Merogoh Kantong Lebih Dalam demi Seliter Minyak Goreng
Harga minyak goreng yang melambung tinggi membuat warga kerepotan. Butuh kemandirian dalam negeri bila hal ini tidak ingin terus terulang lagi.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA/CORNELIUS HELMY
·4 menit baca
PEMPROV JABAR
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil saat operasi pasar murah minyak goreng di Kota Bekasi, Selasa (11/1/2021).
Kenaikan harga minyak goreng menjadi kado pahit Tahun Baru 2022 di sejumlah daerah di Indonesia, termasuk di Jawa Barat. Pedagang gorengan berkelakar memasang pengumuman kenaikan harga dua kali lipat dari sebelumnya Rp 1.000 per biji. Emak-emak juga curhat di media sosial mengeluhkan harga minyak goreng yang sempat melambung hingga Rp 40.000 per liter atau 2-3 kali harga normal.
Faradilla (32), warga Cidadap, Kota Bandung, kini terpaksa merogoh kocek lebih dalam beberapa hari terakhir. Harga minyak goreng yang biasa dibeli Rp 13.000 per liter menjadi Rp 18.000-Rp 20.000 per liter. Meski kebutuhan minyak gorengnya hanya sekitar 1 liter per bulan, kenaikan ini tetap membuat Faradilla enggan memasak lebih banyak.
”Saya tinggal berdua dengan adik. Paling banyak pakai minyak goreng 1,5 liter. Biasanya untuk goreng ayam dan tumisan. Semenjak harga minyak naik, kami memasak lebih sedikit,” katanya di Bandung, Selasa (11/1/2022).
Namun, tidak itu saja yang membuat jengkel. Harga salah satu makanan favoritnya, gorengan, ikut meroket. ”Harga gorengan biasanya Rp 1.000 per biji. Terakhir saya beli, harganya Rp 1.500. Kan gila ya, emosi saya, naiknya 50 persen lebih,” ujarnya sambil tertawa.
Keresahan serupa juga dirasakan Sintia (30), warga Panyileukan, Kota Bandung. Dia kini sering menghela napas saat membeli minyak goreng yang melonjak dalam beberapa pekan terakhir, dari biasanya Rp 28.000 per 2 liter menjadi Rp 40.000 per 2 liter.
”Setiap bulan saya menghabiskan sekitar 2 liter minyak goreng. Suami sangat menyukai ayam geprek. Ya walaupun suami sering bilang ’apa pun yang kamu masak, aku makan’, saya juga mau memberikan makanan favoritnya,” ujarnya.
Karena itu, Sintia dengan berat hati mengurangi jatah bulanannya untuk perawatan diri demi membeli minyak goreng. Dia berharap, harga minyak kembali normal seperti sebelumnya.
”Biasanya kalau minyak di botol sudah tinggal seperempat, saya beli lagi untuk persediaan. Sekarang, sampai botol habis kosong, baru saya beli lagi,” keluhnya.
PEMPRPV JABAR
Warga memperlihatkan minyak goreng yang dibeli saat pasar murah minyak goreng di Kota Bekasi, Selasa (11/1/2022).
Di media sosial, keluhan warga Jabar lainnya juga sampai ke Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Lewat akun media sosialnya, dia mengatakan akan berusaha menyikapi ini. ”Sebagian (kebijakan ini) di luar kendali tapi akan saya ikhtiarkan,” katanya.
Janji itu kemudian dibarengi pelaksanaan operasi pasar murah di 11 kabupaten/ kota di Jawa Barat, 10-14 Januari 2022. Dalam operasi pasar kali ini, disiapkan sekitar 240.000 liter minyak goreng.
”Pemprov Jabar sudah keliling 11 kota/kabupaten untuk menggelar operasi guna menurunkan harga minyak goreng,” kata Ridwan Kamil saat meninjau operasi pasar di Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Selasa.
Dalam operasi pasar itu, Emil, panggilan Ridwan Kamil, mengatakan, minyak goreng dijual Rp 14.000 per liter. Setiap orang hanya diperbolehkan membeli 2 liter.
”Harapannya, ibu-ibu tidak marah lagi karena harga minyak goreng naik dan bikin repot dapur,” katanya.
Ke depan, Emil berharap operasi pasar murah ini bisa meringankan beban masyarakat. Dia juga minta pemerintah pusat sesegera mungkin mengendalikan harga minyak goreng.
PEMPROV JABAR
Warga Kota Bekasi memperlihatkan minyak goreng yang dibeli dari pasar murah minyak goreng, Selasa (11/1/2022).
Pengamat ekonomi dari Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Bandung, Setia Mulyawan, mengatakan, kenaikan minyak goreng ini harus diatasi secepatnya. Budaya makan di Indonesia masih bergantung pada minyak goreng sehingga kenaikannya bakal berdampak pada ekonomi masyarakat.
”Kenaikannya berpotensi memberikan efek berganda bagi ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Efek itu dapat dilihat dari kenaikan harga komoditas masyarakat yang membutuhkan minyak goreng. Setia menjelaskan, produksi dari sektor bisnis yang mengandalkan minyak goreng akan terbebani sehingga mau tidak mau meningkatkan harga untuk kualitas yang sama.
Dia mengatakan, lonjakan harga minyak goreng kali ini lebih lama dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun masa Tahun Baru sudah lewat 10 hari, harga minyak goreng tidak kunjung melandai. Setia berpendapat, hal ini terjadi karena tren minyak sawit mentah dunia (crude palm oil/CPO) saat ini sedang tinggi.
Sejauh ini, operasi pasar menjadi salah satu solusi yang mampu meredam lonjakan harga. Harapannya, operasi pasar bisa mengurangi permintaan sehingga memengaruhi harga barang.
Namun, Setia mengingatkan bila operasi pasar hanya solusi jangka pendek. Dia berharap, pemerintah mulai melirik industri minyak goreng dalam negeri. Jika Indonesia mampu mandiri, kenaikan komoditas dari global tidak akan berdampak. Alasannya, produksi dalam negeri tidak bergantung industri luar negeri.
”Sudah saatnya Indonesia memperhatikan sektor Industri. Nilai tambah dari sektor primer tidak begitu besar dibanding sektor turunannya, dan itu yang dinikmati oleh negara lain,” ujarnya.
Kenaikan ini sudah berlangsung lama. Butuh langkah tepat dan cepat bila tidak ingin dampaknya bakal tinggal lama dalam kehidupan masyarakat.