Peran Generasi Muda Krusial bagi Masa Depan Pertanian
Anak muda yang terjun dalam bidang pertanian masih sangat sedikit. Langkah-langkah konkret perlu dilakukan agar regenerasi petani tercipta. Berbagai inovasi diperlukan agar pertanian jadi sektor yang lebih menjanjikan.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·4 menit baca
KOMPAS/MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
Syafi’i Ridwan (24) bersama beberapa peserta Program Petani Milenial merawat bibit tanaman hias di shade house (rumah peneduh) Satuan Pelayanan Margahayu, Lembang, Balai Benih Hortikultura (BBH) Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jumat (10/9/2021). Program Pemerintah Provinsi Jawa Barat ini bertujuan untuk menambah ketertarikan generasi muda untuk menjalankan bisnis pertanian.
JAKARTA, KOMPAS — Generasi muda desa diyakini bakal menentukan masa depan sektor pertanian di tengah tuntutan memacu produktivitas dan mengatasi dampak penyusutan lahan pangan di perdesaan. Sebagai agen, para pemuda perlu menjawab tantangan pertanian, yakni mengubah dari citra ”kotor” menjadi usaha yang menjanjikan.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Pangan (KRKP) Said Abdullah, saat dihubungi di Jakarta, Minggu (9/1/2022), menyebutkan, Bank Dunia sudah memperkirakan, pada 2045, porsi penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan akan bertambah menjadi 70 persen.
Apabila tidak dicermati, selain ketimpangan pembangunan dan populasi, situasi itu akan membuat sistem pertanian menjadi rumit. ”Hingga kini, 99 persen pangan pokok masih dihasilkan dari perdesaan. Bisa dibayangkan kalau tenaga kerja di sektor itu berkurang atau tidak ada,” ujarnya.
Dari banyak kajian, termasuk kajian KRKP, aspek ekonomi atau harga jual jadi komponen penting yang menentukan apakah anak muda mau berusaha di sektor pertanian atau tidak. Selama ini, oleh karena dinilai tidak menguntungkan, sebagian tenaga kerja sektor pertanian beralih ke sektor lain. Regenerasi petani pun terhambat.
DOKUMENTASI PRIBADI
Rayndra Syahdan Mahmudin mengajak anak-anak muda untuk menjadi petani dan peternak di desa. Salah satunya dengan memperkenalkan kegiatan pertanian organik kepada anak-anak sekolah di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Tantangan itu coba dijawab pemuda asal Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rayndra Syahdan Mahmudin (26), melalui CV Cipta Visi Group. Dengan memulai usaha pada tahun 2014, kini ia mengembangkan pertanian terintegrasi, yakni dengan menggabungkan usaha peternakan dan pertanian.
Dengan memanfaatkan potensi alam di desanya, Rayndra kini memiliki 700 domba, 20 sapi, dan lahan kemitraan seluas lima hektar. Ia juga mengelola kelapa genjah yang menghasilkan gula semut dengan pasar hingga Korea Selatan. Sementara batok kelapa dia olah menjadi asap cair.
Dari peternakan, dia mengantongi omzet sekitar Rp 200 juta per bulan. Sementara dari penjualan gula semut, dia meraup Rp 40 juta-Rp 70 juta per bulan. Adapun dari tanaman-tanaman lain sekitar Rp 30 juta per bulan. Rayndra melihat sektor pertanian prospektif. ”Namun, anak muda yang terjun masih sedikit. Langkah konkret perlu dilakukan karena krisis terjadi saat anak muda berhenti memikirkan desanya. Padahal, desa ini luar biasa kaya,” katanya, saat dihubungi, Minggu (9/1/2022).
Lewat usaha yang dikembangkannya, Rayndra ingin mengubah citra petani dari yang profesi diidentikkan dengan kotor menjadi sesuatu yang menjanjikan. Tidak selamanya menjadi petani itu miskin dan tidak menghasilkan.
Menurut dia, keterlibatan anak muda mutlak. ”Yang selama ini diberi bantuan kan petani-petani dengan usia 45 tahun ke atas. Pola tradisional mesti diubah. Bukan lagi mengandalkan bantuan. Regenerasi petani itu wajib. Perubahan citra petani juga mesti disosialisasikan kepada orangtua-orangtua di desa,” katanya.
ARSIP PRIBADI
Rayndra Syahdan Mahmudi mengajak anak muda untuk mau menjadi petani.
Pertumbuhan industri dan penambahan jumlah penduduk terus memicu alih fungsi lahan pangan. Namun, Rayndra optimistis, dengan banyaknya anak muda terlibat dalam pengelolaan pertanian, sektor ini akan tetap berdaya. Namun, jika regenerasi tak jalan, persoalan akan semakin pelik.
Berdasarkan hasil Survei Pertanian Antar-Sensus 2018 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), dari 27,7 juta rumah tangga usaha pertanian di Indonesia, kelompok umur kepala rumah tangga berusia 45-54 tahun merupakan yang terbanyak, yakni 7,8 juta orang. Paling sedikit adalah kelompok dengan umur kurang dari 25 tahun, yakni 191.000 orang.
Sementara itu, menurut data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, luas baku sawah menyusut 645.855 hektar selama kurun 2013-2018. Hal itu antara lain untuk infrastruktur dan industri (Kompas, 21/11/2018).
Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian Dedi Nursyamsi mengatakan, sektor pertanian tengah bertransformasi menjadi usaha yang menjanjikan. Dengan adanya keuntungan signifikan bagi petani, kesinambungan pertanian ke depan bakal lebih terjamin.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Dwi Lili Indayani (35), petani milenial dari Kota Batu, Jawa Timur, bersama Kokodema produksinya, Jumat (13/8/2021). Sejak satu pekan lalu, Lili juga ditunjuk menjadi salah satu duta petani milenial di bawah Kementerian Pertanian.
Menurut dia, agribisnis sering terfokus dan berjibaku pada on farm (budidaya). Padahal, off farm (pascapanen) pun perlu dikembangkan meski tantangannya tak mudah. ”Petani harus mampu mengakses pasar sebaik-baiknya, juga modal, sarana dan prasarana,” ujar Dedi dalam Bertani on Cloud ”Ciptakan Ekosistem Kewirausahaan Pemuda Desa di Sektor Pertanian” yang disiarkan daring, Kamis (6/1/2022).
Menurut Dedi, kaum milenial menjadi agen perubahan dalam agribisnis. Bagaimanapun, komoditas pertanian di desa akan menyuplai kebutuhan penduduk di perkotaan, bahkan mancanegara. Hal itu merupakan peluang yang mesti dioptimalkan. Oleh karena itu, ekosistem kewirausahaan di perdesaan perlu diciptakan dan dikembangkan lebih baik.