Hakikat dari perusahaan asuransi adalah memberikan proteksi. Dalam perkembangan, mereka malah menawarkan produk ”unitlink” yang mencampuradukkan proteksi dan investasi. Keduanya adalah dua hal yang saling berkebalikan.
Oleh
BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA
·4 menit baca
Dalam dua pekan terakhir, sekitar 50 orang dari Komunitas Korban Asuransi berunjuk rasa dan menuntut apa yang mereka yakini sebagai hak mereka untuk dipenuhi perusahaan asuransi. Para nasabah ini punya cerita pilu yang senada, yakni sama-sama menjadi korban produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) atau unitlink.
Mereka diminta menyetorkan sejumlah uang ke perusahaan asuransi dengan iming-iming memperoleh imbal hasil investasi yang cukup menggiurkan pada tahun kesekian. Namun, saat hendak mengambil uangnya pada tahun kesekian tersebut, alih-alih memperoleh imbal hasil yang dijanjikan, uang yang mereka peroleh pun bahkan tidak sampai jumlah yang telah mereka setor selama menjadi nasabah unitlink. Akibatnya, para nasabah merasa rugi dan terjebak.
Setidaknya ada dua praktik yang kerap memicu persoalan terkait unitlink. Pertama, iming-iming agen penjual asuransi yang menjanjikan bonus imbal hasil investasi yang dibarengi proteksi asuransi jiwa. Persoalannya, para agen ini sering kali tidak mampu menjelaskan secara terang benderang seluruh isi polis, cara kerja, dan risiko unitlink.
Dampaknya, banyak nasabah yang tak paham bahwa dari uang yang disetor, pengelolaannya terbagi dua, yakni untuk pembayaran premi asuransi jiwa dan untuk investasi. Premi asuransi dikelola perusahaan asuransi dan dapat dimanfaatkan ketika terjadi klaim, sedangkan uang untuk investasi akan dikembangkan dan nantinya akan dikembalikan seluruhnya kepada nasabah. Dalam tahun kesekian, hasil pengembangan investasi bisa saja melampaui total dana yang disetor sepanjang imbal hasilnya sangat menguntungkan. Namun, dana investasi juga bisa tergerus jika aset-aset portofolio yang dibeli harganya jatuh. Inilah yang kerap tidak dijelaskan agen sehingga nasabah sama sekali tak terpikir uang mereka bisa tergerus apabila dibelikan unitlink. Dengan demikian, terjadi misleading atau kekeliruan paham nasabah akan produk unitlink.
Kedua adalah penjualan bancassurance atau menjual produk asuransi melalui bank. Para korban ini sejatinya pergi ke bank hanya untuk membuka tabungan atau deposito saja, tetapi diarahkan untuk menaruh uangnya di unitlink yang diyakini nasabah juga sebagai produk tabungan. Mereka diiming-imingi bisa mendapatkan imbal hasil investasi lebih tinggi dari bunga deposito dan juga mendapatkan proteksi asuransi jiwa.
Tanpa dijelaskan secara terang mengenai risiko dan mekanisme kerjanya, para korban yang pemahaman asuransi dan literasi keuangannya masih rendah itu pun mengiyakan saja uangnya ditempatkan di unitlink. Bahkan, sebagian dari mereka masih beranggapan uangnya tetap berada di bank itu, padahal sejatinya uang tersebut sudah masuk ke dalam perusahaan asuransi karena itu adalah pembelian produk unitlink. Akhirnya terjadi misbuying atau kekeliruan nasabah karena telah membeli suatu produk yang tidak diketahuinya.
Pemahaman atau literasi keuangan di bidang asuransi harus diakui memang masih rendah. Mengutip Survei Nasional dan Literasi Keuangan yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK), literasi keuangan asuransi pada 2019 berada di level 19,4 persen. Artinya, hanya 19,4 persen masyarakat yang memahami sepenuhnya konsep asuransi.
Namun, oleh perusahaan asuransi jiwa, produk unitlink terus dipasarkan secara luas dan mereka juga meyakini bahwa produk itu digemari masyarakat. Bahkan, unitlink menjadi andalan perusahaan asuransi untuk meraup laba. Pada 2020, unitlink berkontribusi 64 persen terhadap total pendapatan premi asuransi jiwa.
Karena dipasarkan secara masif di tengah rendahnya literasi asuransi masyarakat, pada awalnya, pertumbuhan unitlink memang meroket. Namun, ketika makin banyak yang merasa terjebak, terjadi penurunan jumlah polis asuransi unitlink sebanyak 2,8 juta polis pada 2020.
Tak hanya di Indonesia, di luar negeri pun produk unitlink sudah banyak diakui sebagai produk bermasalah. Pada 2019, Polish Financial Supervisory Authority (PFSA) atau semacam OJK di Polandia melarang produk unitlink dipasarkan di negara tersebut. Alasannya, karena jumlah pengembalian kepada pemegang polis kurang dari yang dijanjikan serta manajemen aset yang buruk dan tidak sesuai prinsip investasi. Di Belanda, pada 2015 terdapat class action besar-besaran yang menilai telah terjadi misselling atau kekeliruan dalam penjualan produk unitlink.
Berkaca dari berbagai persoalan itu, kini saatnya membawa perusahaan asuransi kembali fokus melaksanakan fungsi utamanya sebagai lembaga yang menawarkan proteksi dan mulai mengurangi penjualan produk PAYDI seperti unitlink. Konsep asuransi adalah memindahkan risiko keuangan yang mungkin dialami tertanggung ke perusahaan asuransi.
Apabila perusahaan asuransi menawarkan produk investasi, hal itu tidak sesuai dengan konsep asuransi. Asuransi dan investasi adalah dua hal yang bertentangan. Sebab, dalam investasi ada risiko kerugian, sementara fungsi utama asuransi justru untuk mengurangi risiko. Ini ibarat mencampur air dengan minyak, keduanya tidak akan bisa menyatu.
Di tengah pandemi dan ketidakpastian ekonomi saat ini, masyarakat tentu memerlukan proteksi. Momentum ini harus dimanfaatkan perusahaan asuransi untuk merebut kembali kepercayaan dan kredibilitasnya di mata masyarakat dengan fokus pada proteksi.