Pemerintah Diminta Membenahi Substansi Ketenagakerjaan di UU Cipta Kerja
Putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Undang-Undang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat harus disikapi lewat revisi yang substansial untuk membenahi pasal-pasal problematik yang menggerus hak dan perlindungan pekerja.
Oleh
agnes theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berencana menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dengan memprioritaskan pembenahan aspek formil regulasi tersebut. Komisi IX DPR mengingatkan pemerintah untuk melakukan revisi secara substansial, khususnya untuk membenahi sejumlah substansi ketenagakerjaan yang merugikan pekerja.
Demikian mengemuka dalam rapat kerja antara Komisi IX DPR dengan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dan jajaran pejabat Kementerian Ketenagakerjaan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (24/1/2022).
Dalam rapat yang disiarkan secara daring itu, Ida Fauziyah memaparkan rencana pemerintah dalam menindaklanjuti putusan MK, yang menyatakan UU tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. Menurut Ida, perbaikan aspek formil dari UU Cipta Kerja akan diprioritaskan dengan merevisi UU Nomor 12/2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan (PPP).
“Putusan MK ini lebih melihat pada cacat formil yang ada di UU Cipta Kerja, bahwa metode penyusunan secara omnibus law ini tidak baku dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Karena ini dianggap cacat formil, maka yang dilakukan tindak lanjutnya adalah merevisi UU PPP,” tutur Ida dalam paparannya.
Ia mengatakan, revisi UU PPP tersebut akan dilakukan di bawah koordinasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) dengan Badan Legislasi DPR. “Kami pada saatnya akan dilibatkan, tetapi karena ini lebih pada urusan Kemenkumham, maka yang akan mewakili pemerintah dalam perumusan revisi nanti adalah Kemenkumham,” tutur Ida.
Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Partai Demokrat Linda Megawati mengajak pemerintah untuk merevisi ulang aspek materi UU Cipta Kerja. Ia menggarisbawahi salah satu poin putusan MK yang menyatakan bahwa proses pembentukan UU tersebut minim partisipasi masyarakat dan perlu dilakukan pembenahan dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).
“Kalau berkomitmen mau menjalankan putusan itu, maka pelibatan partisipasi masyarakat merupakan hal mutlak. Bisa dipastikan, jika benar aspirasi publik akan didengar, berarti substansi dari UU ini harus ikut ditinjau ulang dengan lebih memperhatikan kepentingan masyarakat, terutama kalangan buruh,” kata Linda.
Jika aspirasi publik akan didengar, berarti substansi dari UU ini harus ikut ditinjau ulang dengan lebih memperhatikan kepentingan masyarakat.
Menurut Linda, ada kemungkinan, jika UU PPP sudah direvisi, UU Cipta Kerja tidak akan direvisi lagi. “Bisa jadi bukan UU Cipta Kerja yang direvisi, tetapi hanya UU PPP saja supaya UU Cipta Kerja tidak lagi inkonstitusional bersyarat. Ini sangat disayangkan, karena sebenarnya dengan putusan MK ini kita diberikan kesempatan untuk membangun lagi kepercayaan publik,” ujarnya.
Permintaan agar substansi UU Cipta Kerja ditinjau ulang juga disuarakan sejumlah anggota DPR lainnya. Mereka mengusulkan evaluasi ulang formula penetapan upah minimum dalam UU Cipta Kerja yang dinilai menghasilkan kebijakan pengupahan yang terlalu rendah. Khususnya, di tengah dampak pandemi yang belum usai dan potensi inflasi yang meningkat.
Wakil Ketua Komisi IX dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Ansory Siregar mengatakan, kenaikan upah minimum 2022 dengan persentase rata-rata nasional 1,09 persen terlalu rendah untuk mencukupi kebutuhan hidup pekerja dan keluarganya. Ia menilai kebijakan itu tidak berempati dengan kondisi buruh dan meminta Kemenaker untuk mengevaluasi ulang formula penetapan upah minimum baru tersebut.
Apalagi, laju kenaikan upah minimum tersebut berada di bawah inflasi tahunan per Desember 2021 yakni 1,87 persen. Ansory mengatakan, dengan upah di bawah inflasi itu, upah buruh akan tergerus.
“Kita ini tetap pro pada pengusaha, tetapi kita jangan juga menginjak buruh. Gaji buruh selama ini sudah sulit di tengah pandemi, belum lagi akan ada inflasi, belum lagi masih ada pemutusan hubungan kerja di mana-mana,” ujar Ansory.
Komisi IX DPR sempat mengusulkan dalam kesimpulan rapat kerja agar dilakukan evaluasi ulang formula penetapan upah minimum yang tercantum di Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan dan di UU Cipta Kerja. Namun, usulan itu ditolak pemerintah.
“Penetapan upah minimum ini ada dasarnya, yaitu UU dan PP. Kalau ada masyarakat yang keberatan, mekanismenya ada dua, yaitu melalui uji materi UU ke MK atau uji materi PP ke Mahkamah Agung,” ujar Ida.
Kalau ada masyarakat yang keberatan, mekanismenya ada dua, yaitu melalui uji materi UU ke Mahkamah Konstitusi atau uji materi PP ke Mahkamah Agung.
Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini, sudah terjadi penurunan upah riil buruh tani dan bangunan. Per Desember 2021, upah nominal buruh tani naik tipis secara bulanan sebesar 0,17 persen menjadi Rp 57.180 per hari, tetapi upah riilnya turun 0,65 persen. Demikian pula, upah nominal buruh bangunan naik tipis 0,01 persen menjadi Rp 91.335 per hari, tetapi upah riilnya menukik sebesar 0,56 persen.
Upah nominal adalah rata-rata besaran upah harian bersih yang diterima buruh sebagai balas jasa pekerjaan. Sementara upah riil menggambarkan daya beli buruh karena telah dibagi dengan indeks harga konsumen setempat.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar mengatakan, dengan kenaikan inflasi tahun ini yang diperkirakan ada di kisaran 3 persen, kenaikan upah minimum 2022 yang hanya di kisaran 1 persen akan menggerus daya beli pekerja.
"Dampaknya, kesejahteraan buruh menurun dan upaya pemulihan ekonomi tidak akan optimal karena konsumsi terhambat daya beli masyarakat yang tergerus inflasi dan upah rendah," ujarnya.