Perubahan norma terkait dengan syarat impor di dalam Undang-Undang Cipta Kerja dikhawatirkan kian menggusur pangan produksi petani dalam negeri. Arus impor berpeluang makin kencang seiring syarat yang kian longgar.
Oleh
DIMAS WARADITYA NUGRAHA, ADITYA PUTRA PERDANA, PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan petani mengkhawatirkan dampak penghapusan syarat kecukupan produksi dalam negeri untuk mengimpor pangan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pangan impor berpotensi menggusur hasil panen dan menekan kesejahteraan petani.
Undang-Undang (UU) Cipta Kerja mengubah dan menghapus syarat importasi pangan sebagaimana diatur dalam sejumlah UU. Pasal 36 UU No 18/2012 tentang Pangan, misalnya, mensyaratkan impor pangan hanya dapat dilakukan jika produksi tak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Namun, syarat itu tak diatur lagi di UU Cipta Kerja.
Ketentuan Pasal 15 UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani juga diubah di UU Cipta Kerja. Pada UU 19/2013, pemerintah diwajibkan mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Namun, di UU Cipta Kerja, pasal itu diubah menjadi "Pemerintah pusat dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya wajib meningkatkan produksi pertanian."
Ketua Umum Serikat Petani Indonesia Henry Saragih berpendapat, sebelum ada UU Cipta Kerja, amanat sejumlah UU terkait dengan pangan dan pertanian belum dijalankan dengan baik. Selain UU Pangan, ada UU No 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, UU No 13/2010 tentang Hortikultura, UU No 39/2014 tentang Perkebunan, dan UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
”Kini, dengan statusnya yang inkonstitusional bersyarat, (UU Cipta Kerja) tak bisa dijadikan rujukan dalam pengambilan kebijakan, misalnya, saat mau impor, tentu harus merujuk UU Pangan,” ujarnya.
Pada November 2021, Mahkamah Konstitusi memutus UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Pembentuk UU diperintahkan untuk memperbaikinya dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan. Apabila dalam tenggang waktu itu tidak diperbaiki, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
Presiden Wahana Masyarakat Tani Nelayan Indonesia (Wamti) Agusdin Pulungan menilai, kendati telah diputuskan bermasalah dari sisi hukum, implementasi kegiatan dinilainya masih berjalan. Dampak yang dikhawatirkan, antara lain terkait perjanjian kemitraan dagang yang berpotensi merugikan petani di dalam negeri.
Perjanjian tersebut, kata Agusdin, salah satu tujuannya adalah agar negara-negara yang bermitra saling membuka keran impor dengan mengurangi sebanyak-banyaknya hambatan impor.
Menurut dia, ancaman UU Cipta Kerja di sektor pertanian nyata. Itu karena, kenyataannya, daya saing petani di Indonesia terbilang kurang. Produk dari negara-negara lain yang lebih baik dalam menyubsidi pertaniannya bakal menggusur hasil panen petani dalam negeri.
Dosen Departemen Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Subejo, menilai, kepentingan nasional harus jadi prioritas. Komoditas strategis, seperti beras, harus dilindungi karena menyangkut kehidupan jutaan orang, antara lain dengan tidak impor saat petani panen raya.
Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian Eddy Purnomo mengatakan, terkait dengan impor pangan sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko beserta turunannya. ”Substansinya tidak berubah dengan kondisi sebelum diberlakukan UU Cipta Kerja,” ujarnya, Selasa (8/2/2022).
Saat dikonfirmasi tentang perlunya merevisi substansi dalam UU Cipta Kerja di sektor pertaniaSaat dikonfirmasi tentang perlunya merevisi substansi dalam UU Cipta Kerja di sektor pertanian, Eddy menilai, memang perlu evaluasi menyeluruh. Namun, ia belum tahu apakah perbaikan tetap di Kemenko Bidang Perekonomian, sebagai leading sector, atau tidak.
Agraria
Substansi lain UU Cipta Kerja dinilai perlu dikoreksi terkait dengan konsepsi dan asas-asas dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Menurut Guru Besar Fakultas Hukum UGM Maria SW Sumardjono, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus mengoreksi substansi bidang pertanahan yang melanggar konsepsi dan asas-asas UU No 5/1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) yang masih berlaku sepenuhnya.
Konsepsi dan asas-asas dalam UUPA yang masih berlaku tersebut, di antaranya, adalah pemberian hak guna usaha (HGU) di atas hak pengelolaan lahan (HPL) dan pemilikan satuan rumah susun (sarusun) bagi orang asing yang tanah bersamanya berstatus hak guna bangunan (HGB). Adapun asas lainnya ialah terkait dengan penetapan HPL untuk masyarakat adat.
Menurut Maria, Kementerian ATR/BPN juga perlu menyempurnakan substansi yang selaras dengan UUPA, tetapi belum sempat diatur dalam UU Cipta Kerja, misalnya HPL dan hak atas tanah di ruang bawah air. Terpenting, UU Cipta Kerja harus menegaskan hal-hal yang semestinya diatur karena beraspek hak asasi manusia (HAM).
Substansi lain yang perlu dirombak total dalam UU Cipta Kerja ialah tentang Badan Bank Tanah. Maria memandang bahwa bentuk lembaga bank tanah bukan sebagai badan layanan umum seperti gagasan awal. Oleh karena itu, perombakan aturan perlu dilakukan untuk mencegah operasionalisasi bank tanah yang tidak tepat sasaran.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Hariadi Kartodihardjo menyampaikan hal senada. Menurut Hariadi, secara teknis keputusan MK menjadi momentum untuk merevisi sejumlah substansi di sektor kehutanan di UU Cipta Kerja yang masih jauh dari aspirasi publik.
Saat ini, pemerintah menyiapkan naskah akademik UU Cipta Kerja yang baru. Sebelumnya, terkait dengn arah revisi UU ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, ada empat isu yang sedang dikaji melalui kerja sama dengan beberapa universitas, yakni ketenagakerjaan, kehutanan, lingkungan, dan pertanahan (agraria). ”Itu empat hal yang paling disoroti oleh publik,” katanya.
Sementara Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Ahmad Baidowi menyatakan, sejauh mana substansi UU Cipta Kerja akan diubah sepenuhnya bergantung pada hasil pembahasan DPR dan pemerintah kelak. ”Itu tergantung dari pembahasan, apakah akan ada perubahan substansi atau tidak,” katanya.