Surplus Neraca Pembayaran RI Topang Cadangan Devisa
Meski turun dibandingkan November 2021, cadangan devisa di akhir Desember 2021 cukup untuk memenuhi pembiayaan 8 bulan impor atau di atas standar kecukupan internasional, yakni untuk penuhi pembiayaan tiga bulan impor.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pembayaran utang luar negeri pemerintah telah memangkas cadangan devisa di pengujung tahun. Meski begitu, jika dihitung sejak awal tahun, cadangan devisa tetap naik 9 miliar dollar AS. Kenaikan cadangan devisa ditopang oleh surplus neraca pembayaran yang diproyeksikan berlanjut di tahun 2022.
Bank Indonesia (BI) mencatat, cadangan devisa pada Desember 2021 berada di kisaran 144,9 miliar dollar AS (Rp 2.074 triliun). Posisi ini turun dibandingkan November 2021 yang mencapai 145,9 miliar dollar AS (Rp 2.089 triliun).
Saat dikonfirmasi Minggu (9/1/2022), Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono mengungkapkan, penurunan cadangan devisa pada Desember 2021 salah satunya dipengaruhi oleh kebutuhan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
Meski demikian, cadangan devisa pada akhir tahun 2021 berada di atas standar kecukupan internasional untuk memenuhi pembiayaan tiga bulan impor. Nilai cadangan devisa tersebut cukup untuk memenuhi pembiayaan 8 bulan impor atau 7,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.
”Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” kata Erwin.
Erwin optimistis cadangan devisa tetap akan memadai di sepanjang tahun 2022, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi. Hal ini terjadi seiring berbagai respons kebijakan pemerintah dalam mengatasi pandemi Covid-19 sekaligus mendorong pemulihan ekonomi.
Saat dihubungai secara terpisah, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengatakan, meski devisa dari November ke Desember 2021 turun, apabila dihitung sejak awal Januari hingga pengujung 2021, cadangan devisa bertambah 9 miliar dollar AS.
”Peningkatan cadangan devisa pada 2021 ditopang oleh potensi surplus neraca pembayaran yang didukung surplus neraca transaksi berjalan. Surplus ini terjadi karena ada tren kenaikan harga komoditas global sepanjang tahun lalu,” katanya.
Pada triwulan III-2021, neraca pembayaran Indonesia surplus 1,07 miliar dollar AS atau 1,49 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara pada pertengahan Desember 2021, BI memperkirakan surplus transaksi berjalan, sebagai salah satu komponen neraca pembayaran, di akhir tahun 2021 bisa berada dalam kisaran 0,3 persen terhadap PDB.
Josua menilai, sepanjang tahun 2022 cadangan devisa masih berpotensi naik karena surplus neraca berjalan masih akan berlanjut. Sayangnya, angka surplus berpotensi turun akibat aliran keluar investasi portofolio yang mempertimbangkan potensi percepatan tapering serta kenaikan suku bunga Bank Sentral AS (The Fed).
Josua memperkirakan, neraca transaksi berjalan juga akan kembali defisit dengan mempertimbangkan laju impor yang cenderung meningkat serta potensi normalisasi harga komoditas ekspor pada semester II-2022.
Dengan berbagai tantangan tersebut, cadangan devisa pada akhir 2022 diperkirakan hanya akan naik ke kisaran 150 miliar dollar AS hingga 152 miliar dollar AS.
Aliran modal
Berdasarkan data transaksi BI periode 3 Januari 2022 hingga 6 Januari 2022, investor asing di pasar keuangan domestik melakukan aksi jual neto Rp 1,68 triliun. Nilai ini terdiri dari aksi jual neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) Rp 2,93 triliun dan aksi beli neto di pasar saham Rp 1,25 triliun.
Seiring dengan keluarnya arus modal asing, premi risiko investasi Indonesia meningkat. Hal ini terlihat dari peningkatan premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia 5 tahun dari 73,55 basis poin per 31 Desember 2021 menjadi 77,27 basis poin per 6 Januari 2022.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, tren aliran modal keluar dari negara berkembang dipicu oleh normalisasi kebijakan moneter sejumlah negara akibat tingginya tingkat inflasi. Namun, ia optimistis ketahanan pasar keuangan Indonesia terhadap faktor eksternal tetap kuat di 2022 mengingat kepemilikan asing di pasar SBN domestik juga terus menurun.
”Pada 2019, kepemilikan asing di pasar obligasi 38,5 persen SBN Indonesia. Akan tetapi, saat ini kepemilikan asing sudah di bawah 20 persen,” ujarnya.
Pada 2019, kepemilikan asing di pasar obligasi sebesar 38,5 persen SBN Indonesia. Akan tetapi, saat ini kepemilikan asing sudah di bawah 20 persen. (Sri Mulyani Indrawati)
Dari sisi nilai tukar mata uang, aliran modal keluar dapat memicu depresiasi nilai tukar mata uang negara-negara berkembang terhadap dollar AS. Namun, Sri Mulyani menegaskan, depresiasi nilai tukar rupiah masih menjadi salah satu yang terkecil dibandingkan negara lain, yakni sebesar 1,4 persen.
”Dibandingkan dengan negara-negara emerging (berkembang) lainnya, depresiasi rupiah kecil karena kinerja ekspor yang kompetitif,” katanya.