Minyak Jelantah Potensial untuk Dijadikan Bahan Baku Biodiesel
Dari survei diketahui, lebih dari separuh responden mengharapkan penyediaan fasilitas pengumpulan minyak jelantah atau UCO serta sosialisasi manfaat pengelolaan UCO.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel terbilang potensial dan dapat berdampak positif, seperti penciptaan lapangan kerja baru. Namun, model bisnis yang tepat, termasuk mengumpulkan minyak jelantah dari rumah tangga, masih menjadi tantangan.
Dari studi dan survei oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) ditemukan bahwa rata-rata produksi minyak jelantah (used cooking oil/UCO) sebanyak 1,8 liter per rumah tangga per bulan. Survei dilakukan terhadap 2.500 rumah tangga di 16 provinsi pada Oktober-November 2021.
Dari semua responden yang relatif berada di perkotaan, 55,3 persen rumah tangga menghasilkan UCO. Untuk wilayah Jawa terbanyak dengan 63,71 persen. Adapun potensi UCO rumah tangga secara nasional diestimasi mencapai 864.889 kiloliter (kl) per tahun. Khusus di perkotaan, potensi UCO rumah tangga diperkirakan 505.730 kl per tahun.
Indonesia pun berpotensi besar memanfaatkan UCO untuk diolah lebih lanjut, salah satunya sebagai bahan baku biodiesel. Peneliti LPEM FEB UI, Alin Halimatussadiah, mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti lebih jauh guna mencari model bisnis yang tepat, termasuk mekanisme pengumpulan UCO.
”Kebanyakan mereka enggak mau terlalu susah, jadi mesti diambil di rumah. Kalaupun dikumpulkan di satu titik, (harus) titik terdekat. Dari sini kita perlu pikirkan bisnis model mekanisme pengumpulan dan pemberian insentif,” kata Alin dalam webinar ”Kesiapan Pemanfaatan UCO sebagai Bahan Baku Biodiesel”, Rabu (16/2/2022).
Dari survei diketahui pula bahwa lebih dari separuh responden mengharapkan penyediaan fasilitas pengumpulan UCO dan sosialisasi manfaat pengelolaan UCO. Preferensi dari rumah tangga adalah penjemputan langsung dengan insentif Rp 4.000-Rp 5.000 per liter. Bisnis itu, disebutkan, akan layak secara finansial apabila harga biodiesel senilai Rp 8.493 per liter.
Pemanfaatan UCO perlu dikembangkan karena ekspor minyak jelantah Indonesia terus meningkat. Catatan LPEM FEB UI, pada 2020 nilai ekspornya mencapai 156,98 juta dollar AS. Belanda dan Singapura menjadi negara tujuan utama untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar kendaraan.
”Dalam estimasi dampak ekonomi di level nasional, pemanfaatan UCO sebagai biodiesel dapat meningkatkan produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,25 persen atau setara Rp 39,58 triliun dan penciptaan lapangan kerja baru bagi 381.000 orang dalam jangka panjang,” ujar peneliti LPEM FEB UI lainnya, Teuku Riefky.
Di samping itu, pemanfaatan minyak UCO sebagai bahan baku biodiesel juga potensial untuk perbaikan kualitas lingkungan hidup.
Sosialisasi
Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Edi Wibowo menuturkan, selain mekanisme pengumpulan secara nasional yang perlu dipikirkan, sosialisasi kepada masyarakat juga penting. Sebab, masih banyak warga yang belum tahu pemanfaatan UCO sebagai bahan baku biodiesel.
Sejauh ini, kata Edi, baru ada dua badan usaha yang mengonversi UCO menjadi biodiesel. ”Namun, untuk keberlanjutan, bahan baku sering kali menjadi kendala,” ucapnya.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, selama ini ekspor UCO lebih menarik ketimbang dimanfaatkan di dalam negeri. Harga UCO di pasar Eropa pun bisa mencapai Rp 12.000-Rp13.000 per liter.
Sahat setuju jika pemanfaatan UCO menjadi bahan baku biodiesel menjadi industri lokal, bukan nasional. ”Sebab, kita negara kepulauan, beda dengan semenanjung Malaysia, misalnya. Jadi, ongkos pengumpulannya akan jauh lebih mahal,” ujarnya.