718.
Zaini menambahkan, industri perikanan yang telah mendapatkan kuota penangkapan ikan diwajibkan langsung memulai aktivitas. Namun, uji coba sistem kontrak penangkapan ikan direncanakan bertahap guna memberikan kemudahan bagi pelaku usaha. Tahun ini, kuota penangkapan ikan pada empat zona yang ditawarkan ke industri perikanan sebesar 4,6 juta ton atau 60 persen dari total kuota.
Pada 2022, perusahaan dimungkinkan memperoleh hasil tangkapan sebanyak 15 persen dari kuota yang didapat. PNBP disesuaikan dengan realisasi tangkapan tersebut. Pada 2023, target penangkapan ikan minimal 40 persen dari kuota yang didapat. Pada 2024 pencapaian kuota tangkapan ditetapkan sebesar 75 persen dan tahun 2025 pemenuhan kuota wajib sebesar 100 persen.
Sejauh ini, pelaku industri yang sedang menjajaki sistem kontrak penangkapan ikan pada empat zona industri perikanan berjumlah 20 perusahaan. Jumlah kuota penangkapan yang diminta berkisar 4,1 juta ton.
”Kami sudah memberikan keringanan sesuai hasil diskusi dengan pelaku usaha. Kalau tahun pertama langsung dikebut (hasil tangkapan) 100 persen pasti tidak tercapai karena pengadaan tidak mudah,” katanya.
Sejauh ini, pelaku industri yang sedang menjajaki sistem kontrak penangkapan ikan pada empat zona industri perikanan berjumlah 20 perusahaan. Jumlah kuota penangkapan yang diminta berkisar 4,1 juta ton.
Sebagian pelaku usaha perikanan itu bekerja sama dengan mitra perusahaan asing, antara lain dengan Korea, Italia, Taiwan, China, Thailand, Vietnam, Jepang, dan Amerika Serikat. Di samping itu, juga dengan badan usaha dalam negeri, seperti koperasi di Juwana, koperasi di Bali, serta dua korporasi di Bali.
Dari data KKP per 5 Januari 2022, jumlah kapal perikanan berukuran di atas 30 gros ton (GT) yang memperoleh izin penangkapan ikan berjumlah 5.056 unit atau setara 479.508 GT, serta kapal pengangkutan ikan 419 unit.
Zaini menambahkan, salah satu tantangan yang muncul adalah keterbatasan jumlah anak buah kapal. Apabila jumlah kapal yang siap masuk 5.000 kapal, dibutuhkan setidaknya 125.000 anak buah kapal (ABK). Meski demikian, pemerintah meminta agar kapal perikanan yang mengikuti sistem kontrak wajib mempekerjakan 100 persen ABK asal Indonesia.
”Dari data yang ada, kapal-kapal yang ada sekarang sudah mengeluhkan (keterbatasan) ABK,” ujarnya.
Secara terpisah, Pengurus Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) Muhammad Bilahmar mengemukakan, sistem kontrak masih membingungkan pelaku usaha perikanan. UU Perikanan tidak mengenal sistem kontrak penangkapan ikan sehingga landasan sistem kontrak penangkapan ikan menjadi sumir. Pelabuhan perikanan pemerintah di WPP 718 juga dinilai belum banyak yang siap untuk menerapkan sistem kontrak sehingga mengandalkan pelabuhan swasta.
Di sisi lain, sistem kontrak penangkapan ikan tidak bisa sepenuhnya langsung diatur pemerintah. Dicontohkan, estimasi potensi tuna yang selama ini ditetapkan pemerintah tidak menghitung komoditas tuna dan cakalang. Kuota tuna dan cakalang selama ini diatur oleh Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional (RFMO). Oleh karena itu, diperlukan koordinasi dengan RFMO dalam penyesuaian perhitungan kuota.