Buruh Sudah Jatuh, Tertimpa Tangga
Setelah satu tahun berlaku, keresahan buruh terkait dampak Undang-Undang Cipta Kerja satu persatu mulai terbukti. Pemerintah pun bersiap mengevaluasi ulang sejumlah isu di kluster ketenagakerjaan.
Sudah jatuh, tertimpa tangga. Begitu kondisi buruh selama pagebluk Covid-19. Tak hanya terimbas pandemi, pekerja juga terdampak implementasi Undang-Undang Cipta Kerja. Satu tahun berlalu, regulasi sapu jagat itu mulai berlaku, dibayangi ketidakpastian iklim kerja dan kesejahteraan pekerja yang kian tergerus.
Maman (32), bukan nama sebenarnya, harus merelakan angan-angannya menjadi karyawan tetap. Setelah delapan tahun terus-terusan bekerja sebagai buruh kontrak di sebuah pabrik plastik di Bekasi, Jawa Barat, alih-alih dijadikan pekerja tetap sesuai yang dijanjikan, ia ‘turun status’ menjadi buruh alih daya atau borongan (outsourcing).
“Katanya alasannya untuk efisiensi dan karena sudah ada undang-undang baru. Padahal, saya sebenarnya sudah dijanjikan dan direkomendasikan untuk diangkat jadi karyawan tetap,” kata Maman, awal Januari 2022.
Baca juga: Kontradiksi Pengubah Arah Permainan
Status Maman sebagai buruh kontrak diakhiri dan dialihkan menjadi buruh alih daya dengan uang ‘tali asih’ atau kompensasi Rp 2 juta. Maman pun kini bekerja di bawah sebuah perusahaan outsource yang bekerja sama dengan perusahaan lamanya itu. Dengan posisi, beban kerja, dan upah yang tidak berubah, kini Maman semakin tidak punya kepastian kerja karena berstatus alih daya.
Sebelum diberlakukannya UU Cipta Kerja, mengacu pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerjaan yang boleh dialihdayakan sebenarnya terbatas pada lima jenis pekerjaan penunjang (non-core business), yaitu jasa pembersihan (cleaning service), penyediaan makanan (katering), tenaga pengamanan atau satpam, jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta jasa angkutan pekerja.
Namun, UU Cipta Kerja menghapus batasan itu. Kini, semua pekerjaan bisa dialihdayakan, termasuk pekerjaan inti (core-business) di usaha terkait. Ketentuan ini termasuk dalam poin utama yang diprotes buruh karena menjadikan praktik outsourcing semakin masif. Sementara, dengan status alih daya itu, buruh menjadi rentan lantaran tidak ada kepastian kerja, jaminan sosial, perlindungan upah, dan hak lainnya sebagai pekerja.
Posisi Maman sebagai staf pergudangan (warehouse) pabrik sebenarnya tidak termasuk lima jenis pekerjaan yang bisa dialihdayakan itu. Menurut Maman, praktik pemutihan kontrak untuk dijadikan buruh alih daya di pekerjaan non-penunjang sudah dilakukan perusahaan bahkan sebelum UU Cipta Kerja. “Kali ini jadi lebih semena-mena, karena sekarang seolah-olah diperbolehkan,” katanya.
Maman menyesal menyanggupi uang tali asih yang ditawarkan. Namun, saat itu, dia merasa tak punya pilihan lain karena harus tetap bekerja dan mempertahankan sumber nafkah untuk keluarganya. Apalagi, di tengah pandemi, mencari pekerjaan baru semakin sulit. "Kalau saya sudah tahu hak-hak saya seperti sekarang, saya pasti akan menolak waktu itu dan menuntut hak saya untuk diangkat tetap," ujarnya.
Dengan status alih daya itu, buruh menjadi rentan lantaran tidak ada kepastian kerja, jaminan sosial, perlindungan upah, dan hak lainnya sebagai pekerja.
Semakin fleksibel
Seperti Maman, buruh di sektor tekstil garmen alas kaki dan kulit (TGSL), juga merasakan dampak status kerja yang semakin fleksibel pasca UU Cipta Kerja. Di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Jakarta Timur, misalnya, pemutihan kerja dilakukan terhadap pekerja tetap untuk kemudian dipekerjakan kembali dengan status kontrak.
Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) Dian Septi mengatakan, dalam beberapa kasus, modusnya, pekerja diminta mengundurkan diri (resign) dan menerima uang kompensasi agar perusahaan tak perlu membayar pesangon. “Rata-rata buruh menerima karena merasa terdesak. Selain karena butuh kerja dan uang, ada relasi kuasa yang timpang dalam negosiasi."
Pasca UU Cipta Kerja, ditambah dengan dampak pandemi, semakin banyak ditemukan praktik buruh kontrak dan buruh alih daya. Sementara, buruh kontrak semakin sulit diangkat menjadi tetap. Meski masih yang dijadikan buruh tetap, tawaran pemutihan menjadi kontrak lebih marak terjadi. “Dengan iming-iming kompensasi yang tidak setimpal, bahkan jauh di bawah UU Cipta Kerja,” ujar Dian.
Menurutnya, sebelum UU Cipta Kerja, buruh yang terkena pemutihan masih mendapat pesangon sebanyak 1 kali ketentuan di UU Ketenagakerjaan. Pasca UU Cipta Kerja, buruh yang terkena pemutihan hanya dibayar pesangon 0,1-0,25 persen dari ketentuan.
Itu bahkan lebih rendah dari pesangon yang sudah dipangkas di UU Cipta Kerja dan PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan PHK. Regulasi itu mengatur, pesangon paling rendah yang dapat diberi ke pekerja adalah 0,5 persen dari ketentuan. “Jadi ini praktik yang dari dulu sudah dilakukan diam-diam, tetapi sekarang dilegalkan dan semakin masif,” kata Dian.
Ini praktik yang dari dulu sudah dilakukan diam-diam, tetapi sekarang dilegalkan dan semakin masif.
Hak pesangon
Dampak UU Cipta Kerja tidak hanya dirasakan pekerja kerah biru, tetapi juga pekerja kerah putih. Eky Mery, warga Jakarta yang bekerja sebagai marketing communication di sebuah perusahaan perdagangan, mendapat pemberitahuan PHK pada Juni 2021 dengan alasan perusahaan merugi dan harus melakukan efisiensi.
Namun, pesangon yang didapat Eky jauh di bawah ketentuan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang sudah disepakati perusahaan dengan serikat pekerja. Perusahaan juga tidak transparan membuka laporan kerugian yang mengharuskan dilakukannya efisiensi hingga mem-PHK puluhan karyawan. “Perusahaan langsung menerapkan aturan pesangon di UU Cipta Kerja, padahal itu belum disepakati untuk diterapkan. PKB yang berlaku sebenarnya masih sesuai UU Ketenagakerjaan yang lama,” tuturnya.
Hal itu bertentangan dengan kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa kehadiran UU Cipta Kerja tidak mendegradasi kualitas PP dan PKB. Mengutip Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Kemenaker Dinar Titus Jogaswitani, UU Cipta Kerja tidak serta-merta mengubah peraturan internal perusahaan, kecuali telah disepakati pekerja dengan perusahaan.
Awalnya, Eky bersama serikat pekerja di perusahaannya, menempuh langkah mediasi, tetapi tidak membuahkan hasil. Perusahaan tetap tidak menuruti imbauan dinas ketenagakerjaan yang meminta manajemen mematuhi aturan di PKB. Kini, Eky dan pekerja lain yang di-PHK pun mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial (PHI).
“Meski karena sudah berbulan-bulan bersengketa, banyak (korban PHK lain) yang lelah dan akhirnya menerima di-PHK meski tidak sesuai dengan PKB,” katanya.
Baca juga: Pekerja Khawatir Diperlakukan Sewenang-wenang
Dampak UU Cipta Kerja yang membawa ketidakpastian kerja juga disoroti Hirson Kharisma, advokat di Balikpapan, Kalimantan Timur. Saat mendampingi kliennya sebagai tergugat di PHI Samarinda, dalam putusan pengadilan, majelis hakim menyatakan bahwa hubungan kerja antara kliennya dan perusahaan berakhir berdasarkan Pasal 43 ayat (2) PP Nomor 35 Tahun 2021.
Menurut PP tersebut, pengusaha dapat melakukan PHK terhadap buruh dengan alasan perusahaan melakukan efisiensi untuk mencegah terjadinya kerugian. Padahal, dalam UU Ketenagakerjaan, PHK salah satunya bisa dilakukan ketika perusahaan merugi dua tahun berturut-turut. Kerugian itu pun harus dibuktikan dengan laporan keuangan yang diaudit akuntan publik.
"Frasa 'mencegah terjadinya kerugian' itu mencerminkan tidak adanya kepastian hukum. Perusahaan bisa saja menggunakan alasan itu kapan saja untuk memberhentikan pekerja," ujar Hirson.
Revisi UU Cipta Kerja
Menurut Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, perbaikan substansi ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja menjadi keniscayaan. Sebab, alih-alih mendorong pemulihan inklusif, implementasi sejumlah pasal di UU tersebut justru menekan kesejahteraan pekerja.
Selain status kerja yang kian fleksibel dan berkurangnya hak pesangon, dampak lain yang kini dirasakan pekerja adalah tertahannya kenaikan upah minimum tahun 2022 di bawah tingkat inflasi tahunan akibat sistem pengupahan baru di UU Cipta Kerja. “Ini semakin menekan daya beli pekerja di tengah himpitan pandemi. Kita memang butuh investasi, tetapi jangan sampai dalam prosesnya itu justru menekan pekerja,” katanya.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, pemerintah sedang mengevaluasi sejumlah pasal ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja yang paling banyak digugat buruh ke Mahkamah Konstitusi. Antara lain, ketentuan PKWT/pekerja kontrak, pekerja alih daya, hak pesangon, dan upah pekerja.
Kajian itu melibatkan akademisi dari berbagai universitas serta ke depannya juga akan melibatkan pekerja dan pengusaha. “Di sini kita buka opsi mengevaluasi. Sebab, kalaupun misalnya nanti revisi aspek formil UU Cipta Kerja selesai, gugatan materiil akan tetap disampaikan lagi ke MK,” ujarnya.
Menurutnya, implementasi UU Cipta Kerja selama setahun terakhir merupakan tantangan sulit di tengah pandemi. Pemerintah harus berusaha menempatkan diri di antara kebutuhan pekerja dan pengusaha. “Pandemi berdampak sangat besar pada pekerja, tapi di sisi lain kita juga harus menjalankan UU Cipta Kerja. Tentu tidak ada satu solusi jitu untuk menyelesaikan semuanya,” kata Anwar.
Untuk memastikan penerapan UU Cipta Kerja tidak menekan buruh, Kemenaker juga akan memperkuat pengawasan ketenagakerjaan, baik dari sisi jumlah pengawas maupun kapasitas. Saat ini, jumlah pengawas dan mediator memang masih sangat terbatas dan terpusat di ibukota provinsi. “Situasi sudah berbeda, sekarang ini masalah ketenagakerjaan betul-betul dinamis dan ini menjadi tantangan untuk kami,” katanya.
Baca juga: Revisi Setengah Hati