Ketergantungan terhadap dollar AS diharapkan terus menurun sehingga stabilitas nilai tukar rupiah bisa terus terjaga.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Selama pemberlakuan perjanjian penggunaan mata uang lokal (local current settlement/LCS) sejak 2018 sampai 2021, transaksi perdagangan dan investasi internasional Indonesia yang tak lagi memakai dollar AS mencapai Rp 36 triliun atau setara 2,53 miliar dollar AS. Transaksi tersebut berasal dari sebagian perdagangan dan investasi Indonesia dengan empat negara yang sepakat menjalankan LCS dengan Indonesia, yakni China, Jepang, Malaysia, dan Thailand. Ketergantungan terhadap dollar AS diharapkan terus menurun sehingga stabilitas nilai tukar rupiah bisa terus terjaga.
Melalui kerja sama LCS, para pelaku usaha dari Indonesia dan negara mitra bisa menggunakan mata uang lokal masing-masing ketika bertransaksi perdagangan ataupun investasi. Sebelum ada kerja sama ini, transaksi tersebut menggunakan mata uang dollar AS. LCS merupakan kerja sama yang diinisiasi oleh Bank Indonesia (BI) dengan bank sentral China, Jepang, Malaysia, dan Thailand.
Data BI yang dikumpulkan dari transaksi bank-bank yang melayani LCS atau appointed cross currency dealer (ACCD) menyebutkan, sejak LCS dilaksanakan 2018 hingga 2021, telah terjadi transaksi perdagangan dan investasi internasional menggunakan mata uang rupiah sebesar Rp 36 triliun atau setara dengan 2,53 miliar dollar AS. Sebagian besar transaksi tersebut terjadi pada 2021.
Tidak hanya secara nilai, jumlah pelaku yang bertransaksi dengan LCS juga terus bertambah. Pada 2021, jumlah pelaku yang bertransaksi LCS per bulan mencapai 536, meningkat dua kali lipat lebih dari 2020 yang sebanyak 255.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, kenaikan signifikan itu lantaran pada September 2021 BI telah sepakat dengan Bank’s People of China untuk menjalankan LCS. Dengan demikian, nilai transaksi dengan LCS langsung meningkat signifikan karena China merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia.
Menurut Perry, kebijakan LCS antarbank sentral bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap dollar AS yang selama ini menjadi mata uang utama dalam perdagangan internasional. Langkah ini akan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sekaligus mendorong perdagangan dan investasi Indonesia dengan negara mitra dagang penganut LCS.
”Kebijakan ini untuk mengurangi kerentanan dan volatilitas nilai tukar serta meredam dampak jika terjadi guncangan global,” ujar Perry dalam acara bertajuk ”Managing Risk of The Exit Policy Dynamic Through More Diversified Currency to Support Global Trade and Investment”, di Jakarta, Rabu (16/2/2022).
Gubernur People’s Bank of China Yi Gang menjelaskan, kesepakatan LCS dengan negara mitra dagang adalah salah satu kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dalam negeri. Sebab, kebijakan ini secara tidak langsung menjadi salah satu jaring pengaman cadangan devisa agar tidak lekas tergerus oleh volatilitas tekanan global.
”Negara-negara yang menjalankan kesepakatan LCS akan lebih siap dan kuat dalam menghadapi guncangan eksternal global,” ujar Yi Gang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, tak hanya menjaga stabilitas nilai tukar, penerapan LCS juga diharapkan dapat merangsang pertumbuhan perdagangan dan investasi antarnegara mitra LCS.
Potensi besar
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menjelaskan, meski mencatat pertumbuhan yang signifikan, sejatinya angka tersebut masih jauh di bawah potensi yang bisa dikembangkan. Penggunaan mata uang dollar AS masih mendominasi dalam kegiatan ekspor dan impor Indonesia.
Mengutip data BI, hingga November 2021, sebanyak 95,1 persen kegiatan ekspor Indonesia masih menggunakan mata uang dollar AS. Demikian pula kegiatan impor yang sebesar 84,3 persen masih menggunakan mata uang dollar AS.
Padahal, empat negara yang bekerja sama LCS dengan Indonesia adalah mitra dagang utama Indonesia. Terlebih China yang menyumbang transaksi perdagangan terbesar Indonesia. Sejak Januari hingga Oktober 2021, total perdagangan Indonesia dengan China baik ekspor maupun impor mencapai 86,7 miliar dollar, bertumbuh 54,70 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari data tersebut, lanjut Hariyadi, bisa dikatakan fasilitas LCS dalam kegiatan ekspor-impor ini belum dikenal luas dunia usaha. Artinya, cita-cita untuk mengurangi ketergantungan dollar AS masih belum maksimal. Padahal, potensi pertumbuhan nilai transaksi LCS ini sangat besar.
”LCS ini merupakan terobosan yang baik sekali. Namun, jumlah pengusaha yang memanfaatkannya dan nilai transaksinya masih jauh di bawah potensi yang bisa dicapai,” ujar Hariyadi.
Hal senada dikemukakan oleh ekonom dan pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, M Chatib Basri. Ia mengatakan, LCS sangat bagus untuk mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dollar AS dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Namun, perannya saat ini belum terlalu terasa dan masih relatif kecil.
”Peran dollar AS hari ini masih besar sekali,” ujar Chatib.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mengatakan, nasabah perbankan, khususnya pelaku ekspor dan impor, perlu terus-menerus diedukasi untuk memanfaatkan fasilitas LCS. Sebab, fasilitas LCS ini sebetulnya sangat menguntungkan untuk bisnis mereka.
”Dengan LCS, mereka tidak perlu mengalami rugi kurs saat bertransaksi. Lebih praktis juga karena mereka tak perlu bolak-balik menukarkan mata uangnya, cukup pakai rupiah saja sudah bisa bertransaksi,” ujar Jahja. BCA merupakan salah satu dari bank ACCD yang melayani LCS.
Direktur Utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Darmawan Junaidi menjelaskan, pada 2021, total nilai LCS melalui Bank Mandiri mencapai 495,64 juta dollar AS, bertumbuh signifikan dari 2020 yang sebesar 182,99 juta dollar AS. Frekuensi konversi valas mata uang LCS pada 2021 juga meningkat menjadi 5.351 kali dari 2020 yang sebanyak 1.657 kali. Bank Mandiri juga merupakan salah satu dari bank ACCD yang melayani LCS.