Sebagai pemegang tampuk presidensi G-20, Indonesia punya kesempatan untuk mengubah produk akhir forum yang dikhawatirkan hanya berakhir di panggung narasi menjadi sebuah pawai aksi nyata.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA
·3 menit baca
Pertemuan perdana tingkat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG) Jalur Keuangan G-20 di bawah presidensi Indonesia telah rampung dan menghasilkan 14 poin kesepakatan bersama.
Sejujurnya, kesepakatan yang tercipta dari para otoritas moneter dan fiskal negara-negara G-20 tersebut tidak akan dapat mengubah dunia apabila narasi yang tertulis tidak diejawantahkan dalam bentuk aksi nyata.
Ke-14 poin komunike tersebut jika dikerucutkan akan menjadi tiga tema besar, yakni penguatan arsitektur kesehatan global sebagai respons menghadapi pandemi Covid-19, mempercepat transisi energi menuju energi bersih untuk pemulihan ekonomi berkelanjutan, serta memperkuat ketahanan keuangan global jangka panjang, termasuk lewat keringanan pembayaran utang negara miskin.
Arsitektur kesehatan global jelas diperlukan karena pandemi Covid-19 berdampak luas terhadap kesehatan dan kondisi ekonomi global dalam dua tahun terakhir. Seluruh negara di dunia mendapatkan pelajaran berharga akan pentingnya penanganan dan respons yang tepat dalam menghadapi pandemi dan krisis ekonomi yang ditimbulkannya.
Dari pembelajaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa arsitektur kesehatan global memerlukan entitas yang bertugas menggalang sumber daya kesehatan dunia, antara lain untuk pembiayaan darurat kesehatan, pembelian vaksin, pembelian obat-obatan, serta pembelian alat kesehatan.
Entitas tersebut juga diharapkan merumuskan standar protokol kesehatan global, mulai dari mengatur perjalanan lintas batas negara sampai dengan standar penerapan protokol kesehatan di seluruh negara.
Indonesia punya tugas menjembatani negara maju untuk tidak berkeberatan mendukung dan memastikan inisiasi ini bisa berjalan. Semua negara harus menyadari ketahanan kesehatan dunia dibutuhkan dalam menghadapi potensi pandemi yang mungkin terjadi setelah Covid-19.
Apabila inisisasi tidak berjalan, pemulihan kesehatan global setelah pandemi Covid-19 hanya jadi isapan jempol belaka. Kesehatan dunia hanya bisa pulih dengan kolaborasi melalui interkonektivitas negara maju ataupun berkembang untuk memastikan pemerataan rantai pasok komoditas kesehatan.
Terkait transisi energi, sejak KTT G-20 presidensi Italia, negara-negara anggota menyatakan kesepakatan untuk mengakhiri pendanaan internasional bagi pembangunan pembangkit tenaga listrik yang membakar batubara.
Apabila inisisasi tidak berjalan, pemulihan kesehatan global setelah pandemi Covid-19 hanya jadi isapan jempol belaka.
Negara-negara maju boleh saja memberikan dorongan kepada negara-negara berkembang untuk mulai bertransisi kepada penggunaan energi bersih, tetapi perlu diingat bahwa banyak negara berkembang yang masih bergantung pada penggunaan energi fosil yang tidak terbarukan.
Kolaborasi negara G-20 diperlukan untuk menyiapkan langkah-langkah konkret, seperti pendanaan iklim yang berkelanjutan, serta transfer pengetahuan dan teknologi, guna memastikan ketersediaan akses energi yang bersih dan terjangkau pada tingkat global. Selain itu, negara G-20 juga tetap perlu melakukan berbagai pendekatan multilateral dan bilateral melalui proyek di berbagai sektor, misalnya skema pendanaan hijau, pengembangan teknologi panel surya, pengembangan pendidikan vokasi, dan area kerja sama lainnya.
Terakhir, menyoal upaya memperkuat ketahanan keuangan global jangka panjang, negara-negara makmur dalam G-20 seyogianya jangan hanya sekadar menyampaikan narasi. Mereka juga perlu meningkatkan inisiatif untuk mengantisipasi serangkaian krisis utang dari negara miskin.
Berdasarkan perhitungan Bank Dunia, hingga akhir 2021 sebanyak 74 negara berpenghasilan rendah harus membayar utang sebesar 35 miliar dollar AS (sekitar Rp 500 triliun) kepada para kreditor bilateral dan swasta. Jumlah ini hampir dua kali lipat dari tahun 2020.
Negara-negara makmur dalam G-20 seyogianya jangan hanya sekadar menyampaikan narasi. Mereka juga perlu meningkatkan inisiatif untuk mengantisipasi serangkaian krisis utang dari negara miskin.
Di sisi lain, bank sentral AS, The Federal Reserve (The Fed), berada di ambang menaikkan suku bunga dan berisiko mendorong kenaikan biaya pinjaman di pasar negara berkembang. Lambatnya pemberian bantuan dan keringanan akan meningkatkan risiko gagal bayar pada negara-negara yang sedang dililit krisis utang.
Risiko tersebut justru akan menghambat pemulihan ekonomi dunia secara lebih setara karena sesuai dengan kalimat Presiden Joko Widodo saat membuka pertemuan pertama FMCBG, kebangkitan satu kawasan akan membangkitkan kawasan yang lainnya. Sebaliknya, keruntuhan satu kawasan akan ikut meruntuhkan kawasan yang lain.
Sebagai pemegang tampuk Presidensi G-20, Indonesia punya kesempatan untuk mengubah produk akhir forum yang dikhawatirkan hanya berakhir di panggung narasi menjadi sebuah pawai aksi. Seluruh dunia berharap forum G-20 dapat memberikan manfaat nyata pada pemulihan ekonomi global.