Pemerintah memasang target realisasi investasi senilai Rp 1.200 triliun pada tahun 2022. Angka itu dinilai terlalu ambisius, terlebih di tengah berbagai ketidakpastian yang dapat memengaruhi iklim berinvestasi tahun ini
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Proyek pembangunan pabrik pada salah satu lahan di kawasan industri, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Selasa (17/4/2021).
JAKARTA, KOMPAS – Target realisasi investasi yang dipasang pemerintah pada tahun 2022 dinilai terlalu ambisius dan sulit dicapai. Iklim investasi diperkirakan akan dibayangi ketidakpastian akibat merebaknya varian Omicron. Selain itu, juga masih ada tarik ulur rencana revisi Undang-Undang Cipta Kerja, serta dinamika sosial-politik di dalam negeri.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, target awal realisasi investasi yang dipasang sebenarnya senilai Rp 968,4 triliun. Namun, Presiden Joko Widodo meminta Kementerian Investasi untuk menaikkan target itu sampai Rp 1.200 triliun, demi menopang pertumbuhan ekonomi kembali di atas 5 persen pada 2022.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal, Minggu (16/1/2021) menilai target investasi senilai Rp 1.200 triliun itu akan sulit dicapai. Menurutnya, target tersebut terlalu tinggi dan ambisius, terutama mengingat situasi pandemi yang belum usai.
Data Kementerian Investasi menunjukkan, sepanjang Januari-September 2021, capaian realisasi investasi adalah Rp 659,4 triliun atau 73,3 persen dari target tahun 2021 yang dipatok Rp 900 triliun. Laju investasi sempat melambat pada triwulan III-2021 akibat merebaknya varian Delta Covid-19 dan diberlakukannya PPKM darurat pada Juli-Agustus 2021.
“Sampai triwulan III tahun lalu saja, capaiannya masih 73 persen, yang kemungkinan tidak akan tercapai sesuai target Rp 900 triliun. Apalagi jika dinaikkan menjadi Rp 1.200 triliun tahun ini, itu kemungkinan besar tidak akan tercapai,” ujar Faisal.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad menilai, peningkatan target realisasi investasi sebesar 33 persen dari tahun 2021 ke tahun 2022 itu melampaui target yang biasanya dipasang pemerintah sebelum pandemi.
“Targetnya sendiri memang sudah overconfidence. Biasanya, BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) memasang kenaikan target yang konvensional di kisaran 11 persen. Kalau ini dipatok naik 33 persen itu terlalu jauh,” ujarnya.
Targetnya sendiri memang sudah overconfidence.
Di sisi lain, kinerja investasi selama dua tahun terakhir banyak terbantu oleh realisasi investasi mangkrak. Sementara, kinerja investasi pada 2022 tidak bisa lagi bergantung pada investasi mangkrak. “Kondisinya berbeda karena yang mangkrak-mangkrak itu mayoritas sudah selesai,” kata Tauhid.
Anggapan bahwa target itu terlalu tinggi juga datang dari pihak pengusaha. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta W Kamdani menilai, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, kenaikan target investasi Rp 1.200 triliun dari Rp 900 triliun memang sangat ambisius.
“Kalau dilihat secara historis, peningkatan realisasi investasi sebesar ini dalam satu tahun memang belum pernah terjadi sebelumnya. Biasanya, peningkatan realisasi investasi hanya sekitar 5-10 persen secara tahunan,” katanya.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Calon investor berkonsultasi dengan petugas pelayanan terpadu satu pintu di Gedung Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) , Jakarta, Selasa (26/1/2021).
Ketidakpastian
Selain target yang terlalu tinggi, ada sejumlah faktor yang dapat memunculkan ketidakpastian dan memengaruhi laju investasi tahun ini. Contohnya, tarik ulur rencana revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pasca putusan Mahkamah Konstitusi. Sampai saat ini, belum ada kejelasan mengenai arah revisi UU tersebut.
Menurut Faisal, dinamika pasca putusan MK itu akan memengaruhi ketertarikan pengusaha untuk menanamkan modal di Indonesia, khususnya pada sentimen rencana atau komitmen berinvestasi.
Ia menilai, dampak dari rencana revisi UU Cipta Kerja pada tahap realisasi investasi tidak akan terlalu signifikan. Pasalnya, selama satu tahun terakhir ini, implementasi UU itu memang belum berdampak signifikan pada kinerja investasi. Di tingkat daerah, penerapan sistem perizinan berusaha terintegrasi berbasis risiko (OSS-RBA) masih banyak terkendala.
“Selama ini, UU Cipta Kerja memang tidak meningkatkan investasi secara signifikan. Jadi, direvisi atau tidak, ada pertimbangan terkait penerapan UU itu di lapangan yang sebenarnya membuat investor masih wait and see,” katanya.
Tauhid menambahkan, faktor lain seperti merebaknya varian Omicron serta stabilitas kondisi sosial-politik, terutama menjelang tahun politik, dapat memengaruhi kalkulasi investor. “Bisa saja sudah ada komitmen investasi, tetapi jika ada ketidakpastian yang tinggi, pengusaha akan berpikir ulang untuk merealisasikan rencana-rencana itu,” katanya.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Pekeja berada di antara konsruksi baja dalam proyek pembangunan pabrik dan gudang di Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Selasa (17/4/2021).
Sementara itu, menurut Shinta Kamdani, ada beberapa hal yang membuat investor kini cenderung menahan diri. Pertama, kekhawatiran akan gelombang baru penularan Covid-19 di tengah penyebaran Omicron. Kedua, potensi kenaikan harga energi dan kenaikan beban pajak di sektor tertentu. Ketiga, ketidakpastian seputar revisi UU Cipta Kerja.
“Hal-hal ini tentu menjadi pertimbangan dalam merealisasikan investasi tahun ini. Berbagai isu ini perlu diselesaikan dan dikomunikasikan dengan baik kepada investor, agar ada peningkatan keyakinan berinvestasi dan efisiensi iklim berusaha,” katanya.
Kendati demikian, Shinta masih optimistis dengan target investasi yang ambisius itu. “Target ini memang ambisius dibandingkan tahun-tahun lalu, tetapi to be fair, kita sebelumnya belum pernah melakukan reformasi struktural besar-besaran. Kita juga belum pernah menjadi ruan rumah G-20. Jadi kami tetap optimistis sambil terus bekerja keras mencapai target itu,” katanya.
Target ini memang ambisius dibandingkan tahun-tahun lalu, tetapi to be fair, kita sebelumnya belum pernah melakukan reformasi struktural besar-besaran.
Sebelum ini, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyatakan, pemerintah tetap akan memasang target investasi Rp 1.200 triliun pada tahun 2022 demi mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen.
Untuk itu, pemerintah akan memberikan layanan dari hulu ke hilir (end to end) kepada investor dari sejak tahap perencanaan sampai realisasi investasi dan tahap produksi. Ia juga optimistis target investasi bisa tercapai dengan penyelenggaraan sistem OSS berbasis risiko secara daring di daerah-daerah.