Transisi energi bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan. Dukungan politik dalam negeri, kepemimpinan yang kuat, dan visi jangka panjang dibutuhkan untuk membawa Indonesia ke dalam arus pertumbuhan ekonomi hijau.
Oleh
aris prasetyo
·5 menit baca
Kompas/Totok Wijayanto
Pekerja menyelesaikan pemasangan surya panel di halaman kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (13/12/2021). Indonesia memiliki potensi energi baru dan terbarukan (EBT) yang bisa dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik, antara lain dari tenaga angin, surya, hidro, dan panas bumi. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), lima tahun terakhir penambahan kapasitas pembangkit berbasis EBT sebesar 1.469 megawatt (MW) dengan kenaikan rata-rata 4 persen per tahun.
Pandemi Covid-19 selalu dikaitkan dengan dorongan untuk segera bertransisi meninggalkan energi fosil yang dianggap kotor ke energi bersih dan terbarukan. Pandemi dipandang sebagai momentum yang tepat untuk menyegerakan transisi tersebut. Hal ini menjadi bentuk respons terhadap perubahan iklim yang menyebabkan pemanasan global.
Dalam laporan Global Carbon Project disebutkan, pada periode April 2020, atau di masa awal pandemi, emisi global harian turun 17 persen dibandingkan rata-rata sepanjang 2019. Hal itu disebabkan banyak negara menerapkan pembatasan pergerakan dan kuncitara (lockdown).
Namun, seiring pemulihan ekonomi di banyak negara tahun ini, emisi global pada 2021 diperkirakan naik 4,9 persen dari tahun lalu. Di Indonesia, emisi pada 2020 tercatat 589,5 megaton setara karbon dioksida (MtCO2e) atau turun 11 persen dibandingkan tahun 2019.
Selama pandemi pula wacana pertumbuhan ekonomi hijau kian menguat. Pertumbuhan ekonomi hijau, mengutip laman Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), adalah pertumbuhan ekonomi yang kuat, tetapi juga ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta pembangunan yang inklusif secara sosial.
Isu ini muncul dari keprihatinan atas konsekuensi sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tidak diinginkan. Hal itu juga akibat pertumbuhan penduduk yang cepat, pertumbuhan ekonomi, serta konsumsi sumber daya alam (ekstraktif).
Lalu, apa kaitan transisi energi dengan pemulihan ekonomi? Transisi energi disebut-sebut menciptakan lapangan pekerjaan baru hijau (green jobs). Di tingkat global, transisi ini diperkirakan menciptakan 395 juta lapangan pekerjaan hingga tahun 2030. Selain itu, peluang bisnisnya diproyeksikan mencapai 10,1 triliun dollar AS (Kompas, 29/12/2021).
Sektor yang paling potensial adalah pertanian, pariwisata, dan energi. Khusus sektor energi, realisasi pekerjaan baru di bidang energi terbarukan menyerap 12 juta tenaga kerja pada 2020. Proyeksi sampai 2050 mendatang diperkirakan menyerap 43 juta tenaga kerja.
Di Indonesia, proyek energi terbarukan memiliki dampak ganda, yaitu menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi beban subsidi dari energi fosil. Berdasar kajian Institute for Essential Services Reform (IESR), proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) adalah proyek energi terbarukan yang paling mudah dilaksanakan dan memiliki peluang terbesar dalam hal serapan tenaga kerja.
Untuk proyek PLTS berkapasitas 1.000 megawatt (MW), misalnya, dengan investasi Rp 15 triliun —30 persen dialokasikan untuk pembayaran upah— sedikitnya dibutuhkan 20.000 tenaga kerja baru. Apabila proyek ini diterapkan untuk 660.000 unit rumah pelanggan penerima subsidi listrik, akan timbul penghematan subsidi listrik hingga Rp 727 miliar per tahun.
Tak hanya proyek transisi energi, konsep ekonomi sirkular juga menguat selama pandemi. Ekonomi sirkular adalah model industri yang meminimalkan penggunaan sumber daya, limbah, atau emisi. Caranya bisa lewat desain sumber daya yang tahan lama, penggunaan kembali, produksi ulang, atau perbaikan ulang.
Di Indonesia ada lima sektor yang berpotensi menerapkan model ekonomi sirkular. Kelima sektor ini adalah tekstil dan produk tekstil, plastik, elektronik, konstruksi, serta produk makanan dan minuman.
Catatan Bappenas menyebutkan, sektor kunci ini berkontribusi Rp 593 triliun dalam nilai ekonomi atau setara 2,3 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2030. Sektor ini juga diperkirakan mampu menciptakan 5,5 juta lapangan kerja baru.
Seekor bunglon hinggap di depan pipa penyalur uap panas bumi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Kamojang di Kabupaten Bandung,Kamis (30/9/2021). Dari tiga unit PLTP yang dikelola PT Indonesia Power ini mampu menghasilkan listrik 140 MW yang memasok jaringan listrik interkoneksi Jawa, Bali, dan Madura. PLTP pertama di Indonesia yang beroperasi sejak 1982 ini menjadi contoh pemanfaatan sumber energi baru dan terbarukan.
Tantangan
Isu transisi energi juga mengemuka dalam Presidensi G-20 Indonesia 2022. Di kancah G-20, Indonesia mengusung tiga topik utama, yaitu arsitektur kesehatan global, transformasi ekonomi berbasis digital, dan transisi energi. Presidensi Indonesia di G-20 diharapkan berkontribusi mendukung pemulihan ekonomi nasional dan global, termasuk memperjuangkan negara-negara kecil dan berkembang.
Tak hanya itu, dalam Konferensi Para Pihak tentang Perubahan Iklim Ke-26 atau COP 26 di Glasgow, Skotlandia, awal Desember 2021, Indonesia juga menyatakan bahwa realisasi emisi nol bersih diharapkan tercapai pada 2060 atau lebih awal. Indonesia menyatakan kontribusi nasional yang ditentukan (Nationally Determined Contributions/NDC) dalam pengurangan emisi karbon 29 persen pada 2030.
Dengan dukungan internasional, NDC Indonesia dapat mencapai 41 persen, setara dengan 1,1 gigaton emisi karbon. Dari target NDC itu, empat sektor jadi sorotan, yakni kehutanan dengan proporsi sebesar 17,2-24,5 persen, energi (11-15,5 persen), limbah (0,38 persen), dan pertanian (0,32 persen).
Yang perlu diingat adalah transisi energi memerlukan biaya tak murah. Bagi Indonesia, pengurangan pemakaian energi fosil, khususnya batubara sebagai sumber energi primer pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), bukan perkara mudah.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, total kapasitas PLTU yang ditransisikan ke energi terbarukan mencapai 5.500 MW. Dalam delapan tahun ke depan, Indonesia setidaknya butuh dana 20 miliar dollar AS-30 miliar dollar AS atau berkisar Rp 284 triliun-Rp 426 triliun untuk merealisasikan transisi itu (Kompas, 5/11).
Sebagai negara berkembang, dana sebanyak itu masih menjadi beban fiskal. Oleh karena itu, dukungan negara maju maupun lembaga keuangan internasional dibutuhkan. Tak adil rasanya negara maju menekan negara berkembang untuk mengurangi pemakaian emisinya tanpa bertindak apa-apa.
Padahal, negara-negara maju dalam perjalanannya juga turut menyumbang emisi dalam jumlah tak kalah besar. Sejauh ini, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Jepang berkomitmen mendukung pembiayaan transisi energi di Indonesia lewat mekanisme transisi energi (ETM).
Kendati ada masalah pendanaan, bukan berarti Indonesia tak mampu berbuat apa-apa. Potensi energi terbarukan di Indonesia melimpah ruah. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan, potensi energi terbarukan lebih dari 400.000 MW. Namun, pemanfaatannya masih amat minim, kurang dari 11.000 MW.
Yang dibutuhkan adalah komitmen pemerintah mengarusutamakan energi terbarukan sebagai sumber energi utama meski prosesnya dilakukan bertahap. Hambatan investasi yang ada, seperti sistem birokrasi yang berbelit dan butuh banyak perizinan, perlu dituntaskan.
Komitmen mengarusutamakan energi terbarukan juga membutuhkan kolaborasi banyak pihak, seperti sektor swasta, akademisi, hingga organisasi non-pemerintah. Sektor swasta, khususnya, tak bisa menganggap remeh pengarusutamaan energi terbarukan.
Selera pasar kian mengarah pada produk yang rendah emisi atau dihasilkan oleh industri yang menggunakan sumber energi terbarukan. Bahkan, Uni Eropa bakal menerapkan mekanisme penyesuaian batas karbon (carbon border adjustment mechanism/CBAM) mulai 2023. Mekanisme ini mengenakan pajak bea masuk karbon terhadap sejumlah produk yang mengandung karbon ke pasar Eropa.
Sekali lagi, transisi energi bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan. Dukungan politik dalam negeri, serta kepemimpinan yang kuat dan visi jangka panjang, dibutuhkan untuk membawa Indonesia ke dalam arus pertumbuhan ekonomi hijau. Dengan demikian, mimpi rakyat sejahtera dan lingkungan yang lestari dapat diwujudkan.