Restrukturisasi Kredit Menurun, Bank Tetap Perkuat Pencadangan
Restrukturisasi kredit bank terus menurun. Namun, perbankan harus tetap waspada dengan terus meningkatkan pencadangan untuk menghindari tergerusnya modal akibat kredit macet.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seiring membaiknya kondisi perekonomian, nilai kredit yang direstrukturisasi terus menurun. Ini menandakan kinerja debitor kian pulih sehingga beberapa bisa kembali membayar kewajibannya secara normal. Kendati demikian, perbankan diharapkan terus memperkuat pencadangannya untuk mengantisipasi munculnya kredit bermasalah.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), nilai restrukturisasi kredit bank hingga akhir Desember 2021 sebesar Rp 663,49 triliun. Jumlah tersebut menurun 20,03 persen dibandingkan saat jumlah restrukturisasi mencapai puncaknya, yakni Rp 829,71 triliun pada Desember 2020.
Jumlah debitor restrukturisasi kredit bank juga menurun. Sampai akhir Desember 2021, jumlah debitor restrukturisasi kredit bank sebanyak 4,04 juta debitor, turun 2,21 juta debitor dari Desember 2020 yang mencapai 6,25 juta debitor.
Nilai restrukturisasi kredit bank saat ini masih didominasi oleh kredit Non UMKM yakni sebesar Rp 406,76 triliun atau setara dengan 61,30 persen. Adapun restrukturisasi kredit UMKM sebesar Rp 256,73 triliun atau 38,7 persen dari total kredit restrukturisasi.
Namun, jumlah debitor restrukturisasi kredit UMKM lebih besar, yakni 3,11 juta debitor atau 76,98 persen dari total debitor restrukturisasi. Adapun 0,93 juta atau 23,01 persen debitor sisanya adalah debitor restrukturisasi kredit non UMKM.
Kondisi perbankan
Penurunan nilai restrukturisasi kredit utamanya didorong oleh bank-bank besar. Pada Bank Mandiri misalnya, nilai restrukturisasi kredit per akhir Desember 2021 sebesar Rp 69,7 triliun, menurun 25,29 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Adapun komposisi restrukturisasi kredit bank dengan aset terbesar kedua di Indonesia ini terdiri dari restrukturisasi kredit non-UMKM sebesar 64,42 persen dan restrukturisasi kredit UMKM sebesar 35,58 persen.
Dihubungi Jumat (28/1/2022), Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin menjelaskan, penurunan jumlah restrukturisasi dikarenakan kondisi perekonomian mulai membaik sehingga beberapa debitor sudah bisa membayar kewajibannya.
Ia menjelaskan, sektor terbesar restrukturisasi kredit di Bank Mandiri antara lain kredit pemilikan rumah (KPR) sebesar Rp 7,5 triliun; hotel, akomodasi, restoran sebesar Rp 6,8 triliun; energi dan air sebesar Rp 6,1 triliun; konsumsi sebesar Rp 5 triliun, dan properti-investasi sebesar Rp 4,7 triliun.
Menurut Ahmad Siddik, pihaknya mengelola risiko dengan hati-hati sehingga mampu menjaga rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) pada level 2,81 persen dan rasio kredit berisiko (loan at risk/LAR) pada level 17,8 persen.
”Kami memupuk CKPN (cadangan kerugian penurunan nilai) sebesar Rp 13,9 triliun,” ujar Siddik.
Bank swasta terbesar, BCA, juga mencatat penurunan restrukturisasi kredit. Sampai dengan Desember 2021, jumlah restrukturisasi kredit BCA mencapai Rp 64,9 triliun, menurun 26,25 persen secara tahunan. Dilihat dari segmennya, restrukturisasi kredit BCA terdiri dari 33,2 persen kredit korporasi, 30,5 persen kredit komersial, 25 persen kredit konsumsi, dan 11,3 persen kredit UMKM.
Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja menjelaskan, relaksasi restrukturisasi kredit membantu menjaga kualitas pinjaman. Rasio LAR pada 2021 turun menjadi 14,6 persen dari 2020 yang sebesar 18,8 persen. Begitu juga dengan NPL terjaga pada 2,2 persen.
Dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Kamis (27/1/2022), Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, meskipun jumlah restrukturisasi terus menurun, perbankan harus tetap waspada dan tetap menjalankan praktik kehati-hatian serta manajemen risiko.
Ia mengingatkan, jangan sampai setelah kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit ini berakhir pada Maret 2023, perbankan mengalami cliff effect atau pemburukan risiko saat kebijakan relaksasi berakhir.
”Kami mengingatkan perbankan untuk terus melihat dengan saksama kualitas kredit dan debitornya. Ini untuk menjaga kinerja tetap pada jalurnya,” ujar Wimboh.
Menambah pencadangan
Untuk mengantisipasi hal itu, Wimboh meminta perbankan mempertebal ketahanan dengan menambah permodalan, likuiditas, dan CKPN. ”Kami akan terus upayakan agar perbankan semakin memperbesar porsi CKPN. Restrukturisasi kredit ini akan menjadi pekerjaan rumah kami agar tidak menimbulkan masalah saat aturan dinormalkan,” tutur Wimboh.
Sampai dengan Desember 2021, CKPN perbankan mencapai Rp 106,2 triliun atau setara dengan 16 persen total restrukturisasi kredit bank. Jumlah ini terus meningkat sejak Mei 2020 atau saat awal perbankan mulai menambah CKPN yang saat itu baru Rp 20 triliun.
Kebijakan restrukturisasi kredit bank merupakan relaksasi yang diputuskan OJK merespons tekanan ekonomi yang dipicu pandemi Covid-19. Sesuai dengan Peraturan OJK Nomor 17 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas POJK No 11/2021 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019, diumumkan perpanjangan masa restrukturisasi hingga Maret 2023 setelah sebelumnya Maret 2022.
Dihubungi terpisah, Jumat, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menjelaskan, sangat penting sekali perbankan untuk menambah pencadangan modal. Ketika debitor gagal bayar, hal itu akan mengganggu kesehatan bank. Di sanalah fungsi pencadangan modal untuk tetap menjaga kesehatan bank.
”Ketika debitor gagal bayar, itu berpotensi menggerus permodalan bank dan mengganggu kinerja serta kesehatan bank,” ujar Piter.
Selain itu, Piter mengingatkan, perbankan harus terus memantau kualitas kredit dari debitor yang berada dalam program restrukturisasi. ”Bank harus benar-benar yakin bahwa kredit yang direstrukturisasi ini punya peluang kembali sehat. Jadi, ketika melewati periode Maret 2023, kinerja debitor itu sudah kembali pulih,” kata Piter.