Reformasi Fiskal Didorong untuk Penciptaan Lapangan Kerja
Reformasi fiskal akan disertai dengan rumusan kebijakan fiskal yang komprehensif agar dampaknya pada penciptaan lapangan kerja semakin kuat.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Untuk mencapai pemulihan ekonomi berkelanjutan, kebijakan fiskal akan diarahkan untuk mendorong penciptaan lapangan pekerjaan. Dampak positif dari kenaikan harga komoditas sepanjang 2021 menjadi modal berharga untuk melanjutkan pemulihan ekonomi di tahun ini.
Kepala Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio N Kacaribu memastikan di tahun 2022 reformasi fiskal akan terus berlanjut melalui reformasi perpajakan, kebijakan pengelolaan belanja yang lebih optimal, dan manajemen kas negara yang lebih baik.
Di samping itu, reformasi juga dilakukan dengan pembiayaan inovatif untuk mendorong penciptaan lapangan pekerjaan dengan memberdayakan peran swasta hingga Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
Penciptaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja juga menjadi tujuan dari reformasi fiskal di tahun 2022 demi tercapainya pemulihan ekonomi yang semakin berkualitas. (Febrio N Kacaribu)
”Penciptaan lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja menjadi salah satu tujuan dari reformasi fiskal di tahun 2022 demi tercapainya pemulihan ekonomi yang semakin berkualitas,” kata Febrio dalam pertemuan media secara virtual, Rabu (12/1/2021).
Reformasi akan disertai dengan rumusan kebijakan fiskal yang komprehensif agar dampaknya pada penciptaan lapangan kerja semakin kuat. Karena itu, diperlukan koordinasi yang kuat antarsektor.
Febrio juga mengatakan, kenaikan harga komoditas, seperti minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan batubara, yang sangat signifikan tahun lalu telah berdampak positif tidak hanya bagi sisi penerimaan negara melalui ekspor dan penerimaan pajak, tetapi juga terhadap penciptaan lapangan kerja.
Peningkatan kinerja ekspor tahun lalu mampu menggerakkan perekonomian di tengah perlambatan akibat pandemi Covid-19. Perbaikan kinerja ekspor serta sektor turunannya membuka peluang lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga mempercepat perputaran ekonomi domestik.
Febrio memperkirakan kenaikan harga sejumlah komoditas masih akan berlanjut pada 2022. Selain CPO dan batubara, komoditas lainnya, seperti karet dan nikel, masih akan mendukung kinerja ekspor Indonesia setidaknya hingga pertengahan tahun ini.
”Perkembangan harga komoditas tersebut masih akan mengikuti perekonomian dunia sehingga kenaikan harga akan memberikan nilai tambah bagi ekonomi Indonesia,” ujarnya.
Risiko global
Di sisi lain, lanjut Febrio, kenaikan harga komoditas juga berpotensi menciptakan risiko berupa percepatan laju inflasi khususnya di negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Situasi ini bisa memicu normalisasi kebijakan moneter yang lebih cepat, terutama kebijakan terkait suku bunga acuan.
”Lonjakan inflasi yang tinggi membuat otoritas moneter global khususnya AS kerap memberikan sinyal percepatan pengurangan quantitative easing (QE). Kami terus pantau bulan demi bulan, minggu demi minggu,” kata Febrio.
Pada kesempatan yang sama, ekonom Bank Permata, Josua Pardede, meyakini bahwa normalisasi atau tapering yang akan dilakukan otoritas moneter di AS tidak akan menyebabkan dampak serupa seperti yang terjadi pada tahun 2013.
Pasalnya, fundamental perekonomian Indonesia saat ini sangat berbeda dibandingkan dengan kondisi tahun 2013.
”Neraca transaksi berjalan, inflasi, likuiditas pasar keuangan, dan sisi fiskal Indonesia saat ini lebih baik dari kondisi 2013,” ujarnya.
Sementara itu, lanjut Josua, inflasi pada 2022 masih akan berada dalam koridor target yang ditetapkan pemerintah dan asumsi BI, yakni di kisaran 2 persen hingga 4 persen.
”Peningkatan inflasi itu justru sinyal yang positif. Saya melihat terdapat faktor dari sisi permintaan yang meningkat karena pemerintah berhasil menekan kasus covid-19,” ujarnya.
Para pemimpin global harus bersatu dan mengadopsi pendekatan multistakeholder yang terkoordinasi untuk mengatasi tantangan global yang tak henti-hentinya dan membangun ketahanan menghadapi krisis berikutnya. (Saadia Zahidi)
Sementara itu, Forum Ekonomi Dunia (WEF) mengatakan, risiko iklim menjadi sumber kekhawatiran utama global di saat dunia memasuki tahun ketiga pandemi Covid-19. Kekhawatiran global lainnya mencakup kesenjangan sosial, krisis mata pencarian, dan penurunan kesehatan mental.
”Para pemimpin global harus bersatu dan mengadopsi pendekatan multistakeholder yang terkoordinasi untuk mengatasi tantangan global yang tak henti-hentinya dan membangun ketahanan menghadapi krisis berikutnya,” kata Managing Director WEF Saadia Zahidi.