Waspadai Bom Waktu Minimnya Literasi Keuangan Digital
Catatan YLKI, jasa keuangan menjadi hal yang paling banyak diadukan dengan porsi 49,6 persen, disusul ”e-commerce” 17,2 persen, telekomunikasi 11,4 persen, perumahan 4,9 persen, dan listrik 1,7 persen.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Jasa keuangan masih menjadi sektor yang paling banyak diadukan masyarakat ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI pada 2021. Kondisi tersebut dipicu masih rendahnya literasi keuangan dan digital, yang membuat masyarakat mudah tergiur berbagai tawaran. Penguatan literasi menjadi krusial karena jika dibiarkan, akan menjadi bom waktu.
Dalam telekonferensi pers Refleksi dan Bedah Pengaduan Konsumen 2021, Jumat (7/1/2022), tercatat ada 535 pengaduan ke YLKI pada 2021. Jasa keuangan menjadi komoditas pengaduan terbanyak dengan 49,6 persen, disusul e-commerce 17,2 persen, telekomunikasi 11,4 persen, perumahan 4,9 persen, dan listrik 1,7 persen.
Angka itu meneruskan tren sejak 2017. Jasa keuangan, yang terdiri dari bank, pinjaman daring/online, leasing, asuransi, penerbit uang digital, dan perusahaan investasi, selalu menjadi yang terbanyak diadukan kepada YLKI.
Ketua YLKI Tulus Abadi mengatakan, hal tersebut berkaitan erat dengan masih rendahnya literasi keuangan dan digital masyarakat atau konsumen. ”Penguatan literasi digital masyarakat ini menjadi kunci. (Saat) ekonomi sudah digital, tetapi literasi digital masyarakat kedodoran, (maka) menjadi bom waktu yang sangat serius,” kata Tulus.
YLKI juga merekomendasikan penguatan regulasi, terutama yang terkait dengan penggunaan data pribadi. Selain Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang perlu segera disahkan, Tulus mendorong penguatan pengawasan oleh regulator, yakni Otoritas Jasa Keuangan dan Satuan Tugas (Satgas) Investasi.
Terkait pengaduan pinjaman daring, YLKI mencatat, 82 persen pelaku usaha berstatus ilegal. Sementara sisanya, yakni 18 persen, berstatus legal.
Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kuseryansyah mengatakan, pihaknya juga memiliki kanal pengaduan. Sepanjang 2021, tercatat ada 9.500 pengaduan dari berbagai jenis kategori, seperti terkait bunga, penagihan tak beretika, restrukturisasi, dan pelanggaran akses data pribadi.
”Memang secara jumlah tinggi sekali, tetapi perlu kami sampaikan bahwa dari fakta dan data, pada 2021 terdapat total 325 juta transaksi yang legal. (Artinya) jumlah pengaduan lebih kurang 0,028 persen. Ke depan, kami berharap berkolaborasi dengan YLKI dan OJK sehingga ada data yang sama dan terpadu,” ujar Kuseryansyah.
Sejak dini
Menurut Kuseryansyah, keuangan digital sudah masuk begitu dalam pada sendi-sendi kehidupan masyarakat. Namun, literasi masih menjadi isu. ”Ini adalah salah satu persoalan di hulu. Kalau bisa, ini dimasukkan di kurikulum SD, SMP, atau SMA sehingga pada usianya sudah menjadi adopter layanan digital, mereka sudah punya informasi terkait produk atau layanan, beserta risiko-risikonya. Ini penting agar tidak sibuk di hilir saja," ujarnya.
Catatan Kompas, praktik pinjaman daring ilegal semakin marak dan memakan banyak korban. Pada Oktober 2021, misalnya, Kepolisian Daerah Jawa Tengah mengungkap kasus penagihan terhadap korban pinjaman daring ilegal dengan pemerasan. Sementara Polda Metro Jaya mengungkap adanya praktik usaha pinjaman daring legal yang juga menjalankan layanan pinjaman daring ilegal, yang disebut sebagai sistem gurita.
Wahid Hakim, pewakilan dari Satgas Waspada Investasi (SWI) mengemukakan, pinjaman daring memang paling banyak diadukan. Adapun di SWI, pihaknya lebih banyak menangani entitas-entitas yang tak memiliki izin atau ilegal.
Di samping pengaduan, sejumlah warga juga banyak menanyakan apakah satu entitas memiliki izin atau tidak. ”Maka, kami beri masukan terhadap pengaduan-pengaduan tersebut. Dengan demikian, masyarakat memahami ciri-ciri atau modus kegiatan ilegal sebelum kemudian memutuskan menggunakan jasa tersebut,” kata Wahid.
Koordinator Bidang Pelayanan dan Konsumen pada Direktorat Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan Mulyansari mengemukakan, pengaduan kepada pihaknya lebih pada e-commerce. Pelayanan terhadap aduan juga sekaligus menjadi kanal edukasi kepada para konsumen.
Tulus Abadi mengemukakan, jumlah pengaduan konsumen merupakan fenomena gunung es. ”Satu pengaduan bisa mewakili 1.000 warga atau konsumen. Jadi, dari 535 laporan, sebenarnya ada potensi 535.000 orang yang dirugikan. Semoga ke depan, complain habit (pengaduan) ini bisa terus meningkat,” ucapnya.