Nilai Tukar Petani Naik, tetapi Pembenahan Masih Diperlukan
Badan Pusat Statistik mencatat nilai tukar petani pada Januari 2022 mencapai 108,67 atau naik 0,30 persen dibandingkan dengan Desember 2021. Kenaikan harga beberapa komoditas pangan menopang kenaikan tersebut.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nilai tukar petani atau NTP pada Januari 2022 meningkat 0,30 persen secara bulanan, yang antara lain dipengaruhi oleh kenaikan harga sejumlah komoditas pada indeks harga yang diterima petani. Namun, pembenahan tata kelola di setiap subsektor, dengan basis data yang kuat, masih perlu dilakukan.
Badan Pusat Statistik (BPS) dalam konferensi pers yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu (2/2/2022), menyampaikan data tersebut. NTP Januari 2022 tercatat 108,67 atau naik 0,30 persen dibandingkan dengan Desember 2021. Komponen pembentuknya ialah indeks harga yang diterima petani 118,19 dan indeks harga yang dibayarkan petani 109,67.
NTP merupakan salah satu indikator yang biasa digunakan untuk melihat kesejahteraan petani. Apabila NTP lebih dari 100, berarti indeks harga yang diterima petani lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang dibayarkan oleh petani. Indikator ini sering digunakan untuk melihat kesejahteraan petani.
Peningkatan NTP pada Januari 2022 ditopang oleh kenaikan secara bulanan pada sebagian besar subsektor. Hanya hortikultura yang menurun dan perikanan yang stagnan. Kenaikan tertinggi terjadi pada subsektor tanaman pangan yang naik 0,98 persen menjadi 100,86, lalu disusul peternakan dengan kenaikan 0,43 persen dan tanaman perkebunan rakyat 0,27 persen.
”Peningkatan NTP terjadi karena ada beberapa komoditas yang harganya cukup meningkat pada indeks harga yang diterima petani, yakni gabah, kelapa sawit, ayam ras pedaging, dan kopi. Sementara (peningkatan harga) komoditas penyumbang pada indeks harga bayar petani, yakni daging ayam ras, beras, minyak goreng, dan rokok kretek filter,” kata Kepala BPS Margo Yuwono.
Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian Kuntoro Boga Andri menyatakan, pada awal 2022, petani dapat menikmati harga gabah yang dibeli pasar dengan harga tinggi. Kenaikan NTP menunjukkan bahwa petani dapat menikmati keuntungan dari hasil produksi mereka.
Kendati harga beras meningkat, kenaikan baik di tingkat grosir dan eceran dinilai masih terkendali. ”Tren ini perlu terus dijaga. Kita harus terus upayakan selisih harga antara gabah di tingkat petani dan beras yang dibeli di konsumen tidak terlampau jauh agar tidak terjadi disparitas harga,” kata Kuntoro dalam keterangannya, Rabu.
Ia menambahkan, Kementerian Pertanian akan terus berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan dan Perum Bulog. Keduanya memiliki wewenang di bagian hilir.
Secara terpisah, Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Ali Usman menyatakan, dalam NTP, salah satu leverage factor-nya ialah subsidi. Apabila subsidi tepat sasaran, maka akan menambah modal bagi petani. Namun, saat ini pengelolaan bantuan subsidi, seperti pupuk misalnya, tata kelolanya masih bermasalah.
”Maka dari itu, tata kelola subsidi ini, baik pupuk maupun alat mesin pertanian, perlu dibangun ulang dengan data yang akurat. Semakin besar subsidi, maka semakin besar NTP. Pemerintah dalam hal ini harus menjaga keseimbangan produksi dan konsumsi. Keseimbangan harus terjaga,” kata Ali.
Selama ini, kata Ali, NTP kerap dijadikan alat ukur kesejahteraan petani oleh pemerintah. Namun, kenyataan di lapangan, keuntungan yang didapat petani masih sangat kecil. Begitu juga pada peternak unggas petelur. Keberpihakan pada peternak rakyat mesti diberikan, bukan pada pemain-pemain besar.