Empat tahun beroperasi, tingkat keterisian LRT Palembang belum mencapai target. Padahal, sarana transportasi yang menelan investasi hingga Rp 11 triliun itu merupakan proyek percontohan nasional.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Empat tahun beroperasi, tingkat keterisian atau okupansi kereta ringan (LRT) Palembang belum mencapai target. Padahal, sarana transportasi yang menelan investasi hingga Rp 11 triliun ini merupakan proyek percontohan nasional. Pemerintah akan melakukan sejumlah upaya termasuk merancang ulang rute transportasi agar lebih terintegrasi dan memberikan subsidi untuk memancing warga Palembang, Sumatera Selatan, menggunakan sarana ini.
Hal ini mengemuka dalam pertemuan antara Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dengan Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru dan Wali Kota Palembang Harnojoyo, Kamis (6/1/2022). Dalam rapat tersebut, Budi mengatakan, walau sudah beroperasi sejak 2018, tingkat keterisian (okupansi) kereta ringan (light rail transit/LRT) belum sesuai harapan. ”Pergerakan penumpang masih fluktuatif tetapi masih jauh dari target,” katanya.
Sejak pertama kali beroperasi pada 2018, pergerakan penumpang LRT Palembang tercatat 927.432 orang, puncaknya terjadi pada 2019 dengan jumlah penumpang mencapai 2,6 juta orang. Namun, karena pandemi Covid-19, pada 2020, okupansi LRT Palembang menurun signifikan menjadi sekitar 1,1 juta orang.
Pada 2021, pergerakan penumpang kembali meningkat menjadi 1,5 juta orang. Namun, pada masa puncak pun masih sekitar 40 persen dari target. ”Sementara target pemerintah di awal yakni 60 persen,” kata Budi.
Ada dua penyebab mengapa okupansi LRT Palembang masih rendah, yakni terkait daya beli dan aksesibilitas. Untuk daya beli, ujar Budi, LRT masih dianggap mahal terutama bagi mahasiswa atau pelajar. Sementara untuk aksesibilitas, fasilitas LRT dan angkutan umum tidak terhubung dengan kantong-kantong pemukiman sehingga warga lebih memilih untuk menggunakan kendaraan pribadi atau transportasi daring.
Hal itu, kata Budi, mesti dicari solusinya karena LRT Palembang yang menelan investasi hingga Rp 11 triliun itu merupakan proyek percontohan nasional. ”LRT DKI Jakarta saja hanya 5 kilometer, LRT Palembang mencapai 23 km. Untuk itu, kita harus mencari cara untuk memberdayakan LRT ini,” katanya.
Mesti dicari solusinya karena LRT Palembang yang menelan investasi hingga Rp 11 triliun itu merupakan proyek percontohan nasional. (Budi Karya Sumadi)
Integrasi moda
Menurut Budi, Palembang memiliki fasilitas angkutan paling lengkap di Indonesia, mulai dari bus, angkutan umum, oplet, dan kapal. Jika kebijakan angkutan terintegrasi ini berhasil diterapkan, harapannya bisa menjadi model untuk kota-kota lain di Indonesia.
Beberapa bulan ke depan, Budi berharap pemerintah daerah bisa membuat kebijakan agar tarif angkutan bisa lebih terjangkau dan terciptanya sistem angkutan terintegrasi termasuk tersedianya angkutan pengumpan (feeder). ”Dengan integrasi ini, tentu akan ada perubahan sistem tiket, jadwal, tarif, dan penataan rute,” kata Budi.
Wali Kota Palembang Harnojoyo mengatakan, untuk memulai angkutan terintegrasi, pihaknya menghentikan pengoperasian bus Trans-Musi. Menurut rencana tujuh koridor yang ada saat ini akan dirampingkan menjadi lima koridor. Nantinya semua rute angkutan di Palembang akan berpusat pada LRT. ”Saya minta awal Februari rute baru sudah tersedia sehingga dapat berdampak pada meningkatnya okupansi LRT,” kata Harnojoyo.
Terkait pembiayaan, pihaknya akan menganggarkan subsidi untuk berkolaborasi dengan Kementerian Perhubungan. ”Subsidi untuk integrasi moda ini cukup besar sekitar Rp 31 miliar. Nantinya akan ada pembagian alokasi subsidi antara pemerintah daerah dan pusat,” katanya.
Dengan cara ini diharapkan, okupansi LRT Palembang dapat terdongkrak mendekati target. ”Saya berharap tahun ini okupansi LRT bisa mencapai 60 persen,” kata Harnojoyo.
Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia Sumatera Selatan Erika Buchari mengatakan, permasalahan transportasi di Palembang adalah terputusnya jaringan angkutan umum dan LRT dengan permukiman warga. Selain membuat rancangan rute terintegrasi, perlu adanya mekanisme lain untuk mendukung peningkatan okupansi LRT.
Misalnya, bekerja sama dengan penyedia transportasi daring agar menyusun rute yang memudahkan masyarakat menuju halte feeder dan stasiun LRT. ”Selain itu, perlu disediakan juga sarana penghubung antara stasiun dan tempat tujuan, misalnya dengan dibangunnya skybridge seperti yang ada di Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II, Palembang,” ujarnya.
Rekayasa lalu lintas juga diperlukan untuk mengajak warga beralih ke transportasi umum, misalnya dengan penerapan ganjil genap.