Pengembangan Energi Terbarukan Masih Terkendala Pandemi
Sejumlah pengembangan energi terbarukan masih terkendala pandemi. Potensi besar energi terbarukan belum termanfaatkan dengan optimal.
JAKARTA, KOMPAS — Proyek pengembangan sumber energi terbarukan sepanjang 2021 di Indonesia masih terhambat pandemi Covid-19. Jadwal sejumlah proyek terpaksa mundur. Target investasi di sektor ini yang sebesar 2,04 miliar dollar AS hanya terealisasi 1,51 miliar dollar AS.
”Pandemi Covid-19 masih terjadi sepanjang 2021. Terkait investasi, di sektor energi baru dan terbarukan dihitung mulai dari kegiatan eksplorasi. Kami terus memantau pelaksanaan realisasi investasi setiap dua-tiga bulan. Apabila ada hambatan, kami berusaha memfasilitasi (untuk atasi hambatan),” ujar Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana, Senin (17/1/2022), di Jakarta.
Hingga akhir 2021, lanjut Dadan, porsi energi baru dan terbarukan sebesar 11,5 persen dalam bauran energi nasional atau hanya naik tipis dari realisasi pada 2020 yang sebesar 11,2 persen. Dari sisi ketenagalistrikan, penambahan kapasitas pembangkit listrik energi baru dan terbarukan tahun 2021 hanya 654,76 megawatt (MW). Penambahan itu masih di bawah target yang sebesar 854,78 MW.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), target bauran energi baru dan terbarukan pada 2025 sebesar 23 persen dalam bauran energi nasional. Porsi tersebut naik menjadi sedikitnya 31 persen di 2050. Dengan capaian hingga 2021, menurut Dadan, masih ada kesenjangan yang lebar untuk mencapai target pada 2025.
”Untuk mengurangi kesenjangan itu, kami berusaha memastikan realisasi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 berjalan optimal. Kementerian ESDM akan memeriksa prognosis (proyek energi terbarukan) dan diharapkan tidak ada keterlambatan,” ucap Dadan.
Ia menambahkan, rancangan peraturan presiden tentang harga listrik energi terbarukan juga diharapkan segera selesai dalam waktu dekat. Menurut rencana, harga listrik energi terbarukan tidak akan terlalu tinggi sehingga tidak membebani masyarakat. Oleh karena itu, akan dibuat klasifikasi harga listrik dari sumber energi terbarukan. Menurut dia, 10 tahun pertama ada kemungkinan harga listrik energi terbarukan tinggi, tetapi akan terus turun seiring terjadinya pengembalian investasi.
Dukungan regulasi
Sebelumnya, Institute for Essential Services Reform dalam laporan ”Indonesia Energy Transition Outlook 2022” menilai kesiapan ekosistem untuk beralih ke energi terbarukan masih rendah. Untuk mencapai target Kebijakan Energi Nasional dan RUEN pada 2025, kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan sedikitnya 24.000 MW atau bertambah 2-3 gigawatt (GW) setiap tahun.
Peneliti IESR sekaligus penulis utama laporan ”Indonesia Energy Transition Outlook 2022”, Julius Christian, menilai Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pokok-pokok dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik cenderung menyerahkan risiko sepenuhnya kepada pengembang apabila terjadi perubahan kebijakan. Kemudian, sempat terbit Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Namun, peraturan ini dinilai menyebabkan proyek energi terbarukan sebagai proyek yang sulit mendapatkan dana dari perbankan.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia Marlistya Citraningrum, saat dihubungi, Senin, mengatakan, terkait penetrasi PLTS atap, Kementerian ESDM sebenarnya telah mengundangkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum. Namun, aturan itu secara formal belum diimplementasikan.
Selain itu, skema harga listrik yang dihasilkan dari sumber energi terbarukan yang diatur dalam Peraturan Presiden tentang energi terbarukan, lanjut Marlistya, sudah lebih baik dibandingkan dengan Peraturan Menteri ESDM No 50/2017. Misalnya, sudah ada skema feed in tariff (penetapan harga listrik energi terbarukan berdasarkan biaya produksi), harga patokan tertinggi, dan harga kesepakatan.
”Peraturan presiden tentang EBT (energi baru dan terbarukan) sebaiknya segera ditetapkan. Jadi, ada kepastian bagi pengguna dan investor,” kata Marlistya.