Pekerjaan Rumah Menumpuk, Forum G-20 Jangan Sebatas Seremoni
Kelompok kerja Labour 20 (L-20) sebagai bagian dari presidensi G-20 diharapkan menghasilkan perbaikan regulasi dan kebijakan konkret untuk menyikapi benang kusut problem ketenagakerjaan di dalam negeri.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Co-Chair Labour 20 (L-20) Rekson Silanan (kedua dari kanan) menyampaikan pemaparan dalam diskusi panel yang mengangkat tema isu prioritas B-20 dan Labour 20 (L-20) untuk G-20 dalam pertemuan perdana L-20 di Jakarta, Senin (31/1/2022).
JAKARTA, KOMPAS – Di balik kepercayaan dunia kepada Indonesia selaku tuan rumah G-20 tahun ini, ada tumpukan pekerjaan rumah di dalam negeri terkait dengan kesejahteraan dan perlindungan pekerja yang perlu dihadapi. Selain membahas persoalan global, forum Labour 20 atau L-20 diharapkan mampu mendorong perbaikan regulasi dan kebijakan yang konkret untuk mengatasi benang kusut ketenagakerjaan yang sudah menahun.
Pertemuan perdana forum L-20 diadakan di Jakarta, Senin (31/1/2022), dengan mengangkat tiga isu prioritas, yaitu memperluas perlindungan ketenagakerjaan kepada pekerja platform digital, menciptakan pekerjaan layak dan cakupan jaminan sosial universal, serta mendorong perubahan iklim dan transisi yang adil bagi pekerja. Ketiga isu itu sejalan dengan tema besar yang diangkat Indonesia selaku presidensi G-20 tahun 2022.
Forum L-20 sebagai ajang dialog antara perwakilan serikat buruh dari negara-negara anggota G-20 akan melakukan serangkaian pertemuan lanjutan sebelum memberikan rekomendasi terakhir untuk dibahas di forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20 di Bali, November 2022.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar, Selasa (1/2/2022), mengatakan, kesempatan presidensi G-20 tahun ini jangan sampai berakhir menjadi seremoni tanpa makna yang tidak berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Forum L-20 dan presidensi G-20 harus mampu menghasilkan pembenahan regulasi dan kebijakan di bidang ketenagakerjaan yang konkret.
Apalagi, di tengah rumitnya persoalan ketenagakerjaan di dalam negeri akibat dampak disrupsi ganda pandemi Covid-19 dan digitalisasi serta implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Juru kamera mengambil gambar dalam diskusi panel pertemuan perdana Labour 20 (L-20) untuk G-20 di Jakarta, Senin (31/1/2022).
”Kita selama ini sering terjebak dengan seremoni tanpa tindak lanjut yang bermakna. Padahal, kita masih punya banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Presidensi G-20 ini seharusnya bisa jadi kesempatan untuk mendorong perbaikan nyata dari hulu ke hilir di sektor ketenagakerjaan,” ujar Timboel saat dihubungi di Jakarta.
Presidensi G-20 seharusnya bisa jadi kesempatan untuk mendorong perbaikan nyata dari hulu ke hilir di sektor ketenagakerjaan.
Menurut dia, perbaikan pasca-G-20 idealnya dilakukan secara komprehensif, mencakup pembenahan sistem pelatihan dan vokasi untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing pekerja, perbaikan perlindungan dan jaminan sosial sejak dari bekerja sampai berhenti bekerja, serta peningkatan pengawasan ketenagakerjaan untuk mendorong hubungan industrial yang lebih kondusif.
”Ini masalah klasik yang sampai sekarang belum bisa kita selesaikan. Sudah banyak forum pertemuan internasional yang diadakan untuk membahas isu-isu ini, tetapi belum ada dampak signifikan,” katanya.
Badan Pusat Statistik mencatat, per Februari 2021, terdapat 21,32 juta orang atau 10,32 persen dari total penduduk usia kerja di Indonesia yang terdampak Covid-19. Jumlah penduduk yang menganggur mencapai 9,1 juta orang atau 6,49 persen. Kendati menurun dibandingkan dengan Agustus 2020, jumlah itu masih di atas level prapandemi.
Angkatan kerja Indonesia yang terserap di sektor informal yang minim kepastian dan perlindungan kerja juga tercatat lebih banyak dibandingkan dengan sektor formal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, provinsi dengan angka pengangguran rendah justru mencatat persentase penduduk miskin tertinggi secara nasional lantaran lebih banyak masyarakat yang bekerja sebagai pekerja informal dan tidak mendapat kerja layak.
AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
Kondisi ketenagakerjaan pada Agustus 2021
Selain dampak pandemi, sistem pengupahan baru yang berlaku pasca-penetapan UU Cipta Kerja juga berpengaruh pada kesejahteraan pekerja. Tahun ini rata-rata kenaikan upah minimum hanya 1,09 persen, tercatat di bawah angka inflasi tahunan per Desember 2021 yang sebesar 1,87 persen. Sistem pengupahan baru ini berlaku ketika daya beli masyarakat sedang menurun akibat terdampak Covid-19.
Timboel mengatakan, presidensi G-20 tidak bisa dipisahkan dari momentum untuk membenahi regulasi yang sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan pekerja itu. ”Jangan kita membahas perlindungan dan kesejahteraan buruh, tetapi tanpa ada perbaikan regulasi. G-20 justru menjadi momen untuk berkaca dan mengajak kembali semua elemen untuk membicarakan apa yang bisa diperbaiki di UU Cipta Kerja,” ujarnya.
Lebih lanjut forum G-20 juga harus mendorong terbentuknya regulasi yang mengatur perlindungan bagi pekerja platform digital berstatus mitra yang kini menjamur. Selain itu, kepastian implementasi Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2021 yang mendorong Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek) universal. Saat ini masih banyak pekerja yang belum terlindungi dalam program Jamsostek. Mayoritas pekerja yang belum terlindungi adalah yang berstatus pekerja informal dan pekerja kontrak.
”Pemulihan sektor ketenagakerjaan tidak bisa dilakukan secara sektoral. Problem klasik dan mendasar harus diatasi sebelum menjawab tantangan baru dinamika pasar kerja global,” ujarnya.
Rekomendasi
Dihubungi secara terpisah, Direktur Indonesia Labor Institute Rekson Silaban selaku Co-Chair Forum L-20 mengatakan, tiga isu besar terkait dengan pekerja digital, jaminan sosial universal, dan transisi perubahan iklim dipilih karena hal itu menjadi isu yang kini sedang dihadapi banyak negara anggota G-20, termasuk Indonesia.
Kompas/Priyombodo
Pekerja proyek properti berjalan menuju tempat kerja mereka di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Selasa (8/12/2020). Kondisi ketenagakerjaan di Indonesia terdisrupsi akibat pandemi Covid-19.
Menurut dia, Indonesia akan lebih kuat menjalankan peran sebagai tuan rumah jika bisa membereskan berbagai pekerjaan rumah yang selama puluhan tahun ini terus mengganggu hubungan industrial. ”Kita tidak bisa hanya mengedepankan isu domestik dalam G-20, meski itu juga harus menjadi bagian yang dibenahi, apalagi dengan posisi kita sebagai tuan rumah,” ujarnya.
Ia mengatakan, forum L-20 akan melakukan berbagai diskusi dengan serikat buruh dari berbagai anggota G-20, serta komunitas pengusaha yang tergabung di B-20, untuk mendorong rekomendasi di KTT G-20, November. Terkait isu pekerja platform digital, misalnya, akan ada rekomendasi nyata berupa penyusunan regulasi yang dapat memberikan kepastian kerja dan perlindungan bagi para pekerja yang berstatus mitra.
”Ada beberapa model regulasi yang bisa kita tiru dari pengalaman negara lain. Di India, misalnya, para pekerja platform digital dilindungi lewat UU Jaminan Sosial. Di Korea Selatan dibuatkan UU khusus untuk mereka. Di Eropa, pendekatannya berbeda lagi. Model mana yang nanti dipilih, tergantung pada pemerintah. Yang penting harus ada regulasi, tidak bisa terus-terusan kosong seperti ini,” kata Rekson.
Sementara itu, saat membuka acara Kick-Off Meeting L-20 di Jakarta, Senin, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, presidensi G-20 menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk melakukan transformasi ketenagakerjaan menuju era digital.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Logo Labour 20 (L-20) ditayangkan pada layar dalam pertemuan perdana L-20 untuk G-20 di Jakarta, Senin (31/1/2022).
”Sangat diharapkan L-20 bisa membuat semacam rekomendasi, contoh soal, proyek pilot agar bisa mendorong keberhasilan transformasi ini dari segi reskilling dan retraining pekerja, serta ditambah juga dari segi kesejahteraan,” kata Airlangga.
Menurut dia, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah program dan kebijakan untuk mendorong transformasi ketenagakerjaan. Ia mencontohkan program bantuan subsidi upah (BSU) dan Kartu Prakerja yang ditujukan sebagai bantalan sosial sekaligus platform peningkatan kapasitas pekerja. Kedua program itu juga telah dilakukan secara digital dari hulu ke hilir.
”Yang kita harapkan tentunya adalah bisa menuntaskan kemiskinan dan pengangguran. Pertemuan L-20 ini juga perlu memberi hasil nyata bagi negara berkembang dan negara tertinggal lainnya, serta memperjuangkan manfaat bagi kelompok pekerja rentan seperti perempuan dan penyandang disabilitas,” katanya.