Selama pandemi, tantangan muncul, antara lain, akibat adanya pembatasan pergerakan barang dan jasa, baik tingkat lokal, regional, maupun global. Jalur logistik dan sistem distribusi pangan pun terdampak sangat serius.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelenggaraan forum G-20 di bawah presidensi Indonesia bakal mengangkat sejumlah isu yang menjadi perhatian dunia, termasuk ketahanan pangan dan gizi. Lewat kelompok kerja bidang pertanian G-20 diharapkan ada komitmen bersama dalam mengatasi problem kelaparan dan kemiskinan.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo dalam Kick-off Agriculture Working Group (AWG) G-20 yang digelar virtual, Kamis (27/1/2022), mengatakan, ketahanan pangan harus tetap menjadi isu sentral dalam rangkaian G-20. Apalagi, pandemi Covid-19 telah menambah tantangan terkait isu tersebut.
Tantangan itu muncul, antara lain, akibat pembatasan pergerakan barang dan jasa, baik tingkat lokal, regional, maupun global. ”Jalur logistik dan sistem distribusi pangan terdampak sangat serius. Sementara beberapa negara menerapkan kebijakan proteksi stok nasional yang berdampak pada ketidakseimbangan sistem pangan global,” katanya.
Syahrul menambahkan, situasi ini makin kompleks sehubungan dengan perubahan iklim serta degradasi sumber daya alam. Solusi atas permasalahan itu perlu dicari bersama pada G-20. Bagaimanapun, menurut dia, sektor pertanian dan penyediaan gizi memiliki peran penting demi terbangunnya ekonomi inklusif dan berkelanjutan.
”Negara-negara G-20 harus bersinergi dalam memastikan ketahanan pangan dan gizi bagi kita semua. Itu, antara lain, melalui keseimbangan jaminan produksi pangan dan pertanian nasional, serta jaminan keandalannya,” ujar Syahrul.
Adapun rangkaian kelompok kerja bidang pertanian pada G-20 di bawah presidensi Indonesia akan bermuara pada September 2022, yakni pertemuan tingkat menteri pertanian. Tiga isu prioritas dalam pertemuan itu ialah membangun sistem pangan tangguh dan berkelanjutan, mempromosikan perdagangan pangan terbuka, adil, dan transparan, serta mendorong bisnis pertanian inovatif dengan pertanian digital.
Selama pandemi Covid-19, sektor pertanian di Indonesia relatif terjaga, antara lain terlihat dari kontribusi sektor itu pada pertumbuhan ekonomi nasional. Pada triwulan I-2021, misalnya, sektor pertanian tumbuh 2,95 persen secara tahunan. Begitu juga pada triwulan III-2021, tumbuh 1,31 persen secara tahunan.
Chief Economist of the Food and Agriculture Organization (Organisasi Pangan dan Pertanian/FAO) Maximo Torero menyatakan, pihaknya siap membantu dengan dukungan-dukungan teknis dalam G-20. Menurut dia, ketangguhan negara-negara penting di tengah adaptasi dan transformasi yang ada.
Indonesia sudah menunjukkan upaya-upaya preventif tersebut. ”Dengan adanya pendekatan one health (satu kesehatan), kita bisa meningkatkan kapasitas dengan menjaga ketangguhan,” ujar Torero.
Ia menambahkan, pertanian pintar (smart agriculture) dapat dilaksanakan untuk meningkatkan pendapatan petani. Lewat G-20, atmosfer dapat dibangun dengan semangat bersama untuk mewujudkan hal itu. Demikian juga dengan memperhatikan pentingnya distribusi pangan dari tempat yang surplus ke tempat yang membutuhkan.
Menteri Pertanian Italia Stefano Patuanelli mengatakan, negara-negara di dunia sedang menghadapi tantangan global yang berdampak langsung pada kehidupan dan kesejahteraan masyarakat di seluruh dunia. Oleh karena itu, upaya bersama dan tanggung jawab dari komunitas internasional sangat diperlukan.
Dalam dunia yang makin saling terhubung, multilateralisme dinilai menjadi kunci untuk mengatasi tantangan. ”G-20 pun selalu berkomitmen untuk mencari solusi bersama yang efektif dan adil. Itu sebagai pijakan dalam meraih masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan,” kata Patuanelli.
Ketua Tani Center IPB University Hermanu Triwidodo mengemukakan, kelompok kerja bidang pertanian G-20 menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menampilkan keunggulannya serta berbagi pengetahuan ke dunia internasional. Pihaknya, antara lain, akan berkontribusi untuk layanan konsultasi pertanian.