Kebijakan hilirisasi pertambangan berdampak pada capaian realisasi investasi tahun 2021 yang berhasil melampaui target. Namun, investasi bukan sekadar nilai. Dampaknya pada penciptaan lapangan kerja dinantikan.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Realisasi investasi sepanjang tahun 2021 yang berhasil melampaui target banyak ditopang oleh kebijakan hilirisasi mineral dan batu bara yang saat ini tengah digenjot pemerintah. Kendati demikian, dampak dari investasi hilirisasi pada penciptaan lapangan kerja belum setimpal dengan besarnya nilai investasi yang dibukukan.
Data Kementerian Investasi menunjukkan, sepanjang Januari-Desember 2021, investasi yang berhasil direalisasikan tercatat Rp 901,02 triliun. Capaian itu lebih tinggi dari target awal yang dipatok di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024 senilai Rp 858,5 triliun, serta target yang diminta Presiden Joko Widodo Rp 900 triliun.
Realisasi investasi paling banyak terdapat di industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya senilai Rp 117,5 triliun (13 persen dari total investasi); perumahan, kawasan industri dan perkantoran Rp 117,4 triliun (13 persen); transportasi, gudang, dan telekomunikasi Rp 107,4 triliun (11,9 persen), listrik, gas, dan air Rp 81,6 triliun (9,1 persen); serta pertambangan Rp 81,2 triliun (9 persen).
Sebagian besar investasi yang masuk merupakan penanaman modal asing (PMA) senilai Rp 454 triliun (50,4 persen dari total investasi) yang naik 10 persen dari tahun lalu. Capaian itu nyaris berimbang dengan penanaman modal dalam negeri (PMDN) senilai Rp 447 triliun (49,6 persen) yang juga naik sebesar 8,1 persen dari tahun lalu.
Menurut Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, capaian investasi tahun 2021 menunjukkan bahwa tujuan investasi prioritas mulai bergeser dari sektor tersier (jasa) ke sektor sekunder (industri manufaktur). Hal itu tampak dari meningkatnya nilai investasi sekunder dan menurunnya investasi tersier. Ia menilai hal itu sebagai dampak dari kebijakan pemerintah menggenjot program hilirisasi pertambangan mineral dan batu bara (minerba) dalam setahun terakhir ini.
“Artinya, tren investasi kita telah mengarah kepada pembangunan industri dan hilirisasi untuk menciptakan nilai tambah dan mengantisipasi deindustrialisasi agar tidak terjadi,” kata Bahlil dalam telekonferensi pers tentang kinerja investasi triwulan IV-2021, Kamis (27/1/2022).
Komposisi investasi di sektor sekunder memang mulai menunjukkan tanda-tanda kenaikan lagi setelah sempat menurun sejak tahun 2016. Pada tahun 2021, investasi sektor sekunder mencapai Rp 325,4 triliun atau 36,1 persen dari total realisasi investasi. Angka itu meningkat dibandingkan investasi sekunder pada tahun 2020 senilai Rp 272,9 triliun, tahun 2019 senilai Rp 216 triliun, dan tahun 2018 senilai Rp 222,3 triliun.
Sementara itu, meski investasi tersier masih mendominasi dengan nilai Rp 442,4 triliun atau 49,1 persen dari total investasi, trennya mulai menurun dibandingkan tahun 2020 yang mencatat nilai investasi Rp 465,3 triliun.
Bahlil mengatakan, tahun 2022, dengan target investasi yang naik 33 persen menjadi Rp 1.200 triliun, pemerintah akan kembali memprioritaskan investasi di sektor sekunder, khususnya hilirisasi minerba. Beberapa proyek yang akan direalisasikan tahun ini adalah hilirisasi batubara menjadi dimetil eter (DME) di Sumatera Selatan, hilirisasi metanol dan investasi baterai listrik di Jawa Tengah, industri aluminium di Kalimantan Utara, dan smelter tembaga Freeport di Gresik, Jawa Timur.
“Ini yang paling penting karena bisa menciptakan lapangan kerja banyak dan memberi nilai tambah. Saat ini kami sedang memetakan rencana dan sektor-sektor usahanya,” kata dia.
Bukan hanya nilai
Sementara itu, peneliti Center of Trade, Industry, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menilai, kendati capaian nilai realisasi investasi tahun 2021 memuaskan karena melampaui target, dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja belum signifikan.
Data Kementerian Investasi menunjukkan, dengan kenaikan nilai realisasi investasi sebanyak Rp 74,9 triliun pada 2020 sampai 2021, tenaga kerja yang terserap hanya bertambah 51.532 orang dari 1.156.361 orang pada tahun 2020 menjadi 1.207.893 orang pada tahun 2021.
“Ini capaian bagus dan sentimen positif untuk mendorong iklim investasi tahun ini. Namun, investasi bukan hanya nilainya. Yang saat ini ditunggu adalah bagaimana investasi itu bisa menciptakan lapangan kerja, karena di masa pemulihan ekonomi ini, butuh banyak lapangan kerja untuk memperbaiki pendapatan masyarakat dan memulihkan ekonomi,” ujar Ahmad.
Di masa pemulihan ekonomi ini, butuh banyak lapangan kerja untuk memperbaiki pendapatan masyarakat dan memulihkan ekonomi.
Ahmad menilai, ada beberapa faktor yang membuat angka penyerapan tenaga kerja belum signifikan. Misalnya, pengembangan proyek investasi di sektor hilirisasi minerba yang membutuhkan waktu cukup panjang. “Ada jeda waktu yang cukup lama antara realisasi investasi dengan dampak riilnya, dimulai dari membangun pabrik, penanaman kapital, dan tenaga kerja baru masuk belakangan,” ucapnya.
Selain itu, beberapa sektor sifatnya memang tidak menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak secara langsung. Dampaknya baru akan terasa setelah terbangun ekosistem dari hulu ke hilir untuk membuka industri turunan yang bersifat lebih padat karya.
“Mata rantainya panjang. Oleh karena itu, tidak cukup investasi hanya ditarik sampai level antara/intermediate, seperti smelter saja, karena itu butuh kapital besar, tetapi belum tentu menyerap banyak tenaga kerja. Ekosistem harus dikembangkan sampai hilir agar dampak penyerapan tenaga kerjanya lebih signifikan,” katanya.