UU Cipta Kerja, Masih Jauh Panggang dari Api
Cita-cita Undang-Undang Cipta Kerja untuk memudahkan perizinan berusaha masih jauh panggang dari api. Sistem yang belum siap dapat menyulitkan pengusaha, mengancam kelestarian lingkungan, dan kualitas hidup masyarakat.
Jakarta, Kompas – Setelah satu tahun, penerapan Undang-Undang Cipta Kerja untuk mempermudah perizinan berusaha, meningkatkan investasi, dan menciptakan lapangan kerja, masih jauh panggang dari api. Izin usaha yang diterbitkan tanpa analisis risiko yang matang sesuai kondisi riil di daerah pun dapat berdampak buruk pada lingkungan dan masyarakat sekitar.
Kajian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada Desember 2021 menunjukkan, satu tahun setelah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan peraturan turunannya resmi berlaku, implementasinya belum optimal.
Sistem perizinan terpadu berbasis risiko atau Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA) yang dibuat untuk memudahkan proses perizinan usaha masih bermasalah. Antara lain, kebijakan pusat-daerah yang belum matang dan sinkron, perizinan sektoral yang belum terintegrasi, keterbatasan teknologi dan tenaga SDM, serta minimnya sosialisasi yang membingungkan pelaku usaha dan menghambat kelancaran perizinan.
Baca juga: Implementasi Perizinan Usaha Berbasis Risiko Bisa Berbeda
Direktur Eksekutif KPPOD Armand Suparman mengatakan, salah satu problem utama ketidaksiapan implementasi sistem OSS-RBA adalah pemetaan analisis risiko usaha yang belum jelas. Seperti diketahui, untuk menyederhanakan perizinan, UU Cipta Kerja mengubah rezim perizinan berusaha menjadi berbasis risiko.
Setiap bidang usaha ditakar risiko beroperasinya berdasarkan kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dengan menimbang aspek kesehatan, keselamatan, lingkungan, dan lain-lain. Syarat dan proses perizinan usaha risiko rendah-menengah dibuat lebih mudah dibandingkan usaha berisiko tinggi yang memerlukan syarat tambahan berupa analisa dampak lingkungan (amdal).
Armand mengatakan, daftar KBLI sebagai penentu kategori bidang usaha berbasis risiko itu belum lengkap dan belum sesuai dengan kondisi riil lapangan. Pasalnya, proses pemetaan analisis risiko diurus pemerintah pusat, tanpa keharusan melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat setempat, yang lebih memahami situasi dan kebutuhan di daerah.
Pemberian izin usaha sesuai risiko riil di lapangan juga dipersulit dengan masih banyaknya daerah yang belum memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Akibat pemetaan analisis risiko yang buruk dan RDTR yang belum terintegrasi dengan sistem OSS-RBA, pemberian izin usaha bisa melenceng dari peruntukan dan melanggar tata ruang.
Usaha dengan kategori risiko yang sebenarnya tinggi di suatu daerah bisa saja lolos dengan label risiko rendah atau menengah. Hal itu pun bisa mengancam kelestarian lingkungan dan kualitas hidup masyarakat. “Sekarang mungkin belum terlihat dampaknya, karena usahanya belum beroperasi. Tapi ini tinggal menunggu waktu, akan jadi masalah di masa depan,” tuturnya.
Baca juga: Paradigma Baru Perizinan Berusaha
Keresahan serupa disuarakan pemerintah daerah. Kepala Dinas Penanaman Modal-Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM-PTSP) Sulawesi Tenggara Parinringi menuturkan, sistem OSS-RBA yang belum terintegrasi maksimal dengan RDTR itu kerap membuat pengurusan izin lokasi usaha tertunda.
"Izin lokasi itu sulit karena butuh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. Ini yang membuat orang pikir-pikir lagi untuk membuka usaha di sini, karena pengurusannya sering terkendala. Belum lagi dampak lingkungannya. Istilahnya, dana masuk ke pusat, kita cuma kebagian masalahnya."
Belum lagi dampak lingkungannya. Istilahnya, dana masuk ke pusat, kita cuma kebagian masalahnya.
Ia mengatakan, investasi baru pun sulit untuk masuk karena belum maksimalnya sistem pelayanan perizinan yang ada. "Banyak yang sudah datang konsultasi, tapi sehabis itu tidak pernah muncul lagi dan tidak terdengar kabarnya untuk berinvestasi."
Menurut Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Sarman Simanjorang, keterlibatan daerah dalam menentukan risiko jenis usaha penting untuk mendukung implementasi sistem OSS-RBA. Perlu ada komunikasi antara pemerintah pusat-daerah serta pelaku usaha dan masyarakat untuk menyusun kategori risiko sesuai kondisi riil daerah. Karakteristik alam dan kehidupan sosial di setiap daerah berbeda-beda, sehingga tingkat risikonya pun tidak bisa dipukul rata.
Ia berharap berbagai persoalan itu bisa diluruskan lewat revisi UU Cipta Kerja sesuai perintah Mahkamah Konstitusi. “Sebab, kalau suatu hari muncul pencemaran limbah, lingkungan rusak, masyarakat terdampak, yang harus menghadapi itu daerah, bukan pusat. Apalagi, izin usaha yang saat ini diambil alih pusat, seperti tambang, termasuk dalam usaha risiko tinggi,” ujar Sarman.
Tetap kesulitan
Sistem OSS-RBA yang belum siap itu dikeluhkan pelaku usaha saat mengurus perizinan. Wakil Ketua Umum Bidang Investasi Kadin Kalimantan Timur Alexander Sumarno mengatakan, pengusaha kerap gamang memilih lahan sesuai kebutuhan karena peruntukan lahan dan kondisi di lapangan tidak sesuai.
Secara sistem, memang belum semua kota/kabupaten di Kaltim memiliki sistem OSS yang terintegrasi dengan RDTR. Beberapa kota yang sudah terintegrasi, menurut catatan DPM-PTSP Kaltim, hanya Kota Bontang, Kutai Timur, Samarinda, dan Balikpapan.
Sosialisasi yang masih minim juga menghambat urusan perizinan. Di Sultra, misalnya, kendala dirasakan Amir (60), pemilik izin usaha pertambangan (IUP) emas di Bombana, yang harus bolak-balik mendatangi kantor DPM-PTSP untuk memperpanjang izin usaha, lantaran belum tersosialisasi mengenai perubahan aturan perusahaan pemilik IUP.
“Saya pikir pada dasarnya (sistem OSS-RBA) ini mempermudah pengusaha. Tetapi, masih ada beberapa hal yang saya tidak mengerti karena banyak aturan sudah berubah. Semua sudah diurus, tapi sampai sekarang izin belum keluar,” kata Amir.
Baca juga: Waspada Bumerang Regulasi Cipta Kerja
Kendala juga dialami Agus Salim, warga Kendari, yang proses pengurusan izin usaha pengolahan limbahnya tertunda lebih dari dua minggu. Agus telah memasukkan seluruh berkas secara daring ke aplikasi OSS-RBA, tetapi bidang usaha yang ia daftarkan tidak semua tercantum dan terverifikasi oleh sistem. Agus pun harus berkali-kali memperbaiki pendaftaran.
Kendati sistem OSS-RBA sebenarnya memudahkan karena bisa diakses secara daring, ketika ada kendala, ia tetap harus menyambangi kantor dinas secara langsung. “Petugas terkadang tidak bisa menjawab dan harus menghubungi Jakarta dulu. Itu butuh waktu lama dan akhirnya membuat pengusaha berpikir ulang,” tuturnya.
Kondisi di Jakarta tak jauh berbeda. Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Ikhsan Ingratubun mengatakan, sistem perizinan OSS-RBA belum terintegrasi secara digital dengan layanan perizinan sektoral lainnya, sehingga pelaku usaha tetap harus mengurus izin berkali-kali. Ini sering dikeluhkan industri rumah tangga saat mengurus izin penggunaan air tanah.
Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi Yuliot mengatakan, pemerintah terus berusaha menyempurnakan sistem OSS-RBA. Menurutnya, proses transisi pengintegrasian sistem perizinan lintas kementerian/lembaga memang butuh waktu. “Masih perlu penyesuaian. Karena baru dimulai Februari 2021, ada K/L yang belum menganggarkan biaya untuk mengintegrasikan sistem,” katanya.
Ia mengatakan, kewenangan peran pemerintah daerah tetap ada untuk memberikan perizinan sesuai kondisi riil. “Kalau belum ada RDTR, tetap harus ada persetujuan (daerah). Akan dilihat apakah investasi ini sesuai tata ruang. Dari daya dukung lahannya, mungkin tidak daerah bersangkutan dilakukan kegiatan investasi. Misalnya, kalau di pemukiman padat ada pengusaha yang mengajukan pembebasan lahan, itu tidak bisa,” katanya.
Baca juga: Mempertaruhkan Ekologi dalam RUU Cipta Kerja
Belum berdampak
Ketua Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri menilai, efektivitas UU Cipta Kerja selama setahun ini belum signifikan. Capaian investasi di tahun 2021, menurutnya, tidak serta-merta karena UU Cipta Kerja. “Investasi meningkat itu salah satunya karena natural resources kita yang memang lagi jadi primadona.”
Di sisi lain, belum terlihat dampak investasi terhadap penciptaan lapangan kerja berkualitas. Data Kementerian Investasi, tenaga kerja yang terserap hanya bertambah 51.532 orang, dari 1.156.361 orang pada 2020 menjadi 1.207.893 orang pada 2021. Itu masih jauh dari janji penciptaan 2,7 juta-3 juta lapangan kerja per tahun yang dulu digaungkan pemerintah.
“UU ini, kan, namanya Cipta Kerja, bukan UU Investasi. Meski 1 juta lapangan kerja formal tercipta tahun lalu, tapi itu belum sebanding dengan banyaknya pekerja yang masih terjebak di sektor informal,” kata Yose.
Di Kalimantan Timur, realisasi investasi pada tahun 2021 tercatat senilai Rp 41,15 triliun, melebih target awal pemerintah yakni Rp 26 triliun. Kendati demikian, tingginya tingkat investasi itu belum berdampak signifikan pada penciptaan lapangan kerja.
Kepala DPM-PTSP Kaltim Puguh Harjanto mengatakan, kota Bontang dan Kota Balikpapan adalah kota dengan suntikan investasi terbesar. Namun, tingkat pengangguran terbuka di dua kota itu justru tercatat yang paling tinggi se-provinsi. Ia mengatakan, pihaknya akan mengkaji fenomena itu dan akan merumuskan strategi baru agar investasi yang masuk kelak berdampak signifikan pada masyarakat.
Baca juga: Revisi Setengah Hati