Upaya negara mendongkrak penerimaan negara bukan pajak hingga tahun 2024 perlu diimbangi dengan jaminan usaha dan penguatan nelayan kecil.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Langkah pemerintah menggenjot penerimaan negara bukan pajak untuk sektor kelautan dan perikanan dinilai masih belum diimbangi oleh penguatan kinerja produksi perikanan. Penerapan sistem kontrak penangkapan ikan mulai 2022 perlu ditopang penguatan usaha nelayan kecil.
Dari data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), penerimaan negara bukan pajak oleh KKP per 29 Desember 2021 sebesar Rp 1,093 triliun atau meningkat 30,1 persen dibandingkan dengan realisasi PNBP tahun lalu sebesar Rp 840 miliar. Tahun 2024 pemerintah menargetkan PNBP perikanan mencapai Rp 12 triliun.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan, menilai, meski PNBP naik, kontribusi perikanan tangkap tercatat Rp 691 miliar atau hanya 76,77 persen dari target tahun ini. Padahal, pemerintah menargetkan PNBP dari subsektor perikanan tangkap mampu mendongkrak PNBP. PNBP perikanan tangkap meleset dari harapan karena sistem pendataan dan sistem pungutan pascaproduksi belum siap.
”Aturan dan instrumen pelaksanaan pendukung PNBP pascaproduksi, seperti sistim pencatatan, enumerator, sahbandar, timbangan online, dan sistem jaringan, belum siap sepenuhnya di lapangan,” kata Abdi saat dihubungi, Jumat (31/12/2021).
Pemerintah seharusnya fokus memperkuat usaha perikanan skala kecil dalam negeri yang mendominasi usaha perikanan.
Ia menambahkan, langkah pemerintah untuk terus mengejar PNBP perikanan dikhawatirkan hanya akan memfasilitasi eksploitasi besar-besaran oleh korporasi swasta besar. Pemerintah seharusnya fokus memperkuat usaha perikanan skala kecil dalam negeri yang mendominasi usaha perikanan.
”Sejauh mana realisasi penguatan jaminan usaha dan korporasi nelayan. Jangan korporasi swasta terus yang difasilitasi, tetapi korporasi nelayan tidak ada kemajuan,” katanya.
Belum sinkron
Peneliti DFW Indonesia, Muhammad Arifuddin, menyoroti langkah pemerintah yang gencar menggenjot PNBP, sedangkan peningkatan produksi perikanan belum pernah mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan rencana strategis KKP.
Dalam rencana strategis KKP tahun 2020-2024, target produksi perikanan tahun 2020 ditetapkan 26,46 juta ton dan tahun 2021 sebesar 27,89 juta ton. Sementara itu, realisasi produksi perikanan tahun lalu hanya 15,5 juta ton dan per Oktober tahun ini 18,03 juta ton. Produksi perikanan per Oktober 2021 dikontribusikan oleh produksi perikanan tangkap sebanyak 5,8 juta ton dan perikanan budidaya 12,25 juta ton.
”Sulit mengejar kenaikan produksi perikanan yang signifikan. Perkiraan kami realisasi produksi perikanan sampai akhir tahun ini tidak akan mencapai 19 juta ton,” kata Arif.
Penetapan target produksi perikanan juga terhalang belum sinkronnya penetapan produksi perikanan di lintas kementerian. Masih ada ketimpangan dalam target angka pencapaian produksi.
Arif menambahkan, penetapan target produksi perikanan juga terhalang belum sinkronnya penetapan produksi perikanan di lintas kementerian. Masih ada ketimpangan dalam target angka pencapaian produksi. Pada 2024, Bappenas menetapkan target produksi perikanan 20,4 juta ton, sementara KKP 32,5 juta ton.
”Ketimpangan target produksi yang terlalu jauh akan membingungkan dalam proses evaluasi pada akhir 2024. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan KKP diharapkan duduk bersama untuk menyepakati target produksi perikanan yang lebih realistis,” katanya.
Sehari sebelumnya, Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Muhammad Zaini menjelaskan, pemerintah akan mulai memberlakukan sistem kontrak pada tahun 2022. Sistem kontrak merupakan bentuk kerja sama antara pemerintah dan mitra dalam pemanfaatan sumber daya ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI). Mitra kerja sama tersebut berupa entitas usaha berbadan hukum, yaitu koperasi dan perseroan terbatas.
”Pemerintah akan memberikan jaminan berusaha bagi pelaku usaha yang menerapkan sistem kontrak ini, yaitu kesempatan berusaha selama 15 tahun masa kontrak dan kepastian pemanfaatan sumber daya ikan yang terukur dan kuota sudah diatur sesuai potensi di masing-masing zona penangkapan ikan,” ujarnya dalam keterangan pers.
Zaini menegaskan, penangkapan ikan terukur di WPPNRI hanya dilakukan oleh nelayan Indonesia. Pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya dan perlindungan kepada pelaku usaha penangkapan ikan lokal dan tradisional di setiap wilayah penangkapan ikan.
”Jadi tidak ada perusahaan asing yang masuk menangkap ikan. Yang ada adalah badan hukum Indonesia. Kalau modal dimiliki mereka, ya wajar saja sehingga tidak ada kapal asing masuk di Indonesia. Semua hanya untuk nelayan Indonesia,” katanya.