Beberapa orang, mulai dari penulis, dosen, hingga konsultan, yang mempunyai kemampuan bercerita atau membuat narasi sukses menjalankan bisnis. Akan tetapi, tidak sedikit yang gagal.
Oleh
ANDREAS MARYOTO, (ANDREAS MARYOTO)
·4 menit baca
Semua berawal dari cerita. Ada dosen mata kuliah bisnis, tak cukup hanya bercerita tentang bisnis, mereka juga membuat bisnis. Mereka yang selama ini membuat ceramah properti memasuki bisnis properti. Penulis seni membuat karya seni yang kadang harus bersentuhan dengan bisnis. Penulis mode kini ada yang membuat merek. Bagaimana upaya dari para pembuat narasi ini ketika memasuki bisnis dan menjadi sukses?
Kisah seputar para pembuat narasi itu yang kemudian memulai bisnis menarik untuk diamati. Ada yang berhasil, ada yang tertatih-tatih, dan ada pula yang gagal. Apakah mereka cukup kuat untuk sukses dengan bermodal keahlian dan pengetahuan mereka tentang pasar? Pertanyaan ini muncul ketika Financial Times membahas sejumlah penulis mode yang membuat merek.
Lauren Chan bergabung dengan media bernama Glamour pada tahun 2015. Dia menulis laporan tentang mode dan tentu juga mengamati perkembangan dan perubahan yang terjadi di dunia busana itu. Akan tetapi, dia frustrasi dengan kelangkaan mode mewah dengan ukuran tertentu. Ia kemudian keluar dari Glamour dan membuat merek sendiri bernama Henning. Ada pula kisah mantan direktur digital untuk T, sebuah majalah gaya hidup milik The New York Times, Isabel Wilkinson yang meluncurkan merek Attersee.
Di Indonesia, dosen manajemen di Universitas Indonesia, Prof Rhenald Kasali, membuat usaha bernama Rumah Perubahan. Upaya ini melampaui profesi dia sebagai dosen dengan membuat praktik dan juga pelatihan menghadapi perubahan. Rhenald tidak cukup hanya mengajar dan berbicara di berbagai forum, tetapi juga membuat bisnis yang bisa dijalankan. Rumah Perubahan menjadi tempat untuk belajar dan praktik bagi mereka yang ingin mengarungi dan menghadapi perubahan.
Kunci dari mereka yang berpindah dari kemampuan membuat narasi, bercerita, ataupun mengajar adalah keterlibatan mereka yang mendalam di bidang yang ditekuninya. Mereka mengetahui secara mendalam masalah yang dihadapi dan juga pasar yang ada. Mereka tidak hanya mengandalkan jaringan atau sekadar tenar, tetapi mereka mengetahui berbagai sisi, salah satunya mungkin sisi yang selama ini tidak digarap oleh orang lain.
Cara-cara mereka tentu berbeda dengan aktris yang mengandalkan ketenaran dan kemampuan membikin cerita, kemudian membuat merek-merek produk kecantikan atau juga para pemengaruh di media sosial yang tiba-tiba menawarkan produk investasi. Kita melihat tren ini sedang terjadi, sementara mereka tidak mempunyai pengetahuan yang cukup. Sayang sekali, orang-orang yang hanya bermodal tenar di media sosial dengan gampang menawarkan produk yang kadang membuat masyarakat tertipu.
Tidak mengherankan apabila sejumlah orang di Amerika Serikat tengah mengajukan komplain terhadap selebritas Kim Kardashian, mantan pemain NBA Paul Pierce, dan petinju Floyd Mayweather. Mereka dianggap mempromosikan sejumlah aset kripto, tetapi kemudian mereka dianggap ”bermain” melalui aset-aset itu. Kini mereka yang dirugikan karena asetnya anjlok 70 persen menggugat selebritas itu di pengadilan federal Amerika Serikat.
Kejadian ini menjadi contoh fenomena yang tengah terjadi. Saat ini orang memang mudah percaya dengan para pemengaruh di media sosial dibandingkan dengan ahli-ahli di bidangnya. Ibarat, apa kata mereka di media sosial langsung dianggap sebagai kebenaran. Ketenaran rupanya telah menghipnotis orang sehingga risiko investasi tidak diperhitungkan. Kalimat-kalimat dari para pemengaruh biasanya tidak rumit, malah sangat gampang dipahami, sehingga pengikut mereka mudah sekali mencerna. Satu kalimat sudah membuat para pengikutnya terlena dan percaya begitu saja.
Sebaliknya, mereka yang benar-benar masuk ke dalam sebuah bisnis karena memiliki pengetahuan yang cukup dan tentu mengetahui masalah-masalah yang ada di dalamnya pasti juga tertatih-tatih masuk ke dalam dunia bisnis. Mereka tidak hanya mengandalkan ketenaran semata, apalagi hanya berdasarkan jumlah pengikut di media sosial. Mereka memang mampu membuat narasi, tetapi harus jatuh bangun memulai bisnis. Godaan untuk membuat jalan pintas tentu muncul, tetapi mereka pasti mempunyai tanggung jawab terhadap produk.
Profesi yang didalami selama ini sesungguhnya menjadi modal awal mereka memasuki bisnis. Mereka sebenarnya telah melakukan riset dan pendalaman pasar. Mereka kemudian bisa melihat masalah dan peluang di dalamnya. Mereka menjadi terbiasa mendengarkan kebutuhan orang lain. Frustrasi yang dialami Lauren Chan memperlihatkan hal ini. Ia merasa tidak cukup hanya menulis saja. Chan terdorong untuk ikut menyelesaikan masalah itu. Mereka juga melihat dinamika di dalam sebuah bisnis sehingga makin paham berbagai masalah yang dihadapi.
Jika saja bisnis mereka kemudian sukses, jaringan dan juga mungkin pengikut yang ada di media sosial memang mempunyai andil. Akan tetapi, awalnya adalah dari produk yang memiliki kualitas lebih dahulu, bukan terbalik. Mereka tidak memanfaatkan jaringan dan pertemanan semata sekadar untuk melempar produk. Apabila asal-asalan, produk mereka pun tidak akan bertahan lama. Orang tidak akan menghargai produk tanpa kualitas yang memadai.
Beberapa orang, mulai dari penulis, dosen, hingga konsultan, yang mempunyai kemampuan bercerita atau membuat narasi sukses menjalankan bisnis. Akan tetapi, tidak sedikit yang gagal. Sisi lain mereka yang sukses adalah kemampuan mereka terus membuat komunikasi dengan audiens. Mereka tidak berada di ruang berbeda. Mereka mudah bertemu dan juga mengobrol dengan audiens.