Inovasi Keuangan Digital dan Literasi Keuangan Harus Seimbang
Kecepatan perkembangan inovasi keuangan digital belum bisa diimbangi oleh pemahaman masyarakat akan mekanisme cara kerja dan risikonya. Perlu keseimbangan inovasi dan mitigasi risiko.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkembangan teknologi menciptakan berbagai inovasi keuangan digital. Meski memberikan manfaat memperluas inklusi keuangan, literasi tentang keuangan perlu terus dilakukan untuk memitigasi risiko. Kerugian dan kejahatan sangat mungkin menimpa konsumen yang belum memahami mekanisme dan risiko layanan dari inovasi keuangan digital.
Senior Financial Sector Specialist Bank Dunia Sharmista Appaya menjelaskan, berbagai inovasi keuangan digital ibarat pisau bermata dua yang bisa memberikan manfaat sekaligus mengandung risiko. Inovasi keuangan digital mampu memperluas inklusi keuangan karena bisa menjangkau segmen yang sebelumnya tak bisa mengakses layanan jasa keuangan.
Di sisi lain, ada potensi risiko yang bisa merugikan, tak hanya masyarakat, tetapi juga perusahaan penyelenggara inovasi keuangan digital itu sendiri. Dari sisi masyarakat, potensi risiko yang mungkin terjadi antara lain peretasan rekening, pencurian data pribadi, serta kekerasan verbal dan fisik dari tim penagih utang. Perusahaan juga berisiko tertipu identitas palsu nasabah hingga terjebak transaksi dana nasabah yang terlibat dalam tindak pidana pencucian uang.
Sumber penyebab semua itu, lanjut Sharmista, adalah tidak seimbangnya kecepatan inovasi dengan tingkat pemahaman masyarakat akan mekanisme cara kerja dan risiko. Tidak seimbangnya kecepatan pembuatan regulasi yang menjadi payung hukum dan aturan juga membuat masyarakat rentan menjadi korban.
”Kuncinya adalah menyeimbangkan inovasi itu dengan mitigasi risikonya. Seluruh pemangku kepentingan perlu menyiapkan mitigasi risiko agar semua pihak bisa merasakan manfaat optimal dari inovasi keuangan digital,” kata Sharmista dalam acara bertajuk ”International Seminar on Digital Financial Inclusion”, Rabu (2/2/2022).
Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute dan Keuangan Digital Imansyah mengakui, potensi risiko dari inovasi keuangan digital masih kerap terjadi. Ini bersumber dari masih rendahnya literasi keuangan masyarakat Indonesia. Menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2019, tingkat literasi keuangan di Indonesia baru 38,03 persen. Artinya, masih banyak warga Indonesia yang belum memahami cara kerja dan risiko dari layanan jasa keuangan.
OJK bersama industri, lanjut Imansyah, terus melakukan edukasi dan sosialisasi tentang layanan jasa keuangan, baik melalui seminar maupun kanal-kanal media sosial. Tak hanya melakukan edukasi, OJK juga bekerja sama dengan pelaku industri membahas pembuatan regulasi yang tak hanya memperkuat pertumbuhan industri, tetapi juga bisa memberikan perlindungan konsumen.
Pemulihan ekonomi
Terlepas dari risiko tersebut, kehadiran inovasi keuangan digital mampu menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Deputi Gubernur Bank Indonesia Doni P Joewono menjelaskan, adanya inovasi keuangan digital menjadi kabar gembira bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) karena semakin banyak alternatif pendanaan bagi mereka. UMKM yang sebelumnya tak bisa mengakses layanan digital kini bisa mendapatkannya. Aktivitas ekonomi pun bisa kembali menggeliat.
”UMKM adalah tulang punggung perekonomian Indonesia. Saat mereka kembali menggeliat, maka pemulihan dan pertumbuhan ekonomi juga terjadi,” ucap Joewono.
Co-chairs Global Partnership Financial Inclusion (GPFI) Madga Bianco menambahkan, digitalisasi jasa keuangan membuka peluang kalangan rentan untuk kembali meningkatkan perekonomiannya. Inovasi itu memang dimaksudkan untuk mempermudah aktivitas ekonomi.
”Inovasi ini bagus sekali. Semua orang harus mengoptimalkannya. Maka, literasi keuangan ini menjadi sangat penting,” kata Magda.