Hilirisasi batubara dengan skema gasifikasi dapat mengurangi beban impor elpiji yang selama ini membuat neraca perdagangan negara tidak sehat. Proyek yang dibangun di Sumsel diharapkan tuntas 30 bulan ke depan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Proyek hilirisasi batubara menjadi dimetil eter mulai dibangun di Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/1/2022). Proyek yang ditargetkan tuntas dalam 30 bulan ke depan ini, menurut Presiden Joko Widodo, diharapkan mampu menekan besarnya biaya impor liquefied petroleum gas (elpiji) yang selama ini membebani anggaran negara dan hanya menguntungkan negara lain. Di sisi lain, pembangunan ini kontradiktif dengan komitmen pemerintah untuk mulai beralih dari energi fosil ke energi baru terbarukan.
Hadir dalam peresmian tersebut Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru dan beberapa menteri Kabinet Indonesia Maju, seperti Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, Menteri Sekretaris Negara Pramono Anung, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif.
Gasifikasi batubara menjadi dimetil eter merupakan proses hilirisasi dari konsorsium antara Air Products & Chemicals Inc, PT Bukit Asam, dan Pertamina. Kerja sama gasifikasi batubara ini akan menghasilkan dimetil eter (DME) dengan kapasitas 1,4 juta metrik ton per tahun atau setara dengan 1 juta ton elpiji.
Sebenarnya, lanjut Presiden, perintah untuk melakukan hilirisasi batubara sudah dilontarkan sejak enam tahun lalu, tetapi baru terealisasi sekarang. Padahal, dirinya sudah berkali-kali menyampaikan hilirisasi, industrialisasi, dan pentingnya mengurangi impor.
Apakah kebiasaan impor ini mau kita teruskan? Yang untung negara lain. Mereka dapat lapangan pekerjaan. Padahal, kita punya bahan bakunya. (Joko Widodo)
Pada 2021, konsumsi elpiji mecapai 7,95 juta ton di mana 6,4 juta ton atau 80 persen di antaranya berasal dari impor yang setara dengan biaya Rp 77,8 triliun. Selama ini, ujar Presiden, ada pihak yang merasa sudah nyaman dengan aktivitas impor elpiji sehingga kebiasaan ini tidak berhenti sampai berpuluh-puluh tahun. ”Duduk di zona nyaman memang enak. Mereka tidak berpikir kerugian negara yang ditanggung dan kesulitan rakyat yang tidak mendapatkan lapangan pekerjaan,” kata Joko Widodo.
Dengan direalisasikannya proyek ini, lanjut Presiden, diharapkan dapat menekan impor elpiji yang sangat membebani negara dengan nilai impor mencapai Rp 80 triliun dari total kebutuhan anggaran penyediaan elpiji sekitar Rp 100 triliun per tahun. Belum lagi biaya subsidi yang mencapai Rp 70 triliun per tahun. ”Karena harga impor memang sangat tinggi,” ujarnya.
Kondisi ini tentu sangat membebani APBN. ”Apakah kebiasaan impor ini mau kita teruskan? Yang untung negara lain. Mereka dapat lapangan pekerjaan. Padahal, kita punya bahan bakunya,” kata Presiden. Menurut dia, jika proyek DME di Sumsel ini terwujud, biaya subsidi bisa dikurangi hingga Rp 7 triliun per tahun.
Jika impor elpiji distop dan diganti seluruhnya dengan DME, tentu akan mengurangi beban APBN hingga Rp 70 triliun per tahun. ”Karena itu, investasi hilirisasi ini harus terus kita kejar. Selain bisa memperbaiki neraca perdagangan dan transaksi berjalan juga akan membaik karena kita tidak impor,” jelas Presiden.
Selain itu, dengan adanya proyek ini juga akan membuka lapangan pekerjaan yang sangat besar, yakni mencapai 12.000 orang. Jika ada lima saja jenis investasi seperti ini di Indonesia bisa merekrut tenaga kerja sampai 70.000 orang. ”Tidak hanya itu, dampak tidak langsung-nya bisa dirasakan dua sampai tiga kali lipat,” kata Presiden.
Presiden berharap proyek ini dapat diselesaikan tepat waktu dan bisa diikuti di daerah lain yang memiliki cadangan batubara yang besar. Karena DME yang dihasilkan di sini hanya cukup untuk masyarakat di sekitar Sumsel saja, sekitar 6 juta keluarga.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjelaskan, pembangunan proyek ini merupakan tindak lanjut dari penandatanganan nota kesepahaman antara Air Products, perusahaan teknologi asal Amerika Serikat, dengan Kementerian Investasi dan BKPM pada November 2021 di Dubai.
Namun, sebelumnya, rencana penerapan teknologi DME sudah dilakukan sejak 2020 ketika Menteri BUMN Erick Thohir bersama Pertamina ke Amerika Serikat dan diteruskan ke Kementerian ESDM. ”Terwujudnya hilirisasi ini menjadi tugas pertama saya ketika diangkat menjadi menteri,” kata Bahlil.
Peluang investasi
Selain itu, dengan terealisasinya investasi ini juga untuk memupus adanya anggapan bahwa investasi Indonesia hanya terfokus pada satu negara saja dan tidak memberikan peluang investasi kepada negara lain. Realitasnya proyek ini dibiayai penuh oleh Air Products and Chemical Inc. Itu membuktikan, pemerintah memberikan peluang investasi secara berimbang pada setiap negara, termasuk Amerika Serikat.
Bahlil menjelaskan, secara keseluruhan, total investasi gasifikasi batubara dan turunannya mencapai 15 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 210 triliun. Adapun realisasi investasi untuk proyek DME ini mencapai Rp 33 triliun. ”Nilai tersebut merupakan kedua terbesar setelah investasi di PT Freeport,” katanya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumatera Selatan Sumarjono Saragih mengatakan, hilirisasi batubara ini memang menjadi salah satu prioritas pemerintah dalam pengelolaan bahan komoditas unggulan. Namun, penerapan ini bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi bisa mengurangi impor, tetapi di sisi lain batubara merupakan salah satu energi kotor.
”Hal ini tentu bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk mulai beralih ke energi bersih,” katanya. Namun, Sumarjono berpendapat untuk bisa beralih memang membutuhkan proses. Dia pun berharap agar proyek ini dapat menggandeng pengusaha lokal untuk bekerja sama.
”Jangan sampai hanya pengusaha yang itu-itu saja yang bisa mendapatkan dampaknya. Harus ada transparansi dalam hubungan kerja sama ini,” ujarnya. Di sisi lain, program ini juga dapat berdampak bagi masyarakat sekitar, baik terbukanya lapangan kerja maupun gas yang mudah dijangkau bagi masyarakat.
Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Hairul Sobri menilai program ini menandakan pemerintah mengingkari komitmennya untuk beralih ke energi bersih dan ekonomi berkeadilan. ”Padahal, saat ini adalah masa transisi untuk mulai menerapkan energi bersih dan tidak lagi menggunakan energi fosil,” katanya.
Hilirisasi batubara sebenarnya pernah dicanangkan beberapa waktu lalu dengan digalakkannya briket sebagai pengganti minyak tanah. Namun, program itu gagal karena dinilai membahayakan.
Khusus untuk proyek ini, dia menduga adanya upaya untuk memanfaatkan sebesar-besarnya batubara di tengah mulai beralihnya sejumlah negara ke energi nonfosil. Hairul berharap agar pemerintah bisa menjamin aktivitas ini tidak membahayakan masyarakat sekitar baik dari sisi kesehatan maupun lingkunga.