Bukan Angka Produksi, melainkan Kesejahteraan Petani
Produksi beras nasional menunjukkan capaian positif beberapa tahun terakhir dengan volume melebihi kebutuhan. Namun, sejumlah indikator menunjukkan, petani belum sejahtera. Visi kesejahteraan idealnya menjadi panglima.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·4 menit baca
Pada pengujung tahun 2021, Perum Bulog kembali meyakinkan bahwa Indonesia tidak perlu mengimpor beras. Stok beras yang ada dinilai cukup. Sementara produksi beras nasional pada triwulan I-2022 diproyeksikan cukup baik, yakni mencapai 11,61 juta ton, jauh di atas kebutuhan konsumsi yang mencapai 7,8 juta ton selama periode tersebut.
Pesan Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso pada konferensi pers, Selasa (28/12/2021), itu menguatkan keputusan yang disampaikan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi pada Juni 2021 bahwa pemerintah tidak akan mengimpor beras tahun ini. Keputusan didasarkan pada data produksi beras nasional tahun 2021 yang diperkirakan 31,69 juta ton. Angka itu lebih tinggi dibandingkan dengan produksi tahun 2020 yang mencapai 31,33 juta ton dan kebutuhan konsumsi yang rata-rata mencapai 29 juta ton per tahun.
Kedua pesan tersebut memupus kegaduhan soal rencana pemerintah mengimpor 1 juta ton beras guna memperkuat cadangan beras (CBP) setidaknya 1-1,5 juta ton tahun ini. Namun, di luar rencana impor yang batal dan proyeksi produksi yang cukup baik itu, ada problem lain yang perlu ditangani segera, terutama terkait dengan kesejahteraan petani subsektor tanaman pangan.
Kesejahteraan petani padi tertekan sebagaimana terekam dalam data nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, NTP tanaman pangan selalu di bawah 100 selama kurun Februari-November 2021. Data itu mengindikasikan bahwa petani merugi. Jerih payahnya tak cukup untuk membayar barang-barang kebutuhannya. Sebab, indeks harga yang harus dibayarkan petani lebih tinggi dibandingkan dengan indeks harga yang mereka terima.
Situasi harga gabah sejalan dengan kemuraman tersebut. BPS mencatat, kasus harga gabah di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) terjadi sepanjang 20 bulan berturut-turut hingga November 2021. Terlepas dari standar HPP yang dinaikkan pemerintah, yakni dari Rp 3.700 per kilogram menjadi Rp 4.200 per kg kering panen (GKP) mulai Maret 2020, situasi harga belum sepenuhnya menguntungkan petani.
Data pertumbuhan sektoral juga mengindikasikan subsektor tanaman pangan tertekan. Pada triwulan III-2021, ketika sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan tumbuh 1,31 persen dan perekonomian nasional tumbuh 3,51 persen secara tahunan (yoy), subsektor terkontraksi 5,8 persen. Data NTP, kasus harga di bawah HPP, dan laju pertumbuhan lapangan usaha itu mengindikasikan bahwa petani tanaman pangan tidak sedang baik-baik saja.
Artinya, ketika agregat produksi padi nasional tumbuh tahun ini, kesejahteraan para pelaku utamanya sedang terganggu. Capaian produksi yang cukup baik beberapa tahun terakhir, yakni 33,9 juta ton (2018), lalu 31,31 juta ton (2019), 31,33 juta ton (2020), dan 31,69 juta ton (2021), sejatinya rapuh jika insentif usaha petani makin tergerus. Dampak jangka panjangnya akan sangat krusial bagi masa depan ketahanan pangan.
Jika hasil jerih payahnya tidak menguntungkan, apakah petani akan termotivasi untuk menanam padi lagi? Apakah usaha mendongkrak produksi dalam negeri akan berhasil jika harga hasil pertanian yang diterima petani sama sekali tidak mendorong semangat mereka untuk meningkatkan produktivitasnya? Pertanyaan-pertanyaan ini relevan untuk menilik lagi kebijakan pertanian kita, apakah kita akan mengejar angka produksi atau meningkatkan kesejahteraan petani?
Paul McMahon dalam Feeding Frenzy: The New Politics of Food mengingatkan, semua negara Asia, yang mencapai kemajuan pertanian, mengelola perdagangan internasional mereka secara berhati-hati. Mereka memberikan subsidi, mengenakan bea masuk, mengendalikan harga, dan mengadakan cadangan untuk menjaga pasar lokal tidak terguncang keras oleh tekanan pasar internasional.
Mereka menjamin bahwa petani lokal dapat bekerja dengan risiko sekecil mungkin. Negara mana pun yang ingin melakukan revolusi pertanian secara sungguh-sungguh juga harus siap memberlakukan peranti kebijakan apa pun yang mampu menjamin terciptanya lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi para petaninya.
Dua tahun pandemi Covid-19 menguji ketahanan dan kemandirian pangan sebuah bangsa. Pada momen ini, negara diingatkan bahwa surplus pangan global tidak menjamin kecukupan pangan di semua negara atau di semua keluarga. Hambatan logistik dan kecenderungan proteksionisme perdagangan berpotensi mengganggu pasokan dan pemenuhan kebutuhan pangan.
Redupnya produksi sejumlah komoditas karena insentif usaha tani yang makin berkurang, seperti bawang putih, kedelai, gula, dan susu sapi, mendorong petani beralih komoditas dan membawa Indonesia masuk lubang ketergantungan yang makin akut pada komoditas impor. Kondisi ini mengingatkan bahwa pertanian mesti dibangun dengan visi menyejahterakan petani. Bukan berorientasi pada angka produksi.