Indonesia Berupaya Gaet Pendanaan dengan Skema Inovatif
Indonesia memanfaatkan posisi sebagai presidensi G-20 tahun 2022 untuk memenuhi kebutuhan pendanaan energi. Indonesia terbuka bagi skema pendanaan inovatif, transfer teknologi, dan semangat kemitraan yang setara.
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kecukupan dana memegang peran strategis dalam percepatan transisi energi. Pemerintah akan memanfaatkan posisi Indonesia sebagai presidensi G-20 tahun 2022 untuk menggaet pendanaan yang inovatif dan menguntungkan.
Direktur Pembangunan, Ekonomi, dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri Hari Prabowo saat menghadiri diskusi ”Youth Movement in G-20” mengatakan, dalam Kelompok Kerja Transisi Energi G-20 (Energy Transition Working Group G-20), Indonesia menginginkan komitmen transisi energi benar-benar bisa terwujud dalam aksi nyata sehingga butuh dukungan investasi antarnegara.
Indonesia terbuka bagi kerja sama internasional, termasuk dalam urusan investasi asing, skema pendanaan yang inovatif, serta transfer teknologi berdasarkan semangat kemitraan yang setara dan saling menguntungkan.
”Kami menganut pendekatan multipemangku kepentingan. Kolaborasi multisektor untuk pendanaan. Selama proses transisi energi, Indonesia ingin ada keamanan pasokan, kemudahan akses, dan keterjangkauan energi bagi masyarakat,” ujar Hari Prabowo di Jakarta, Selasa (8/2/2022).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, yang hadir di acara yang sama, menekankan, pihaknya berharap listrik yang dihasilkan dari pembangkit energi terbarukan tetap terjangkau. Dengan demikian, semua kalangan masyarakat bisa mengaksesnya.
”Jika listrik yang dihasilkan dari pembangkit energi terbarukan masih 20 sen per kWH, kemungkinan besar masyarakat akan tombok. Jangan sampai kejadiannya demikian,” ujarnya.
Dadan menyampaikan, pemerintah sampai sekarang masih memfinalkan kebijakan harga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik energi terbarukan untuk dijual ke PLN. Kebijakan ini terangkum dalam rancangan peraturan presiden terkait energi terbarukan.
Menurut dia, soal harga listrik dari pembangkit listrik energi terbarukan untuk dijual ke PLN, ada rencana pemerintah akan menetapkan harga maksimum. Pemerintah ingin memberikan jaminan ke pasar.
Di luar itu, pemerintah Indonesia sudah menyiapkan berbagai kebijakan insentif. Misalnya, pengurangan pajak penghasilan kepada investor panas bumi dan ketentuan ekspor listrik dari pembangkit listrik tenaga surya atap sebesar 100 persen.
”Kami sekarang mengejar bauran pembangkit listrik energi terbarukan 23 persen pada 2025. Saat ini, porsi baurannya masih sekitar 11,7 persen. Kalau target itu tidak tercapai, akan mengganggu komitmen kita di Paris Agreement,” tutur Dadan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa saat dihubungi secara terpisah berpendapat, apabila Indonesia mau kompatibel dengan target Perjanjian Paris, yaitu menahan kenaikan suhu bumi tidak melewati ambang batas 1,5 derajat celsius, bauran listrik dari energi terbarukan harus mencapai 45 persen pada 2030. Sejauh ini, Pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk melakukan pensiun dini 5,5 gigawatt (GW) PLTU dan 3,7 GW PLTU dipensiunkan untuk diganti ke pembangkit listrik energi terbarukan.
Komitmen pensiun dini PLTU, menggantikan ke pembangkit listrik energi terbarukan, atau membangun baru pembangkit listrik energi terbarukan membutuhkan dana besar. Dia lantas mengilustrasikan 3,7 GW PLTU yang akan dipensiunkan dan diganti pembangkit listrik energi terbarukan. Kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan yang harus disediakan empat kali lipat lebih besar ditambah baterai penyimpanan. Biaya untuk membangun fasilitas pembangkit saja diperkirakan 12 miliar dollar AS.
”Dengan komitmen tersebut, sebagai chair, Indonesia bisa membuat setting agenda dalam Kelompok Kerja Transisi Energi G-20. Kita butuh pinjaman dengan bunga rendah dan tenor panjang supaya mendukung harga listrik energi terbarukan yang terjangkau bagi masyarakat. Jadi, Indonesia bukan hanya butuh grant,” tuturnya.
Di luar forum itu, Fabby berpendapat, pemerintah juga perlu menyiapkan iklim investasi yang kondusif, seperti regulasi yang transparan dan menyiapkan proyek pembangkit listrik energi terbarukan. Restrukturisasi pasar kelistrikan di dalam negeri pun mesti dilakukan, seperti membuka jaringan kelistrikan non-PLN.
”Sejauh ini, PLN masih kelebihan pasokan. Ini membuat investor energi terbarukan berpikir untuk masuk ke Indonesia. Hal seperti itu perlu jalan keluar,” ujarnya.