Infrastruktur Gas Menjadi Tantangan di Tengah Transisi Energi
Gas bumi memainkan peranan penting dalam transisi energi di Indonesia. Selain itu, pengembangan sumber energi terbarukan juga harus terus dilakukan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak bumi dan batubara.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Petugas PGN mendeteksi kebocoran jaringan gas dengan menggunakan alat LaseMethane Mini di Perumahan Budha Szu Chi, Cengkareng, Jakarta Barat, Selasa (12/2/2020). Pemerintah melalui Perusahaan Gas Negara (PGN) akan membangun 266.000 jaringan gas rumah tangga di 49 kabupaten/kota. Dalam jangka panjang, pemerintah menargetkan 10 juta sambungan gas rumah tangga terpasang dalam 5-10 tahun mendatang.
JAKARTA, KOMPAS — Gas alam, energi fosil yang lebih bersih dibandingkan dengan minyak bumi dan batubara, dapat dioptimalkan selama masa transisi energi menuju emisi nol bersih pada 2060 di Indonesia. Namun, ada tantangan dalam pengangkutan gas alam dari sumber gas menuju lokasi yang membutuhkan gas sebagai sumber energi primer.
Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN Arcandra Tahar, dalam ”Energy and Economic Outlook 2022”, yang digelar virtual, di Jakarta, Rabu (12/1/2022), mengatakan, persoalan infrastruktur menjadi tantangan dan kendala dalam pemanfaatan gas alam di Indonesia. Apabila di negara-negara lain kawasan industrinya didekatkan dengan sumber gas, tidak demikian dengan Indonesia. Misalnya, sumber gasnya ada di Papua, tetapi industri yang membutuhkan gas berlokasi di Karawang (Jawa Barat). Ada biaya yang mesti dikeluarkan (untuk pengangkutan).
Selain dengan pipa, imbuh Arcandra, gas juga bisa diangkut dengan kapal dalam bentuk gas alam cair (LNG). Namun, begitu sampai di lokasi tujuan (konsumen gas), LNG harus diproses kembali menjadi gas (regasifikasi). ”Sampai ke konsumen, (harga gas) akan lebih mahal. Jadi, tidak sesederhana itu membandingkan harga gas antarnegara. Ada banyak faktornya,” katanya.
Mengenai penggunaan gas untuk menggantikan bahan bakar minyak dan batubara sebagai sumber energi pembangkit listrik, menurut Arcandra, perlu dipikirkan cara pengangkutan, letak sumber gas, dan bentuk gasnya. Untuk mengalirkan ke pulau-pulau kecil dan terpencil, mau tidak mau pilihannya adalah gas alam terkompresi (CNG) atau LNG.
”Tantangannya adalah bagaimana mengembangkan teknologi yang mampu mentranspor (memindahkan) gas tersebut sehingga (harganya) dapat bersaing dengan diesel (solar). Jadi, teknologi menjadi kunci,” ucap Arcandra.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Petugas memeriksa instalasi tabung Gaslink C-cyl kemasan baru yang terpasang di Restoran Pagi Sore Sunter, Jakarta Utara, Selasa (14/12/2021). Gaslink C-cyl merupakan compressed natural gas (CNG) untuk pelanggan sektor industri dan komersial yang diproduksi PT Gagas Energi Indonesia, subholding Gas Pertamina. Kehadiran Gaslink C-cyl diharapkan akan memperluas pemanfaatan gas bumi, terutama bagi pelanggan yang belum terjangkau oleh gas pipa termasuk pelaku UMKM.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, volume penjualan gas alam melalui pipa pada 2020 sebanyak 333.314,96 juta standar kaki kubik (MMSCF) atau menurun dari 2019 yang sebanyak 380.809,89 MMSCF. Konsumen terbesar gas alam adalah sektor industri dengan 253.192 MMSCF, disusul pembangkit listrik 73.117,86 MMSCF, komersial 5.262,19 MMSCF, rumah tangga 1.122,94 MMSCF, dan terakhir stasiun pengisian bahan bakar gas sebanyak 619,77 MMSCF.
Potensi lokal
Arcandra menambahkan, dalam pemanfaatan sumber energi terbarukan, potensi lokal mesti dipertimbangkan. Indonesia memiliki potensi panas bumi yang bisa menghasilkan energi sepanjang waktu, tidak seperti matahari dan angin. Apalagi, tak semua negara memiliki potensi panas bumi meski tantangannya terletak pada biaya pengembangan yang lebih mahal dari batubara.
Ekonom yang juga Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Mirza Adityaswara menuturkan, saat ini, dunia ingin lebih ”hijau”, tetapi tidak mudah mewujudkannya. Apalagi, Indonesia sebagai negara yang perekonomiannya tumbuh sekitar 5 persen sebelum pandemi Covid-19 akan butuh pemenuhan energi, seperti untuk manufaktur, rumah tangga, hingga transportasi. Karena itu, ekspor (migas dan nonmigas) perlu ditingkatkan dan impor diturunkan.
”Namun, juga tak bisa melarang impor kalau barangnya sangat dibutuhkan. Misal, pelarangan impor minyak, tetapi kita belum punya energi pengganti yang cukup. Maka, penting untuk mengendalikan impor minyak, tetapi harus bisa mencari penggantinya,” ujar Mirza.
Pengembangan energi alternatif, seperti panas bumi, harus dilakukan. Sebab, yang defisit di Indonesia tidak hanya energi, tetapi juga berbagai macam barang. Pada akhirnya, impor akan menjadi pilihan utama ketimbang memproduksi sendiri di dalam negeri. Apabila defisit terus membesar, secara moneter, suku bunga acuan perlu dinaikkan dan hal tersebut kurang menguntungkan.