Pemulihan Ekonomi Tidak Merata, Dunia Usaha Mainkan Peran Penting
Forum pertemuan bisnis B-20 diharapkan menghasilkan rekomendasi kebijakan publik untuk mendukung pemulihan dunia usaha serta aksi nyata dari pelaku usaha itu sendiri untuk mengatasi kesenjangan dan ancaman krisis iklim.
Oleh
agnes theodora
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi global tahun ini diprediksi melambat di tengah sejumlah ketidakpastian. Laju pemulihan yang lebih lambat bakal dialami negara berkembang. Di tengah tantangan situasi itu, sektor swasta dan dunia usaha memegang peran penting untuk mencapai pemulihan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan dari dampak pandemi Covid-19.
Berdasarkan Laporan Global Economic Prospects yang dirilis Bank Dunia pada Januari 2022, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat dari 5,5 persen pada 2021 menjadi 4,1 persen pada 2022 dan 3,2 persen pada 2023. Perlambatan perekonomian itu diprediksi terjadi akibat kenaikan inflasi, ketidakpastian varian baru Covid-19, serta pengurangan berbagai paket stimulus fiskal dan moneter.
Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia Mari Elka Pangestu di pertemuan B-20 Indonesia Inception Meeting mengatakan, tren pemulihan ekonomi antarnegara tidak akan setara. Kendati akan melambat ke level 3,8 persen pada 2022 dan 2,3 persen pada 2023, itu sudah cukup untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi dan laju investasi negara maju ke kondisi prapandemi.
Dengan kondisi itu, sembilan dari sepuluh negara maju pun diperkirakan sudah bisa kembali ke tingkat pertumbuhan ekonomi prapandemi pada 2022. Sementara itu, kondisi sebaliknya akan dirasakan negara berkembang, yang harus menggenjot pertumbuhan ekonomi di level 4,6 persen pada 2022 dan 4,4 persen pada 2023.
Dengan laju pertumbuhan itu pun, hanya empat dari 10 negara berkembang yang diperkirakan bisa kembali ke level prapandemi pada 2022. ”Yang saat ini kita rasakan adalah pemulihan yang tidak setara. Melambatnya pertumbuhan ekonomi ini akan berujung pada ketimpangan yang semakin tinggi, baik antara negara maju-berkembang maupun di setiap negara,” kata Mari, Kamis (27/1/2022).
Di depan para pemimpin bisnis negara anggota G-20 dalam forum B-20, Mari menegaskan pentingnya peran sektor swasta di negara berkembang untuk mencapai pemulihan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Forum pertemuan bisnis itu pun diharapkan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang perlu ditindaklanjuti pemerintah tiap negara untuk mendukung dunia usaha, serta aksi nyata dari pelaku usaha untuk mengatasi kesenjangan dan ancaman krisis iklim.
“Tidak ada pemulihan ekonomi global tanpa pemulihan ekonomi negara berkembang, dan tidak ada pemulihan tanpa peran sektor swasta. Ini menjadi isu penting yang harus disoroti, terutama mengingat ketua presidensi G20 tahun ini adalah negara berkembang itu sendiri,” ujarnya.
Tidak ada pemulihan ekonomi global tanpa pemulihan ekonomi negara berkembang, dan tidak ada pemulihan tanpa peran sektor swasta.
Dukungan
Mari menambahkan, dukungan bagi sektor swasta dibutuhkan, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang umumnya menjadi tulang punggung perekonomian di negara berkembang dan menyerap lebih banyak tenaga kerja dibandingkan perusahaan besar. Bantuan pendanaan, akses pasar, serta dukungan melakukan transformasi digital merupakan poin penting yang dibutuhkan pelaku UMKM di tiap negara berkembang.
Di sisi lain, dukungan bagi usaha besar juga dibutuhkan dalam bentuk kepastian iklim berusaha dan penanganan pandemi. Pasalnya, pemulihan sejumlah sektor usaha saat ini tidak serta-merta mengembalikan tingkat penyerapan tenaga kerja. Ada kecenderungan pekerjaan yang hilang selama pandemi tidak akan kembali meski tren produksi dan penjualan sudah mendekati level prapandemi.
”Ini disebabkan oleh ketidakpastian yang tinggi. Karena itu, menjamin kepastian bagi dunia usaha menjadi kunci utama untuk mendorong pemulihan ekonomi dan memulihkan sektor tenaga kerja yang masih terdisrupsi,” kata Mari.
Dalam kesempatan yang sama, Utusan PBB Bidang Iklim dan Keuangan Mark Carney mengingatkan, pemerintah memang tidak bisa menjalankan komitmen untuk mengatasi krisis iklim sendirian. Dibutuhkan peran aktif sektor swasta melalui investasi hijau dan berkelanjutan jika ingin mencapai target penurunan emisi karbon.
Namun, kontribusi sektor swasta itu juga perlu ditopang dengan kebijakan pemerintah yang jelas dan selaras dengan komitmen mengatasi krisis iklim. Selain itu, diperlukan juga dukungan pembiayaan hijau dan pendampingan alih teknologi yang konkret dari komunitas global untuk mendorong transisi energi di negara berkembang.
”Semakin jelas kebijakannya, semakin banyak juga pelaku usaha yang mau menanamkan modalnya, mendorong investasi hijau dan dekarbonisasi yang lebih cepat serta pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang merata di negara maju dan berkembang,” kata Mark.
Semakin jelas kebijakannya, semakin banyak juga pelaku usaha yang mau menanamkan modal, mendorong investasi hijau dan dekarbonisasi yang lebih cepat, serta pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang merata di negara maju dan berkembang.
Rekomendasi dan investasi
Sementara itu, Jumat (28/1/2022) malam ini, forum B20 melanjutkan pertemuan gugus tugas yang dibagi ke dalam enam topik besar. Antara lain, gugus tugas energi terbarukan dan perubahan iklim, gugus tugas digitalisasi, gugus tugas masa depan kerja dan pendidikan, gugus tugas keuangan dan infrastruktur, gugus tugas pebisnis perempuan, dan gugus tugas perdagangan dan investasi. Setiap gugus tugas melibatkan perwakilan pemimpin bisnis dari negara maju dan berkembang.
Ketua Penyelenggara Forum B20 Shinta W Kamdani mengatakan, pertemuan gugus tugas itu akan membahas tawaran rekomendasi kebijakan dan program konkret yang selanjutnya akan dibahas di level Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, November 2022.
”Gugus tugas ini tidak hanya membahas isu yang terkait dengan kepentingan Indonesia sebagai tuan rumah, tetapi isu yang menjadi perhatian global. Namun, pertemuan ini memang jadi ajang kesempatan kita untuk membahas peluang investasi dan kolaborasi, termasuk terkait pengembangan ibu kota baru,” ujar Shinta.
Direktur Pelaksana PT Jababeka Infrastruktur Agung Wicaksono yang memimpin gugus tugas energi terbarukan dan perubahan iklim mengatakan, ada tiga poin krusial yang akan dituangkan dalam bentuk rekomendasi kebijakan, rencana bisnis, dan peluang investasi.
Pertama, langkah percepatan transisi energi berkelanjutan melalui kebijakan publik yang kondusif. Kedua, strategi menjalankan transisi energi yang bertahap, aman, dan adil, khususnya bagi negara berkembang. Menurutnya, langkah mitigasi diperlukan agar transisi itu tidak memantik terjadinya krisis yang pada akhirnya menyulitkan pelaku usaha dan masyarakat.“Ketiga, kerja sama global untuk mendorong keamanan energi dan mengantisipasi krisis energi, selagi kita mengakselerasi transisi menuju penggunaan energi terbarukan,” ujarnya.