PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) bertransformasi membentuk induk usaha. Tantangannya adalah menciptakan tarif listrik yang kompetitif dan efisiensi operasi.
Oleh
ARIS PRASETYO, ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN bakal bertransformasi dengan membentuk induk usaha atau holding dan subholding yang ditargetkan tuntas akhir 2022. Dengan cara itu, proses bisnis PLN diharapkan menjadi lebih fokus, sederhana, efisien, dan lincah, termasuk dalam menangkap peluang dari energi terbarukan.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, dalam konferensi pers di Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (19/1/2022), mengatakan, dari benchmarking (penolokukuran) awal, pembangkit listrik dan turunannya memang harus dipisahkan. Hal ini juga menjadi bagian dari transisi besar-besaran di sektor energi terbarukan.
Dalam transformasi tersebut, nanti PLN akan terbagi tiga. Pertama, PLN sebagai holding akan fokus pada pemasaran dan pelayanan kepada masyarakat. Kedua, ada subholding power atau pembangkit dengan segala turunannya. Terakhir adalah institusi di luar kelistrikan, tetapi PLN memiliki infrastrukturnya.
Menurut Erick, subholding pembangkit akan mengonsolidasikan segala hal yang berhubungan dengan turunannya. ”Salah satunya PT PLN Batubara (anak usaha PLN). Bisa saja dimerger. Opsinya dimerger atau ditutup. Kemarin, pada holding pangan juga seperti itu. Ini sedang kami pelajari, tetapi kemungkinan besarnya sangat bisa,” katanya.
Sementara subholding di luar listrik, lanjut Erick, misalnya terkait kepemilikan kabel-kabel PLN. ”Kami benchmarking juga di negara lain dan ini bisa ditingkatkan independensinya. Apakah dijadikan fiber optik atau lainnya. Namun, tetap fokus ke pelayanan listrik itu sendiri, bukan tiba-tiba ke bisnis lain,” ujarnya.
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menambahkan, transformasi PLN bukanlah proses liberalisasi sektor ketenagalistrikan. Namun, hal itu merupakan tuntutan di tengah berbagai tantangan terkait energi, kemajuan teknologi, hingga kesempatan mengoptimalkan energi terbarukan di Indonesia yang melimpah.
Menurut Darmawan, bagaimanapun PLN harus berubah. ”Dari organisasi yang lambat, bisnis yang kompleks, menjadi satu organisasi yang lincah dan dinamis. Juga mengubah tantangan ini menjadi satu kesempatan,” katanya.
Tantangan
Dihubungi secara terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat, perubahan struktur organisasi PLN bisa berdampak positif terhadap kinerja. Dari struktur usaha PLN, menurut dia, sebenarnya memang terbagi tiga, yaitu pembangkit listrik, jaringan (transmisi/distribusi), dan ritel.
”Yang harus didorong adalah sebaiknya transmisi open access. Dengan demikian, subholding yang menangani transmisi bisa mengutip biaya dari pengguna transmisi tersebut. Ini bisa lebih sehat dan menstimulus swasta untuk membangun pembangkit listrik dan bisa mengalirkan listriknya ke tujuan tanpa kendala. Sebab, biaya investasi membangun transmisi sangat besar bagi swasta,” kata Fabby.
Dengan skema tersebut, lanjut Fabby, ada peluang optimalisasi sumber energi terbarukan di Indonesia kian optimal. Pengembangan pembangkit listrik dari energi terbarukan bisa dilakukan oleh badan usaha non-PLN dengan memanfaatkan jaringan milik PLN. Model ini akan membuka banyak kesempatan baru.
”Hal lain yang harus diperhatikan adalah siapa yang menjamin keamanan pasokan listrik? Dulu, kan, masih berasumsi hanya ada PLN sebagai satu entitas (yang menjamin pasokan). Apakah hal yang sama masih melekat di tubuh PLN? Itu yang perlu dijawab,” ucap Fabby.
Sementara itu, pengamat ekonomi energi dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Yayan Satyakti, saat dihubungi, mengatakan, dari laporan keuangan saat ini PLN memang sudah membukukan profit. Pembentukan holding dan subholding pun tak menjadi soal. Namun, perlu dipikirkan apakah struktur baru yang dikembangkan memiliki kelayakan dari sisi pasar atau tidak.
Menurut Yayan, perlu dilihat lagi seperti apa pertumbuhan permintaan listrik saat ini. ”PLTU di Batang, misalnya, yang mau selesai, tetapi permintaan listrik belum pulih. Kalau belum pulih, kemudian ada subholding lagi, sebetulnya menjadi biaya baru,” katanya.
Sebagai jalan keluar tanpa perlu membentuk subholding, Yayan mendorong agar PLN melakukan efisiensi dari sisi perusahaan. Apabila tetap hendak membentuk subholding, harus ada restrukturisasi dan pembagian yang jelas. Tata kelola yang buruk di tubuh PLN terkait krisis pasokan batubara pada Januari, misalnya, tidak boleh terulang.
Dari data pemerintah, bauran energi primer pembangkit listrik saat ini masih didominasi batubara sebesar 65,93 persen. Sumber energi terbarukan masih 12,73 persen dan sisanya dari gas bumi maupun bahan bakar minyak.